Nabi Ibrahim dan Argumen Telak Tentang Keesaan Allah

Kisah mengenai pertanyaan Ibrahim ‘alayhissalam tentang ‘dimana Tuhan?’ dalam surat Al An’am (75-83) adalah terkait cara pandang beliau terhadap ayat-ayat Allah sebagai aplikasi menyampaikan dakwah dengan uslub (metode) qudrah dan muwajahah. Bukan kisah ‘pencarian Tuhan’, seperti kebanyakan pemahaman tekstual-awam banyak orang. Itulah yang sesuai dengan suasana umum diturunkannya surat Al An’am.

Dalam salah satu riwayat, dijelaskan bahwa surat Al An’am diturunkan kepada Nabi SAW langsung satu surat penuh dalam satu malam, tidak sebagaimana surat-surat yang terbilang panjang lainnya. Saat diturunkan, tujuh puluh ribu malaikat yang memiliki zaljun, suara keras lagi memekik, berhimpun mengucap tasbih dengan penuh ketulusan.

Suasana umum surat ini ada dalam awal surat “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan menciptakan gelap dan terang, namun demikian orang-orang kafir masih mempersekutukan Tuhan mereka dengan sesuatu”. Muqaddimah ini menegaskan pada kita bahwa tujuan dan poros surat ini adalah mengenai urgensi mendeklarasikan tauhidullah (persaksian keesaan Allah) dan larangan menyekutukan Allah dalam interaksi dengan manusia / objek dakwah.

Yang dimaksud dengan uslub qudrah dan muwajahah adalah susunan tertentu dari permulaan ayat hingga akhir ayat dalam surat Al An’am yang mayoritas dimulai dengan salah satu dari dua kalimat berikut, yaitu ‘katakan’ (qul) atau ‘Dia’ (huwa). Ketika anda membaca setiap ayat yang diawali dengan kata huwa anda akan mendapati bahwa ia berbicara tentang qudratullah (kekuasaan Allah). Kemudian ada ayat-ayat yang berisi arahan kepada Nabi SAW dan orang mukmin tentang kaifiyah (cara) mematahkan hujjah (argumentasi) pada saat ber-muwajahah (pertemuan) dengan orang-orang kafir dengan memulai ayat-ayat tersebut dengan kalimat qul (katakanlah).

Masalah tauhid dan larangan syirik diulang dalam 49 ayat. Artinya, sekitar 30% dari total surat. Inilah yang menjadi sebab istimewa berhimpunannya tujuh puluh ribu malaikat menyertai proses turunnya dalam semalam. Jika kita memahami hikmahnya, maka kita akan membaca, memaknai, dan berusaha mengimplementasikan surat ini dengan ruh yang sama dengan saat proses turunnya.

Suasana qudrah dan muwajahah ini adalah gelombang dahsyat yang seharusnya memotivasi pembacanya untuk menguatkan pilar-pilar aqidah dan keteguhan jiwa untuk menggugah objek dakwah. Ini merupakan uslub (cara) baru yang diturunkan untuk Nabi SAW yang sangat berfaidah dan efektif untuk menghadapi masyarakat Quraisy Makkah pada fase awal Islam. Sebagaimana inspirasi uslub Ibrahim ‘alayhissalam yang memberikan perumpamaan kepada kaumnya tentang tidak sebandingnya menjadikan bintang, bulan, maupun matahari sebagai Tuhan. Ibrahim ‘alayhissalam kemudian menutup pemaparan perumpamaan itu dengan “Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan!” (Al An’am [6]: 78).

Kisah muwajahah ini dipungkasi pada ayat 83 dengan “Dan itulah keterangan yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan derajat bagi siapa yang Kami kehendaki. Sesungguhnya Tuhanmu Mahabijaksana, Mahamengetahui”.

Pemaparan ‘pelajaran’ tauhid dalam bentuk suatu kisah dalam surat yang ‘turun sekaligus’ ini mengisyaratkan bahwa tauhid adalah kesatuan yang utuh berupa keyakinan (i’tiqad) dan pengamalan (tathbiq) dengan mendakwahkannya.

Demikianlah diantara keindahan metode Al Qur’an mengulang-ulang berbagai kisah para Nabi. Namun demikian, setiap sejarah Nabi tidak dikemukakan secara utuh, hanya dicuplik kisah yang menjadi pendukung isi surat yang didalamnya terdapat kisah tersebut. Ini bentuk mukjizat yang menunjukkan bahwa manusia tidak akan mampu melakukan hal yang serupa dalam menyimpulkan benang merah hikmah dari jutaan kenyataan sejarah yang tak terdokumentasi dalam tulisan para sejarawan.

Wallahu a’lamu bish shawab

Disaripatikan dari terjemah Kitab “Khowathir Qur’aniyah” karya Syaikh Amru Khalid, Penerbit Al I’tishom

Oleh: World Traveller, Yogyakarta