Namanya Amru Bin Ash. Ia adalah seorang panglima besar yang harum namanya saat membebaskan Mesir dari cengkeraman Romawi. Memang, ia gagah, tegas dan amat pemberani. Ia jago strategi dan fisik di medan laga. Seorang mujahid yang amat terlatih. Siapapun teman yang bertemu muka akan segan dan menaruh hormat padanya. Siapapun lawan yang berpapasan dengannya akan menekuk nyalinya dan minggir perlahan.
Tetapi, amanah pembebasan Mesir menyisakan kisah yang berbeda dari misi utamanya. Bukan kemahirannya berperang yang menjadikannya masyhur. Bukan pula gegap gempita pasukan beserta gemerincing senjata dan pekik kemenangan yang membuatnya harum. Ia menjadi buah bibir ‘hanya’ karena memberi kesempatan burung merpati mengerami telur di tenda komandonya.
Sebelum pasukan bertempur, ia memerintahkan para prajurit untuk membongkar seluruh tenda. Ia dan seluruh pasukan ingin berjuang tidak untuk kembali ke tenda. Harus menang atau mati mulia sebagai syuhada. Tetapi tenda sang panglima, Amru bin Ash, dibiarkan utuh demi sepasang merpati yang terlanjur membuat sarang di sudutnya dan tiap hari mengerami telurnya. Orang-orang Mesir pada awalnya ketakutan, mengira akan ada pembantaian, perampasan, atau pemerkosaan besar-besaran dengan peristiwa ini (sebagaimana sering dilakukan oleh pasukan Romawi). Tetapi begitu tahu kisah yang sesungguhnya, mereka langsung menyambut gembira para pasukan islam ini. Tentu saja Amru bin Ash tidak luput dari pujian.
Demikianlah, dan waktu pun bergulir bersama nama harum Amru. Sampai ke telinga kita.
Siapakah pengukir sejarah itu sesungguhnya?
Pengukir sejarah, tidak lain adalah kita sendiri. Dan itu kita sudah tahu. Yang kita butuhkan adalah kesadaran, bahwa apapun amal yang kita perbuat saat ini boleh jadi akan menentukan bentukan sejarah; siapa kita. Sementara itu kita juga tak boleh lupa diri bahwa menyengaja untuk membuat sejarah gemilang itu juga tidak bersih dari niat ujub dan riya’ (ingin dipuji). Apakah sejarah akan mengenangnya? Iya, akan mengenangnya dengan tulisan, “Tersebutlah, si fulan yang ingin dikenang…”
Sekarang kita menekuni sebuah proses yang panjang untuk sebuah cita-cita mulia. Kita berulang menyeka peluh dan menghela napas, sambil terus menapakkan kaki yang letih. Di dada kita, menancap kuat idealisme dan keyakinan akan perubahan. Sebagian di antara kita membetahkan diri berjuang di parlemen, mencoba bertahan di medan birokrasi, mengurai dengan sabar masalah sosial, bergulat penuh ikhlas dalam dunia pendidikan, dan medan juang lainnya.
Apakah para pejuang kebaikan ini kelak akan harum dikenang dalam sejarah? Tidak serta merta demikian. Setiap amalan selalu berhubungan dengan niat, dan malaikat Allah tak pernah lupa mengamati niat ini. Boleh jadi pencapaian utama yang kita tuju akan diabaikan oleh sejarah. Atau tercatat tidak seharum yang kita duga.
Sebagaimana perjuangan Amru bin Ash, ada fragmen-fragmen kecil amalan yang justru kadang di-zoom oleh sejarah, menjadi besar dan menentukan namanya. Briptu Norman Kamaru berjuang di kesatuan Brimob, tetapi sejarah malah mencatatnya sebagai entertainer. Ada fragmen kecil amal yang merubah segalanya. Ia hanya bermaksud menghibur teman yang sedih, lewat lipsing lagu India. Ada orang lain yang memasukkan rekaman itu ke youtube, lalu berubahlah sejarah tentang Briptu Norman. Ini contoh yang enak didengar. Banyak orang besar yang menghabiskan usianya untuk sebuah perjuangan. Tetapi di ujung waktu, sejarah berkata lain. Mereka yang bertahun-tahun memperjuangkan suara rakyat dengan bersih, menemui batang sejarah dirinya sebagai seorang koruptor, hanya karen keusilan jemarinya memainkan angka anggaran belanja negara. Seorang public figure mengukir baik-baik namanya, digandrungi dan diidolakan. Tetapi ia kemudian tenggelam hanya karena sekali menghisap sabu-sabu.
Sementara itu si anak jalang, Mike Tyson adalah manusia yang kelam. Tetapi sejarah pernah mengukirnya sebagai anak berprestasi ketika ia merobohkan Frank Bruno di usia belasan tahun.
Kita hendaknya menyadari ‘pahat-pahat’ yang akan menentukan ukiran sejarah kita. Ada pahat yang datar, ada yang lengkung, ada yang matanya bersudut, dan bergerigi. Hanya dengan satu jenis pahat, setajam apapun, rasanya sulit untuk membuat ukiran menjadi indah. Butuh pahat yang lain, meskipun tampak remeh dan kecil. Sebab dari yang kecil ini lekuk detail ukiran dapat kita buat, bahkan bisa jadi, menjadi penentu: apa yang sedang kita ukir.
Kumpulkan ‘pahat-pahat’ sejarah itu mulai sekarang. Lakukan amal kebaikan apapun dengan ikhlas. Amal-amal inilah, meskipun kecil dan tidak diperhitungkan oleh manusia, dapat bernilai lebih di hadapan Allah azza wajalla. Dan, kadang dari sesuatu yang kecil inilah sejarah kita terukir.
Pahatlah sejarahmu. Tetapi gunakan ‘pahat’ dengan bijak. ‘Pahat’ yang salah guna malah membuat ukiran sejarah kita coreng moreng dan kita seolah tak pernah memiliki kebaikan.