Meski berguna buat dijadikan sedekah kepada fakir miskin, namun tujuan penembelihan hewan udh-hiyah bukan sematamata untuk ith’amu masakin (memberi makan orang-orang miskin). Sebab jenis ibadah ini tidak sebagaimana ibadah zakat yang tujuannya semata-mata memang untuk membantu mereka yang miskin dan fakir.
Ibadah penyembelihan hewan udh-hiyah ini sesungguhnya lebih ditekankan pada sisi penyembelihannya yang lebih merupakan intisari. Sedangkan alokasi pendistribusian dagingnya, bukan menjadi tujuan utama.
Namun demikian, tetap saja ada ketentuan yang mengatur kemana saja daging ini dibagikan, dan juga siapa yang tidak boleh memakannya, kita akan kupas di dalam bab ini.
A. Dimakan Sendiri, Dihadiahkan, dan Disedekahkan
Ada tiga objek peruntukan daging hewan sembelihan udh-hiyah. Pertama disunnahkan dimakan oleh yang menyembelihnya. Kedua dihadiahkan kepada kerabat dan sahabat. Dan ketiga disedekahkan kepada fakir miskin.
Oleh karena ada tiga objek peruntukan, maka sebagian ulama berkata bahwa sebaiknya daging itu dibagi tiga, sepertiga pertama untuk dimakan sendiri oleh yang menyembelih hewan udh-hiyah, sepertiga lagi untuk disedekahkan kepada fakir miskin dan sepertiga lagi sisanya untuk dihadiahkan kepada kerabat.
Namun jika lebih atau kurang dari sepertiga atau diserahkan pada sebagian orang tanpa lainnya, seperti hanya diberikan pada orang miskin saja tanpa yang lainnya, maka itu juga tetap diperbolehkan. Karena dalam masalah ini ada kelonggaran.
1. Dalil Al Quran
Di dalam Al Quran telah diisyaratkan tentang harus diapakan daging hewan yang telah disembelih.
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj : 28)
Di dalam ayat ini, selain disebutkan agar daging itu dimakan sendiri, juga diperintahakn agar diberikan kepada mereka yang disebut al bais al faqir, yaitu orang-orang yang sengsara dan fakir.
Sedangkan di ayat berikutnya juga disebutkan tentang perintah untuk memakannya dan memberikan kepada al qani’ dan al mu’tar, yaitu mereka yang tidak meminta-minta dan yang meminta-minta.
“Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (QS. Al Hajj : 36)
2. Dalil Sunnah
Sedangkan dalil yang lebih tegas lagi tentang pembagian tiga kelompok penerima daging hewan udh-hiyah adalah hadits berikut ini:
“Beliau memberi makan untuk keluarganya sepertiga, untuk orang-orang fakir dari tetangganya sepertiga, dan disedekahkan kepada orang yang meminta sepertiga. (HR. Abu Musa Al Ashfahani)
Dan juga ada sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam di dalam hadits shahih: “Makanlah, berilah makan orang miskin dan hadiahkanlah.” (HR.Bukhari dan Muslim).
Selain itu daging juga boleh dikirimkan ke tempat lain yang membutuhkannya, bahkan meski ke luar negeri. Namun tidak boleh dijual dan juga tidak boleh dijual kulitnya.
Maka tenaga orang yang menyembelihkan hewan kurban tidak boleh dibayar dengan daging kurban yang disembelihnya, atas dengan salah satu bagian dari hewan tersebut. Seperti kulit, kepala, kaki dan lainnya.
Sehingga bila seseorang meminta jasa orang lain untuk minta disembelihkan, maka bila yang menyembelihkan itu minta imbalan, haruslah diupah dari uang pribadi yang memiliki hewan tersebut, tidak boleh diambilkan dari penjualan bagian hewan itu.
Sehingga bila sebuah panitia memungut biaya penyembelihan hewan kepada pemilik hewan kurban, maka hal itu sudah benar dan sesuai dengan ketentuan syariat.
B. Bolehkah Non Muslim Diberi Daging Kurban
Apakah daging hewan udh-hiyah boleh diberikan kepada selain orang yang beragama Islam? Bolehkan orang kafir ikut menikmati daging itu?
Masalah ini menjadi titik perbedaan para ulama dalam hukumnya. Sebagian membolehkan kita memberikan daging kurban untuk non muslim (ahlu dzimah), sebagian lainnya tidak membolehkan.
Kalau kita telusuri lebih dalam literatur syariah, kita akan menemukan beberapa variasi perbedaan pendapat, yaitu:
Ibnul Munzir sebagaimana diriwayatkan oleh Al Imam An- Nawawi mengatakan bahwa umat Islam telah berijma’ (sepakat) atas kebolehan memberikan daging kurban kepada umat Islam, namun mereka berselisih paham bila diberikan kepada fakir dari kalangan non muslim.
1. Boleh
Imam Al Hasan Al Basri, Al Imam Abu Hanifah dan Abu Tsaur berpendapat bahwa boleh daging kurban itu diberikan kepada fakir miskin dari kalangan non Muslim.
Al Laits mengatakan bila daging itu dimasak dulu kemudian orang kafir zimmi diajak makan, maka hukumnya boleh.
Ibnu Qudamah mengatakan bahwa boleh hukumnya memberi daging kurban kepada non muslim. Kebolehannya sebagaimana kita dibolehkan memberi makanan bentuk lainnya kepada mereka. Dan karena memberi daging kurban kepada mereka sama kedudukannya dengan sedekah umumnya yang hukumnya boleh.
2. Makruh
Sedangkan Al Imam Malik berpendapat sebaliknya, beliau memakruhkannya, termasuk memakruhkan bila memberi kulit dan bagian-bagian dari hewan kurban kepada mereka.
3. Kurban Sunnah Boleh, Kurban Wajib Tidak Boleh
Al Imam An Nawawi mengatakan bahwa umumnya ulama membedakan antara hukum kurban sunnah dengan kurban wajib. Bila daging itu berasal dari kurban sunnah, maka boleh diberikan kepada non muslim. Sedangkan bila dari kurban yang hukumnya wajib, hukumnya tidak boleh. Maksudnya kurban wajib adalah kurban yang statusnya telah dinadzarkan oleh penyembelihnya.
4. Kafir Dzimmi Boleh, Kafir Harbi Tidak Boleh
Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah diajukan pertanyaan: Bolehkah daging kurban hasil sembelihan atau sesuatu yang termasuk sedekah diserahkan pada orang kafir?
Jawaban ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Da-imah:
“Orang kafir boleh diberi hewan hasil sembelihan kurban, asalkan ia bukan kafir harbi (yaitu bukan kafir yang diajak perang) …. Dalil hal ini adalah firman Allah: Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al Mumtahanah: 8).
Alasan lainnya, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah memerintahkan pada Asma’ binti Abi Bakr agar menyambung hubungan baik dengan ibunya padahal ibunya adalah seorang musyrik.”
Kesimpulan dari pendapat-pendapat yang agak saling berbeda ini adalah bahwa secara umum para ulama cenderung kepada pendapat yang pertama, yaitu pendapat yang membolehkan.
Khususnya bila non muslim itu termasuk faqir yang sangat membutuhkan bantuan, atau tinggal di tengah-tengah masyarakat muslim seperti cerita anda. Siapa tahu dengan kebaikan yang kita berikan, dia akan masuk Islam. Atau paling tidak, ada nilai tambah tersendiri dalam pandangannya tentang Islam dan umatnya, sehingga tidak memusuhi, bahkan berbalik menjadi simpati.
C. Bolehkah Yang Bernadzar Ikut Makan?
Daging hewan kurban yang berupa nadzar, oleh sebagian ulama memang dikatakan tidak boleh dimakan oleh yang berkurban. Namun sebagian ulama lainnya tidak melarangnya.
1. Pendapat Yang Mengharamkan
Sebagian ulama mengatakan bila hewan kurban itu berupa kurban nadzar, maka pihak yang berkurban diharamkan untuk memakannya.
Di antara mereka yang berpendapat demikian adalah para ulama dari mazhab Asy Syafi’i. Dan pendapat ini juga merupakan perkataan Al Imam Ahmad, serta juga merupakan pendapat sebagian kalangan ulama Hanabilah. (Asy Syirazi, Al Muhadzdzab, jilid 1 hal. 240)
Bagi mereka, alasan mengapa kurban nadzar itu tidak boleh dimakan sendiri, karena orang tersebut pada hakikatnya telah berjanji untuk bersedekah dalam bentuk hewan kurban. Jadi hewan kurban itu tidak boleh dimakan sendiri, sebab yang namanya memakan daging kurban sendiri berarti bukan sedekah.
Dengan logika demikian, maka semua daging hewan kurban yang statusnya nadzar harus disedekahkan semuanya, tidak boleh ada yang dimakan sendiri.
2. Pendapat Yang Membolehkan
Akan tetapi tidak semua ulama mengharamkannya, sebagian kalangan ulama malah membolehkan pihak yang berkurban untuk memakannya.
Mazhab Al Malikiyah dan pendapat yang kuat dari mazhab Al Hanabilah termasuk yang membolehkannya. Sebab dalam pandangan mereka, ketika hewan kurban dinadzarkan, yang berubah hanya hukumnya dari sunnah menjadi wajib. Sedangkan kedudukannya untuk boleh dimakan sendiri sebagiannya tidak berubah.
Kesimpulan
Jadi barangkali yang diributkan oleh orang-orang di kampung anda itu terbatas pada hewan kurban yang statusnya nadzar, di mana para ulama di masa salaf dahulu memang belum selesai dengan hal itu.
Sedangkan hewan kurban biasa yang hukumnya sunnah, tidak ada satu pun yang mengatakan bahwa pihak yang berkurban haram untuk memakannya.