Kalimat diatas terlontarkan dari ujung telpon bercakapan antara seorang anak dan ibundanya. Seorang anak yang sudah beberapa tahun pergi merantau ke pulau seberang untuk menempuh pendidikan sehingga menyebabkan mereka harus terpisahkan oleh jarak ribuan kilometer.
Terlihat satu bentuk kecintaan dan kerinduan orang tua terhadap anaknya. Tapi, apakah sang anak juga merindukan mereka? Terkadang, kita merasa mereka malah menjadi ‘penggangu’. Astagfirullah, semoga itu hanya rasa yang sesaat. Rasa yang muncul karena rutinitas yang padat sehingga tuk menyapa mereka lewat telpon atau sms pun terasa sangat berat. Padahal, tiap waktu mereka memikirkan kita bahkan disetiap akhir berdoa tak pernah terlupakan memohon keselamatan dan kemudahan bagi anaknya yang sedang menimba ilmu di pulau seberang.
Orang tua mana yang tidak memperhatikan anaknya dan tidak ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya? Salah satu bentuk perhatian dan kasih sayang yang mereka berikan adalah ingin mengetahui setiap hari bagaimanakah kondisi anaknya? Apakah sehat? Apakah sudah makan? Apakah sudah istirahat? Apakah sudah sholat? Apakah sudah mengaji?
Subhanallah, sungguh besar harapan orang tua kepada kita agar anak-anaknya menjadi anak yang sholih-sholihah. Bukankah itu yang mereka inginkan? Sebab dari anak-anak yang sholih-sholihah itulah yang akan mendoakan mereka kelak ketika tiada ada lagi di dunia ini.
Sabda sang idola yang terabadikan hingga sekarang bahkan kiamat kelak yakni,
“Ketika anak adam meninggal dunia terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara yakni sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak yang sholih” (Hadits Riwayat Muslim)
Dari kalimat sang Nabi itulah kita berpedoman yang akan mengalirkan doa-doa untuk kedua orang tua. Sebab, kematian itu pasti akan dialami oleh setiap makhluk yang bernyawa. Jikalau tidak si anak yang terlebih dahulu meninggalkan orang tuanya atau orang tua baik ayah ataupun ibu yang terlebih dahulu berpulang kehadirat-Nya.
Begitu banyak kisah Nabi ataupun para sahabat yang mengajarkan tentang arti berbakti kepada orang tua. Salah satu kisahnya yakni kisah seorang sahabat yang ingin berbakti kepada orang tuanya dengan cara menggendong ibunya dari kota asalnya hingga ke kota Mekkah yang berjarak cukup jauh untuk melaksanakan ibadah haji.
“Apakah sudah terbalaskan baktiku kepada ibuku ini ya Rasulullah?”, tanya sang sahabat.
“Seandainya kau bolak balik”, jawab Nabi “Mengendong beliau dari kota asalmu hingga Mekkah dan kembali lagi ke kota asalmu maka itu tak cukup membalas satu tetes asi yang diberikan oleh ibumu”
Allahu Akbar. Masihkah hati ini tak ingin berbakti kepada orang tua? Sudah maksimalkan bakti kita kepada mereka? Walaupun mereka tak pernah meminta balas atas apa yang mereka berikan kepada anak-anaknya tapi apakah sebagai anak tak mau berbalas budi dan berterima kasih atas semua hal pemberian mereka sejak lahir hingga dewasa sekarang?
Semakin hari wajah ibu dan ayah kita semakin menua dan umur mereka pun semakin dekat dengan sang Penyabut Nyawa. Apakah kita belum sadarkan diri dengan kenyataan ini? Apakah kita akan berbakti ketika mereka telah tiada?
Kewajiban anak ketika terlahirkan di dunia ini tidak ada lain selain berbakti kepada orang tua. Orang tua yang telah melahirkan, mendidik dan membesarkan hingga sekarang. Rela mengorbankan waktu, harta atau bahkan nyawa yang mereka miliki demi kebahagiaan sang anak. Tapi, apakah balasannya?
Ketika mereka memasuki usia tua, satu per satu anak-anak mereka mulai menjauh. Saat mereka ingin dirawat dan ditemani dalam kesehariannya ternyata anak-anak mereka telah sibuk dengan kesibukan masing-masing sehingga mereka dilupakan dan dijauhi.
Bukankah dahulu mereka selalu menemani kita? Saat sang anak sakit mereka selalu ada disisi anaknya. Tapi, sekarang saat mereka sakit, apakah sang anak ada disisi mereka?
Saat sang anak belum makan. Sedangkan makanan yang tersedia sangat minim. Mereka rela berbohong demi anaknya. Mereka katakan dengan wajah berseri-seri bahwa mereka sudah makan. Padahal saat itu sedang menahan lapar. Tapi, rasa lapar itu hilang seketika saat melihat sang buah hati telah makan.
Kebahagiaan digoreskan di wajah ayah bunda ketika sang bayi baru lahir dan menangis. Mereka rawat, didik dan besarkan dengan perjuangan dan kesabaran.
Sang ibu harus rela menambahkan jadwal rutinitas ditengah-tengah mengurusi urusan rumah plus mengurusi anak kesayangan yang baru lahir. Tak ada rasa keluh kesah pun di mulutnya ketika waktu istirahat yang dia miliki hanya beberapa jam saja. Ini semua dia lakukan untuk kebahagiaan anak kelak dimasa akan datang.
Sang ayah pun rela lembur bekerja mencari tambahan nafkah yang akan dibawa pulang ke rumah untuk diserahkan kepada keluarga. Tetesan peluh yang membahasi wajah dan bajunya dihiraukan sesaat agar bisa melihat anaknya yang baru lahir tersenyum ketika dia pulang ke rumah.
Ibu dan ayah. Dua sosok yang tak akan pernah terpisahkan yang menjadi pahlawan bagi anak-anak yang mereka lahirkan. Dua sosok yang akan menjadi teladan bagi anak-anaknya.
Namun, kini dua sosok itu mulai uzur, tulang belulang yang menempel di rangka badan semakin hari semakin kerobos akibat dimakan usia. Rambut hitam yang pernah mampir di kepalanya pun kini sedikit demi sedikit mulai rontok dan disisikan oleh rambut-rambut putih yang semakin hari semakin banyak bertumbuhan di kepala.
Kata-kata yang telontar dari dua sosok ini, mulai tak terkendali. Kadang tak terdengar, kadang terulang. Masihkan nasihat-nasihat untuk anak-anaknya akan tersampaikan kembali? Ketika anak mulai melupakan mereka. Ketika anak sudah menghiraukan mereka. Bukankah dahulu ayah bunda tak pernah sedikit pun melupakan dan menghiraukan anak-anaknya?
Satu hal yang sekarang ini mereka harap-harapkan, diusia senjanya, diakhir hayatnya, dipenghujung kehidupannya. Tiada lain selain ingin berkumpul dan bercengkrama dengan anak-anaknya. “Nak, pulang ibu dan ayah merindukanmu”