Dalam hasil rumusan Bahtsul Masail Ad Diniyah Al Maudhuiyah Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdhatul Ulama tahun 2012 dijelaskan mengenai PEMILUKADA DALAM PERSPEKTIF ISLAM.
Pemilukada yang didasarkan pada UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memiliki tujuan yang sangat mulia, antara lain:
a. Melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat luas dalam memilih pemimpin di daerahnya. Dengan demikian, ini merupakan pendidikan politik bagi masyarakat dalam berdemokrasi.
b. Terpilihnya kepala daerah yang aspiratif yang memahami betul problematika masyarakat dan pemecahannya.
Tujuan mulia ini dapat disebut dengan kemaslahatan (mashlahah) yang hendak diraih dengan pemilukada.
Dalam praktek pelaksanaan pemilukada selama ini, dampak positif (mashlahah) yang diharapkan tidak selalu terbukti. Bahkan sebaliknya, dampak negatif (mafsadah), baik dalam proses maupun dalam produknya, telah terjadi dalam skala yang sangat mencemaskan.
Pendidikan politik yang diberikan kepada rakyat melalui pemilukada bukanlah pendidikan politik yang sehat, melainkan pendidikan politik yang buruk, antara lain berupa merebaknya money politics (risywah siyasiyyah). Biaya pemilukada menjadi sangat mahal, bukan hanya bagi negara, tetapi juga bagi para kandidat. Hal ini sangat potensial untuk menimbulkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Banyaknya kepala daerah yang terlibat kasus korupsi, membuktikan kebenaran hal ini.
Harapan untuk memperoleh kepala daerah yang terbaik (ashlah) melalui pemilukada, lebih sering tidak terwujud dalam kenyataan. Sementara itu konflik horizontal akibat pemilukada telah menjadi kenyataan yang sangat memprihatinkan.
Mengingat mafsadah pemilukada merupakan mafsadah yang sudah nyata terjadi (muhaqqaqah), sedangkan mashlahahnya baru berwujud mashlahah semu (wahmiyyah) yang ada dalam praduga dan angan-angan (mawhumah), maka pemilukada harus ditinjau kembali. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan.”
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) gubernur, bupati dan walikota melalui lembaga perwakilan (DPRD tingkat I dan DPRD tingkat II) layak untuk diberlakukan kembali, karena terbukti mafsadahnya lebih kecil daripada mafsadah pemilukada. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum Islam tentang ditempuhnya madharat yang lebih ringan di antara dua madharat (irtikab akhaff al-dlararain) yang didasarkan pada kaidah fiqhiyyah:
يرتكب الضرر الأخف لدفع الضرر الأشد
“Ditempuh madharat yang lebih ringan dalam rangka menghindari madharat yang lebih berat.”
Ditetapkan di Pondok Pesantren Kempek, Palimanan, Cirebon
Pada tanggal 30 Syawwal 1433 H/16 September 2012
Tim Perumus Komisi Bahtsul Masail al-Diniyyah al-Maudlu’iyah Musyawarah Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2012
1. Prof. Dr. KH. Artani Hasbi
2. Dr. H.A. Malik Madaniy, MA
3. KH. Afifuddin Muhajir
4. Sholahuddin al-Aiyubi, M.Si
5. HM. Mujib Qulyubi, MH
6. Drs. KH. Eep Nuruddin
7. H. Ahmad Asyhar Shofwan
8. Tgk. H. Syarqawi Abdus Shamad
9. Muhammad Jadul Maula
10. Dr. Abdul Jalil, M.E.I
11. H. Bachrudin Nasori