Ruh Saja atau Juga Jasad?
Ada sebagian kalangan yang mengatakan bahwa Isra dan Mi’rajnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam hanya ruhnya saja, sedangkan jasadnya tidak ikut.
Pendapat ini kalau kita kaitkan dengan peristiwa-peristiwa sesudahnya serta dampak yang dialami oleh beliau Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, nampak kurang bisa diterima.
Sebab bila hanya ruhnya yang terbang ke langit, sedangkan jasadnya tetap di bumi, seharusnya tidak perlu ada kegegeran di tengah kaumnya. Padahal sirah nabawiyah mencatat bahwa setelah pengakuan Nabi atas peristiwa itu, muncul reaksi dari para kalangan kafir Quraisy yang mengingkarinya.
Buat logika mereka, tidak mungkin ada manusia bisa terbang ke langit dengan jasadnya. Kalau sekedar ruhnya saja, banyak di antara mereka yang bisa mempercayainya.
Sebagaimana masyarakat Arab saat itu percaya adanya jin yang bisa terbang tinggi ke langit. Sehingga bila yang terbang ke langit hanya ruh Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam saja, tentu tidak akan menimbulkan bantahan.
Namun karena beliau Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengatakan bahwa dirinya sepenuhnya, termasu jasad dan ruhnya, yang terbang ke luar angkasa, setelah sebelumnya ‘mampir’ ke Baitil Maqdis di Palestina, muncullah penolakan luar biasa dari orang arab.
Dan pemahaman bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berisra’ dan mi’raj dengan jasad dan ruhnya secara sadar, bukan mimpi, adalah keyakinan mayoritas umat Islam, serta menjadi keyakinan paham ahlussunnah wal jamaah sepanjang zaman.
Sebaliknya, mereka yang mengingkari kalau jasadnya ikut terbang, umumnya muncul dari kalangan ahli ra’yu yang lebih menekankan pertimbangan logika manusia ketimbang wahyu.
Hadits tentang Tawar Menawar Jumlah Shalat
Shahih tidaknya suatu hadits adalah urusan para ahli hadits. Mereka kita sebut dengan istilah muhaddits. Dengan segala ilmu yang ada, mereka adalah orang-orang yang punya kapasitas dan otoritas untuk menilai dan menetapkan kedudukan suatu hadits.
Sementara kita yang bukan ahli hadits, tentu saja tidak dibenarkan main tuduh tentang kedudukan suatu hadits. Shahih dan tidaknya suatu hadits, sama sekali kita tidak pernah mengetahuinya, dan tidak pernah ada yang memberikan otoritas kepada kita untuk mengatakan apa pun tentang hal itu.
Mereka yang termasuk para muhaddits adalah para ulama besar yang diakui oleh dunia Islam sepanjang sejarah. Di tempat teratas, boleh kita sebut nama-nama besar seperti Al Imam Al Bukhari dan Al Imam Muslim rahimahumallah.
Keduanya boleh dibilang begawan dalam ilmu hadits. Masing-masing telah menyusun kitab yang disepakati sebagai kitab paling shahih di dunia setelah Al Quran. Tidak ada yang menentang hal ini dan sudah teruji sepanjang 14 abad terakhir ini.
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Allah mewajibkan atas umatku 50 shalat dan aku kembali dengan perintah itu, sampai aku melewati Nabi Musa di mana dia bertanya, “Apa yang Allah wajibkan kepada umatmu?” Aku menjawab, “Allah mewajibkan 50 shalat.”Musa berkata, “Kembali kepada tuhanmu, karena umatmu tidak akan kuat atas perintah itu.” Maka aku kembali dan Allah menghapuskan separuhnya dan aku kembali kepada Musa dan berkata, “Allah telah menghapuskan sepatuhnya.”
Musa berkata lagi, “Kembali kepada tuhanmu, karena umatmu tidak akan kuat atas perintah itu.” Maka aku kembali dan Allah menghapuskan separuhnya dan aku kembali kepada Musa.
Musa berkata lagi, “Kembali kepada tuhanmu, karena umatmu tidak akan kuat atas perintah itu.” Maka aku kembali dan Allah berkata, “Shalat itu lima (waktu) dan dinilai lima puluh (pahalanya) dan perkataan-Ku tidak akan berganti.” Aku kembali lagi kepada Musa.
Musa berkata lagi, “Kembali kepada tuhanmu.” Namun aku berkata, “Aku sudah malu kepada tuhanku.”(HR Bukhari Muslim)
Kedudukan Hadits Mi’raj
Hadits tentang kisah mi’raj Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bertemu dengan Nabi Musa ‘alaihissalam, adalah hadits yang terdapat di dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim. Artinya, hadits itu adalah hadits yang shahih, bukan hadits dhaif atau hadits palsu.
Selain Al Bukhari dan Muslim, para ahli hadits lainnya juga mengatakan hal yang sama, yaitu hadits ini adalah hadits yang shahih. Tidak adasatu pun catatan yang menyebutkan bahwa misalnya ada satu ahli hadits yang mengatakan bahwa riwayat ini tidak shahih atau palsu.
Tawar Menawar
Adapun urusan’tawar menawar’ masalah kewajiban shalat 5 waktu yang dipermasalahkan, sebenarnya tidak perlu dibikin susah. Haditsnya sudah shahih dan kita sudah menerima dengan sepenuh keyakinan.
Kita tidak mungkin mengatakan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam orang bodoh karena mau disuruh-suruh. Siapa yang menafsirkan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam disuruh-suruh? Beliau sendiri tidak merasa disuruh-suruh oleh Musa.
Hanya para orientalis dan dan para zindiq saja yang kemudian memelintir kenyataan menjadi mimpi siang bolong seolahnabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam jadi bodoh karena mau disuruh-suruh oleh Nabi Musa.
Kalau kita mengerti ilmu bayan, balaghahdan ilmu bahasa arab, tidak semua kata perintah berarti menyuruh sebagaimanatuan memerintah kepada jongosnya. Misalnyaucapan kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam surat Al Fatihah: Ihdinashshirathal mustaqim, yang artinya adalah berilah kami petunjuk jalan yang lurus. Kata ihdina adalah fi’il amr yang berfungsi perintah.
Laluapakah kita dengan itu kita boleh mengambil kesimpuan bahwa kita ini adalah tuandanAllah (na’uzubillah) adalah jongos, lalu Dia kita suruh-suruh, hanya lantaran kita memerintahkan sesuatu kepada Allah?
Kalau pertanyaanya kenapa tidak ada kisah itu di dalam Al Quran, jawabnya itu adalah urusan Allah. Apakah sebuah keimanan harus ditulis dulu di dalam Al Quran baru kita mau percaya? Apa yang kurang dari hadits nabawi? Atau jangan-jangan kita sudah terpedaya oleh pemikiran-pemikiran paham ingkarussunnah?
Apa salahnya kisah itu dituliskan di dalam hadits nabawi? Apakah kalau sebuah kisah hanya ditulis di dalam hadits nabi, lantas kita boleh begitu saja main vonis bahwa kisah itu palsu atau israiliyat? Apakah semua hadits itu israiliyat?
Nabi Musa Shahabat Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam
Yang benar adalah bahwa Nabi Musa adalah shahabat Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Beliau pernah punya pengalaman buruk dengan kaumnya yang yahudi itu. Makanya begitu mendengar umat Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dibebani shalat 50 waktu, Musa memberi saran dan masukan, bukan perintah apalagi menjadikan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam sebagai orang bodoh yang disuruh-suruh. Tidak pernah Nabi Musa main paksa kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Dan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak ada masalah kalau sengaja membuat Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bolak-balik. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan dari kisah itu, semua biasa-biasa saja. Wajar kalau Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengoreksi perintahnya sendiri. Sama sekali tidak menunjukkan ketidak-sepurnaan-Nya.
Yang perlu diherankan justrucara berpikir negatif para zindiq, yang dengan mudah memvonisnabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam sebagai orang bodoh (naudzubillah). Ada ada saja celah yang mereka gunakan untuk melakukan penghinaan kepada agama ini.
Sayangnya, mereka yang bukan zindiq terkadangikut terbawa-bawa dengan pikiran jahat, lantaran pikiran-pikiran jahat itu memang diposting di internet. Mungkin cara berpikir para zindiq inilahyang justru perlu diinstall ulang.
Perayaan Isra’ Mi’raj
Para shahabat Nabi memang tidak pernah mengadakan ritual apapun, termasuk tidak pernah merayakan peringatan hari lahirnya Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, juga tidak pernah merayakan hari turunnya Al Quran dan Isra’ mi’raj nabi.
Semua itu tidak pernah dilakukan di zaman shahabat, apalagi di zaman Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam masih hidup. Tidak ada satu pun ulama yang menolak realita ini. Semua mengakui bahwa di masa itu belum ada kegiatan seperti itu.
Namun ketika ada orang atau kalangan masyarakat muslim yang kemudian melakukannya, seperti yang kita lihat di berbagai negeri muslim, apakah hal itu juga harus dilarang? Apakah perayaan itu menjadi bid’ah dan haram untuk dikerjakan? Dan apakah ada larangan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam secara khusus untuk mengharamkan perayaan itu?
Jawaban masalah seperti ini tidak pernah sampai ke titik final kesepakatan. Para ulama dan umat Islam banyak berbeda dalam menyikapinya. Sebagian kalangan tanpa tedeng aling-aling langsung mengeluarkan fatwa haram dan bid’ah. Artinya, siapa saja yang melakukan berbagai kegiatan ini berdosa besar dan matinya akan masuk neraka.
Namun sebagian lainnya memandang dengan sudut pandang berbeda. Meski tetap mengakui bahwa di masa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan di masa para shahabat tidak pernah ada kegiatan seperti ini, namun dalam pandangan mereka, kegiatan seperti ini tidak lantas menjadi haram untuk dikerjakan.
Dua kubu ini sejak zaman dahulu sudah berbeda pendapat, dan rasanya sampai hari ini perbedaan pendapat itu masih tetap berlangsung. Yang satu tetap setia dengan vonis bid’ahnya dan yang lain tetap komintmen untuk tidak membid’ahkannya.
Pendapat Yang Membid’ahkan
Mereka yang membid’ahkan perayaan-perayaan seperti disebutkan di atas, biasanya berargumen bahwa apa saja kegiatan keagamaan yang tidak ada contoh dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabat, berarti hukumnya bid’ah. Dan semua jenis bid’ah itu sesat dan orang sesat itu tempatnya di neraka.
Mereka umumnya sangat khawatir kalau urusan mengadakan perayaan maulid, isra’ mi’raj dan nuzulul quran akan menyeret diri mereka ke neraka. Tidak cukup ketakutan itu untuk diri mereka, mereka pun sibuk berkampanye melarang umat Islam melakukannya.
Jutaan eksemplar buku, kaset, ceramah, rekaman dan alat propaganda serta aliran dana mereka gulirkan untuk kampanye bahwa semua itu adalah sesat dan berujung ke neraka.
Dalilnya sederhana saja, karena semua itu tidak pernah dilakukan di zaman nabi, maka siapa saja yang melakukannya dianggap telah membuat agama baru dan tempatnya kekal di dalam neraka.
Pendapat Yang Membolehkan
Mereka yang membolehkan tidak juga tidak mau kalah dalam berargumen. Meski di zaman Nabi tidak pernah dilakukan, namun menurut mereka tidak lantas kegiatan seperti itu bisa dianggap sebagai bid’ah sesat dan membawa ke neraka.
Sebab yang termasuk bid’ah hanyalah bisa seseorang menambah ritual peribadatan, seperti shalat yang ditambahi rukun atau rakaatnya. Sedangkan kegiatan peringatan maulid nabi, menurut mereka, tidak ada kaitannya dengan ibadah rtitual, namun lebih terkait dengan masalah teknis muamalah. Dan dalam masalah muamalah, prinsipnya apapun boleh dilakukan selama tidak melanggar hAl hal yang memang secara tegas dilarang.
Kalau menambahi rakaat shalat shubuh menjadi tiga rakaat, barulah itu namanya bid’ah. Atau mengubah tempat haji dari Arafah ke lapangan monas, itu juga bid’ah. Tapi kalau kita memperingati lahirnya seseorang termasuk Nabi kita, atau hari awal turunnya Quran, sama sekali tidak ada kaitannya dengan ritual ibadah.
Demikian pendapat mereka yang membolehkan kegiatan seperti itu.
Saran
Mungkin ada baiknya kedua kelompok ini duduk bersama untuk membahas masalah ini secara lebih terbuka. Setidaknya agar umat Islam tidak dibuat bingung dan semakin saling bermusuhan dengan sesamanya.
Karena sikap-sikap dari masing-masing gurunya terkadang tidak mengajak ke arah toleransi dalam berbeda pendapat. Sebaliknya, cenderung malah sengaja ingin menyebarkan rasa permusuhan, merasa diri paling benar sendiri, orang lain harus dalam posisi yang salah, bodoh, jahil dan tidak punya ilmu.
Mentalitas seperti ini terkadang malah menggerogoti keikhlasan dalam berdakwah. Akhirnya, orientasi dakwah yang awalnya mengajak orang menjadi baik, berubah malah mengajak orang untuk saling memusuhi dengan sesama umat Islam.
Padahal seandainya masing-masing mengelar pendapat secara baik-baik, di dalam forum kajian yang ilmiyah, dengan dilandasi dengan semangat kebersamaan, serta rasa kasih sayang, tentu suasananya tidak akan sekeruh sekarang.
Mungkin dengan pergantian generasi hal itu akan tercapai, insya Allah