Beberapa remaja duduk berdesakan di shaf belakangku. Mendengarnya aku menoleh dan mempersilahkan jika ada yang bersedia memngisi tikar kami. Aku hanya duduk berderet dengan ibuku dan putri sulungku. Sementara tikar kami muat berempat.
“Ayo, silahkan, salah satu maju…”
Seorang remaja maju dan malu-malu duduk di sampingku. Aku tersenyum semanis mungkin untuk menguatkan hatinya. Dia duduk bersimpuh dan memangku bawahan mukenanya. Juga sebuah sajadah warna merah bergambar masjid yang sudah agak pudar warnanya.
“Dari mana, Dik?”
“Dari Balong Kidul, bu…” jawabnya lirih.
“Ke sini jalan kaki?”
“Iya…”
“Pak dukuhnya Balong siapa ya…?”
Ia tertawa tanpa suara dan menutup mulutnya, sambil menggelengkan kepalanya. Hmm, anak remaja sekarang, bahkan tidak tahu siapa nama pengurus kampungnya.
“Pe-eR, ya, besok tanyakan, siapa nama dukuhnya…” Aku bercanda. Namun ia mengangguk.
Sekilas aku meliriknya sambil menggemakan takbir.
Ia seperti remaja kebanyakan. Berangkat shalat ‘Id memakai atasan mukena. Aku tidak bisa melihat warna bajunya. Namun mulena yang dikenakannya cukup kusuh. Bahkan bagian kepalanya sudah menampakkan titik-titik hitam yang tidak sedikit, tanda jamuran.
Mukena itu juga sepertinya tidak sempat dicucinya, beberapa noda terlihat membayang.
“Kamu kelas berapa?”
“Kelas lima, Bu”
“SD …?” aku ragu-ragu lantaran melihat tubuhnya yang langsing menjulang, mungkin hampir setinggi kupingku. Ia hanya mengangguk, dan selalu dengan senyum malu.
“Umurmu berapa?”
“Dua belas tahun, Bu…” aku mengangguk-angguk paham.
“Eh, kamu punya adik apa tidak…?”
“Tidak punya bu. Adanya kakak… Mas dan mbakku ada tujuh…”
“Hah…, tujuh…? Banyak banget…!” kataku kaget.
Ia tersenyum malu.
“Bapak sama ibumu kerja apa?”
“Mencetak batu-bata…”
“Ibumu juga?” ia mengangguk
Lalu aku bertanya tentang sekolahnya, ia setiap hari naik sepeda ke sekolahnya yang berjarak sekitar dua km.
“Kamu ingin jadi apa…? Apa cita-citamu…?”
Ia menggeleng malu,”Nggak tahu, Bu…?”
“Kamu harus pikirkan ya, mau jadi apa. Kamu berusaha sekolah yang tinggi. Kalau kamu berusaha, pasti kamu bisa. Ia mengangguk. Semoga Ia faham.
Imam memulai shalat dan kamipun berbaris rapi mengikuti Imam. Usai shalat, sambil melipat mukena, aku menanyainya lagi.
“Kamu rajin shalat?”
Ia menggeleng malu-malu. Kadang-kadang bolong…”
“Kamu ikut TPA? Di masjid?”
Ia mengangguk, dan menyebutkan hari-hari apa saja ia berangkat TPA, namun ia belum bisa membaca Al-Qur’an. Aku menatap matanya sungguh-sungguh.
“Maukah kamu berjanji padaku…? Mau…?”
Ia memandangku dengan heran.
“Maukah kamu berjanji untuk belajar membaca Al-Qur’an dan rajin shalat lima waktu, Shubuh, Dhuhur, ‘Ashar, Maghrib, Isya’ gak pakai bolong….?” Ia mengangguk ragu.
Aku mengulurkan tangan.
“Ayo salaman sama aku. Kamu janji untuk rajin shalat lima waktu, sejak hari ini sampai selamanya.”
Ia menjabat tanganku dan mengangguk mantap.
“Ini mukena untukkmu. kamu pakai untuk shalat..!”
Aku menyerahkan mukenaku yang sudah kulipat. Ia nampak terkejut memandang mukena halus berbordir coklat muda dan krem. Menurutku mukenaku memang bagus, kubeli saat aku berkesempatan mengunjungi Malaysia pada 1 Mei 2012. Namun sedikitpun aku tidak sayang dengan mukena bersejarah yang menandai kepergianku saat merayakan hari buruh bersama para TKW di Kedutaan Malaysia. Toh, setiap kali ada saja orang memberiku mukena. Dan seringkali lebih bagus dari yang kubeli sendiri.
Kembali pada remaja di sebelahku yang masih terbelalak. Kuletakkan mukena itu dipangkuannya.
“Untukmu, dan janjimu untuk selalu shalat lima waktu, sejak saat ini…”
“Terimakasih…” katanya lirih. aku melihat matanya berkaca-kaca.
“Siapa namamu?”
“Giyem…”
“Nama ibumu?”
“Tukinem…”
“Sampaikan salamku untuk ibu Tukinem, ya…”
“Ibu namanya siapa?”
Itulah pertanyaan pertama yang dilontarkannya.
Aku menjawab pertanyaannya sambil tersenyum
“Sesekali mainlah ke rumahku, di belakang masjid itu…”
Ia mengangguk, sambil tersenyum juga, kali ini tidak lagi malu-malu.
Aku menerawang ke masa lalu. Saat-saat aku masih duduk di bangku SD dan SMP. Betapa aku seringkali malu saat pergi shalat ‘Id dengan mukenaku yang lusuh. Biasanya beberapa hari sebelumnya aku mencuci dan menggosoknya keras-keras dengan sikat, agar warna kuningnya sedikit pudar dan kembali ke warna asal yang seharusnya putih.
Lalu saat shalat di lapangan, aku melihat aneka mukena yang yang indah dan berandai-andai jika aku mengenakannya. Namun itu tak pernah terjadi. Hingga kuliah, aku selalu membeli mukena murah. Mukena bagus pertamaku adalah pemberian calon suamiku saat akad nikah.
Aku berharap, Giyem akan selalu mengingat momen ini, hari raya Idhul adha 1433 H.
Mengingat janjinya padaku dan pada Allah untuk shalat lima waktu. Dan segera merumuskan cita-citanya.
Sekalipun orang tuanya hanya pembuat batu-bata, aku berharap, ia bisa memperoleh pendidikan yang lebih baik. Pendidikan yang akan memutus rantai kemiskinan.
Saat bubaran shalat, barulah aku berkaca-kaca, memandang Giyem yang menghilang di kerumunan manusia, sambil mendekap mukena barunya. Sementara itu, atasan mukena lusuh yang tetap dipakainya melambai dan kulihat beberapa lubang di bagian belakangnya.
Maka kubiarkan keharuanku menjadi tetes air, yang hanya aku yang memahami seperti apa rasa hatiku.
10 Dzulhijjah, 1433 H – Lapangan Mertosanan Kulon, Potorono, Bantul, Yogyakarta.
Ida Nur Laila