Memilih calon pendamping hidup yang baik agamanya dan mulia akhlaknya adalah surga sebelum surga; tidak hanya bagi orang tua –suami atau istri, tapi juga bagi anak-anak. Keputusan ini menentukan baik-buruknya hidup berkeluarga yang merupakan pondasi pertama membangun peradaban.
Mengingat pentingnya keputusan memilih inilah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengingatkan, “Wanita dinikahi karena empat hal; karena hartanya, nasabnya, kecantikannya dan agamanya. Carilah wanita yang beragama, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Al-Bukhari, hadits nomor 4.802 dan Muslim, hadits nomor 1.466).
Makna hadits ini adalah,” kata Al-Qurthubi sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (14/330), “bahwa empat hal diatas menjadi motifasi seseorang dalam menikahi seorang wanita. Ini adalah kabar tentang realita yang ada, bukan karena adanya perintah. Bahkan, zhahir hadits ini menunjukkan kebolehan meniatkan untuk masing-masingnya, tetapi meniatkan agama adalah lebih utama.” Makna serupa juga disebutkan oleh Muhammad Fu’ad Abdul Baqi (Shahih Muslim: 2/1086).
Maka, mari periksa niat kita ketika hendak menikah. Apakah ingin mendapatkan kekayaan, kemuliaan nasab, ataukah karena kecantikan-ketampanan? Ataukah karena agama dan kemuliaan akhlaknya? Sungguh, kebenaran kita dalam menata niat ini akan menentukan barakah di dalam hidup berumah tangga. Sekali lagi, niat sangat mempengaruhi barakah. Orang yang menikah karena silau dengan kekayaan si keluarga putri, atau sebaliknya, maka ia akan diuji dengan kefakiran. Sesiapa yang menikah karena mengharapkan kedudukan terhormat, maka ia akan diuji dengan kehinaan. Inilah yang diperingatkan Rasulullah saw dalam hadits yang dikeluarkan oleh al-Baihaqi (hadits nomor 13.247), “Janganlah kamu menikahi seorang wanita karena kecantikannya, mungkin saja kecantikan itu membuatnya hina. Janganlah kamu menikahi seorang wanita karena hartanya, mungkin saja harta itu membuatnya melampaui batas. Akan tetapi nikahilah seorang wanita karena agamanya. Sebab, sungguh seorang wanita yang shalihah, meskipun hitam adalah lebih utama.”
Kisah Sufyan Ats-Tsauri yang diabadikan oleh al-Mizzi (654 H- 742 H) dalam kitabnya, Tahdzibul Kamil fi Asma’ir Rijal (11/194-195), perlu kita renungkan bersama. Yahya bin Yahya an-Naisaburi menceritakan, “Suatu hari, aku berdampingan dengan Sufyan ats-Tsauri. Tiba-tiba ada seorang lelaki mendatangi beliau seraya bertanya, “Wahai Abu Muhammad, aku ingin mengadu kepadamu tentang keadaan istriku. Aku menjadi lelaki yang paling hina di matanya.”
Yahya an-Naisaburi melanjutkan, “Maka, Sufyan pun menggeleng-gelengkan kepala beberapa jenak. Kemudian mengangkat kepalanya seraya berkata menyimpulkan, “Mungkin, dulu kamu menikahinya karena ingin mendapatkan kehormatan.” Lelaki itupun mengakuinya, “Iya, betul wahai Abu Muhammad.” Sufyan pun berpesan, “Barang siapa pergi karena mencari kehormatan, ia pasti diuji dengan kehinaan. Barangsiapa mengerjakan sesuatu lantaran dorongan harta, niscaya ia akan diuji dengan kefakiran. Barangsiapa mengerjakan sesuatu sebab dorongan agama, Allah akan menghimpun kehormatan dan harta bersama agamanya.”
Yahya, si perawi kemudian melanjutkan kisah pengalaman Sufyan sendiri yang menjadi bukti betapa hancurnya pernikahan yang didasari karena menginginkan kedudukan dan kekayaan, dan betapa barakahnya pernikahan karena kemuliaan agama si wanitanya.
Kata Yahya, “Lalu, Imam Sufyan mulai bercerita, ‘Kami adalah empat bersaudara, Muhammad, Imran, Ibrahim, dan aku sendiri. Muhammad adalah abang sulung., Imran adalah anak bungsu. Sedangkan aku berada di tengah-tengah. Tatkala Muhammad ingin menikah, ia menginginkan kemuliaan nasab. Maka ia menikahi wanita yang lebih tinggi kedudukannya. Kemudian Allah mengujinya dengan kehinaan. Sedangkan Imran, (saat menikah) ingin mendapatkan harta. Maka ia menikahi wanita yang lebih kaya dari dirinya. Allah kemudian mengujinya dengan kemiskinan. Keluarga wanita mengambil seluruh yang dimilikinya, tidak menyisakan sedikitpun. Aku pun merenungkan nasib keduanya. Sampai akhirnya Ma’mar bin Rasyid datang menghampiriku. Aku pun berbincang dengannya. Aku ceritakan kepadanya peristiwa yang menimpa para saudaraku. Ia mengingatkanku dengan hadis Yahya bin Ja’dah dan hadits Aisyah r. anha.
Hadis Yahya bin Ja’dah yang dimaksudkan, iaitu sabda Nabi saw, “Wanita dinikahi kerana empat perkara: Kerana hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Carilah wanita yang beragama, niscaya kamu akan beruntung.”
Sedangkan hadis Aisyah r. anha, Nabi saw bersabda, “Wanita yang paling besar barakahnya adalah wanita yang paling ringan maharnya.” Maka, aku memutuskan untuk memilih bagi diriku (wanita yang) memiliki agama dan beban yang ringan untuk mengikuti sunnah Rasulullah saw. Allah menghimpunkan bagiku kehormatan dan limpahan harta dengan sebab agamanya.” Demikian kisah Sufyan Ats-Tsauri yang perlu dijadikan teladan.
Jadi, bagi para pemuda, telitilah niatmu dalam memilih pendamping hidup, dan nikahilah wanita yang baik agamanya serta mulia akhlaknya. Itulah kunci hidup berkeluarga menjadi berbarakah, dalam senang dan susah. Wallahul muwaffiq.
Sepenuh cinta,
Ibnu Abdil Bari