Di ruang utama sebuah masjid, tampak orang-orang yang duduk melingkar. Suara ayat suci Al Qur’an terdengar dengan bacaan yang terbata-bata. Beberapa orang begitu khusyuk menyimak bacaan, sementara yang lain nampak berbincang setengah berbisik, dan ada satu orang lelaki paruh baya yang tertidur dalam posisi duduk memangku sebuah mushaf.
Bacaan yang terbata-bata itu lalu berhenti tiba-tiba sebelum waktunya. Namun, jamaah tidak lantas bertanya mengapa bacaan dihentikan, perhatian mereka justru tertuju kepada salah seorang diantara mereka yang tiba-tiba terisak. Dahlan, orang yang tadi tampak tertidur itu menangis tiba-tiba, dengan isakan yang tampak tertahan, seolah tidak ingin diketahiu oleh jamaah lainnya. Si pembaca Qur’an lantas menjadi bingung, apakah ayat yang dibacanya dengan terbata-bata tadi begitu menyentuh hati, sehingga mampu menerbitkan perasaan tersendiri kepada pendengarnya?
“Mengapa menangis pak? Apakah ayat yang dibacakan ini begitu menyentuh hati anda?” tanya sang ustadz yang sedang memimpin halaqoh tilawah Qur’an memecahkan tanya para jamaah.
“Tidak Ustadz, jujur saya tidak mengerti sama sekali arti ayat itu.”
“Lalu mengapa Pak Dahlan menangis?”
“Saya tidak menangis karena makna atau artinya, namun saya menangis karena saya tertidur,” jawab Dahlan dengan matanya yang masih sembab. Jamaah yang lain tersenyum mendengar jawaban tersebut. Mereka menyangka bahwa Dahlan tengah ketakutan karena mendapati dirinya tertidur saat menyimak bacan Qur’an, mungkin Pak Dahlan takut dimarahi Ustad.
“Tidak mengapa jika anda tertidur, tak perlu menangis Pak. Kami bisa memaklumi karena anda orang yang begitu sibuk.” Ustad itu menceba menenangkan hati Dahlan.
“Saya menangis bukan karena takut atau malu, saya menangis karena terharu dan bersyukur.” Jawaban Dahlan kembali terhenti, isak tangisnya kembali datang, membuatnya sulit berbicara. Sejenak keheranan menguasai para jamaah dan Sang Ustadz. Bagaimana bisa orang yang tertidur saat mendengarkan Qur’an tidak merasa malu atau paling tidak sedikit kikuk saat mendapati dirinya tertidur di tengah majelis Qur’an. Beberapa jamaah masih berusaha mencerna maksud dari jawaban Dahlan, apakah saking malunya dia, lantas membuatnya mencari jawaban yang aneh-aneh? Sementara seorang jamaah di sebelah Dahlan nampak mengelus punggung Dahlan yang sepertinya tak bisa menghentikan isakannya. Sedangkan Sang Ustadz masih terdiam, berusaha untuk sabar menanti jawaban Dahlan selanjutnya. Setelah berhasil mengatur nafas dan menata perasaannya, Dahlan kembali berbicara.
“Baik, begini.. Sebenarnya tidur saya tadi adalah tidur pertama saya semenjak dua bulan ini… Benar, selama dua bulan ini saya tidak bisa tidur sama sekali. Mungkin karena saya terlalu larut dalam pekerjaan saya, saya tidak bisa melepaskan diri dari urusan-urusan saya dengan bisnis dan perusahaan yang saya pimpin. Saya begitu larut membangun kejayaan yang sejak dahulu saya idam-idamkan. Ketika saya mendapatkan satu kesuksesan, maka saya haus akan kesuksesan yang lain. Saya akan segera menggarap bisnis lain, ketika bisnis sebelumnya telah mapan. Setiap detik sungguh menjadi peluang, dan setiap peluang adalah uang, dan uanglah yang akan mewujudkan impian kesuksesan saya.” Jamaah mendengarkan dengan seksama, namun apa yang mereka dengar bukanlah hal asing. Semua tahu bagaimana suksesnya Dahlan sebagai seorang pengusaha dengan kepemilikan atas properti yang tersebar dimana-mana. Dahlan menghela nafas, menenangkan isaknya yang masih tersisa, lantas ia lanjutkan ceritanya.
“Dengan kesuksesan saya itu, sayangnya, saya menjadi terpenjara. Pikiran-pikiran saya menjadi terpenjara oleh ketakutan-ketakutan. Saya harus memikirkan bisnis-bisnis yang telah saya bangun, saya takut orang-orang yang saya amanahi untuk mengelolanya gagal. Saya takut akan ada yang mencurangi saya. Laba harus selalu ditingkatkan, saya akan merasa sangat marah ketika laba usaha saya berkurang haya beberapa ratus ribu rupiah saja. Hidup saya penuh kecemasan, hingga saya kesulitan untuk memejamkan mata, untuk tidur!” Jamaah yang mendengar nampak bengong, sebegitu stres kah menjadi orang kaya? Pun demikian mereka masih ingin kaya.
“Puncaknya dua bulan lalu,” lanjut Dahlan, “saya jadi sama sekali tak bisa tidur. Obat tidur, menjadi menu harian saya. Memang, obat tidur itu mampu membuat saya tidur, namun bukan tidur yang nikmat. Tidur saya hanya seperti ketika saya merasakan malam yang tiba-tiba menjadi pagi, namun tidak ada perasaan segar di badan saya, tidak ada rasa penat yang terangkat! Obat tidur pun saya singkirkan, sebab saya tidak merasa lebih baik.”
“Tiba-tiba saya ingat kepada Allah. Namun bukan berarti selama ini saya tak ingat, saya masih sholat lima waktu selama ini. Namun saya mencoba lebih lagi beribadah, mencari ketenangan. Termasuk saya mulai untuk naik ke masjid sejak seminggu lalu. Namun demikian, masih juga tak bisa tidur. Alhamdulillah, saya melihat jadwal kajian Al-Qur’an di papan pengumuman dan saya berusaha untuk menghadiri. Ternyata ini adalah jawaban Allah atas masalah saya.”
“ Sejak awal saya mendengarkan bacaan Qur’an, saya sudah merasakan kantuk. Saya mencoba untuk berusaha melawan kantuk saya, namun saya benar-benar tak kuasa. Entah berapa lama tadi saya tidur, tapi sungguh rasanya nikmat sekali. Sangat jauh dari rasa tidurnya obat tidur yang hambar itu. Entah, apakah ada jin di dalam diri saya yang menolak bacaan Qur’an itu hingga saya terkantuk-kantuk, atau inilah yang dikatakan Qur’an sebagai penyembuh… namun yang pasti, saya benar-benar bersyukur… Alhamdulillah, Alhamdulillah!!” Matanya masih sembab, namun Dahlan mulai bisa tersenyum di akhir penuturannya.
Oleh : Rizky Mukhlisin