Banyak orang salah sangka jika membayangkan negara yang dipimpin berdasarkan Al Quran dan As Sunnah itu sebagai negara yang agenda utamanya memata-matai dan menghukum rakyat yang tidak mematuhi syariat.
Gambaran negara yang Islami sebagai negara yang sibuk mencari terdakwa untuk dihukum dengan undang-undang hudud adalah gambaran yang salah yang ada di pikiran sebagian pihak yang kurang memahami Islam. Seperti yang saya jelaskan sebelum ini, hudud hanya mekanisme untuk mengatasi jinayah-jinayah (kriminalitas) tertentu, bukan gambaran keseluruhan negara Islam, bahkan bukan hudud juga undang-undang yang merangkum semua jinayah (kejahatan).
Banyak lagi jinayah (kejahatan) yang tidak tersenarai di bawah hudud. Sebagian besar jinayah (kejahatan) bermacam-macam, terutama di zaman ini, berada di bawah takzir (discretionary punishment). Mekanisme ini juga memerlukan suasana yang kondusif untuk pelaksanaannya.
Seseorang Muslim jika berbicara tentang pemerintahan dan tanggungjawab pemerintahan bukanlah membayangkan mekanisme mengatasi jinayah (kejahatan) semata, tetapi membayangkan tanggungjawab keadilan dan kebajikan yang menjadi asas tersebarnya kebaikan dan keamanan dalam negara.
Karena itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz saat beliau dilantik menjadi khalifah, beliau seakan tergumam dan begitu mengiba. Beliau terus bersendirian bershalat dan menangis. Airmatanya bercucuran hingga ke janggutnya. Bila isterinya Fatimah bertanya, dia berkata:
“Wahai Fatimah! Aku telah dikalungkan urusan umat Muhammad ini yang meliputi berbagai bangsa. Maka aku terpikir tentang orang fakir yang lapar, yang sakit lagi derita, orang yang tidak berpakaian yang susah, orang yang dizhalimi lagi dipaksa, tawanan perang yang jauh, orang tua yang udzur, orang yang mempunyai keluarga yang banyak sedangkan hartanya sedikit dan seumpama mereka yang berada di segala tempat dan penjuru negara. Aku tahu tuhanku akan bertanya padaku mengenai mereka pada Hari Kiamat kelak. Aku bimbang alasanku tidak cukup kukuh untuk menjawabnya, lalu aku pun menangis.” (Adz Dzahabi, Tarikh Al Islam wa Wafayat Al Masyahir wa Al A’lam, 7/197. Beirut: Dar Al Kitab Al ‘Arabi/1407H)
Demikianlah gambaran tanggungjawab pemerintahan yang ada dalam pemikiran beliau. Tanggungjawab menyebarkan kebajikan, pembagian harta yang adil dan amanah serta kebaikan untuk rakyat di segenap lapisan masyarakat. Tanggungjawab inilah yang beliau takut dan bimbang Allah hukum beliau di akhirat kelak. Inilah asas kerahmatan dalam kepimpinan negara yang berdasarkan wahyu Allah. Tanggungjawab pemerintah di hadapan Allah tentang kebajikan rakyat lebih ditakuti dibandingkan di hadapan rakyat sendiri atau ‘Komisi Pemberantasan Korupsi’.
Itulah gambaran negara yang sepatutnya berada dalam pemikiran umat Islam yang cintakan Islam. Para sarjana Islam telah lama mengatkan hal ini. Muhammad bin Ka’ab Al Qurtubi jika diminta oleh ‘Umar bin Abdul Aziz untuk menyifatkan keadilan pemerintah, katanya:
“Jadilah engkau ayah bagi yang muda, anak kepada yang tua, saudara kepada yang sebaya. Demikian juga kepada wanita. Hukumlah manusia dengan kadar kesalahan dan kemampuan mereka. Jangan engkau pukul disebabkan kemarahanmu walaupun satu pukulan, nanti engkau termasuk dalam golongan yang melampau.” ( Ibn Muflih, Al Adab Asy Syar‘iyyah, 1/202. Beirut: Muassasah Ar Risalah/1417H).
Membedakan Jenis Jinayah (Kejahatan)
Dalam hudud ada dua jenis dosa yang dihukum; pertama; dosa yang melibatkan kesalahan individu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti berzina dan minum arak. Dosa bagian ini lebih kepada merusakkan diri pelaku itu sendiri. Kedua; dosa yang merusakkan atau mengancam keselamatan masyarakat awam seperti merompak, memperkosa, mencuri, memberontak, dan perkara yang berkaitan dengannya.
Dosa bagian pertama Islam melarang kita melakukan tajassus ataupun memata-matai. Sementara dosa bagian kedua, oleh karena ia mengancam masyarakat dan fitnah lebih besar dari tajassus, maka memata-matai boleh dilakukan. Ini seperti yang disebut oleh Al Imam Asy Syaukani (meninggal 1250H):
“Aku katakan; jika hanya semata-mata sangkaan maka tidak mencukupi dalam hal ini. Bahkan mestilah dengan pengetahuan, jika tidak, ia termasuk dalam tajassus yang dilarang berdasarkan dalil Al Quran. Namun dibolehkan untuk suatu kemaslahatan yang mana membantah kemungkaran itu lebih kukuh dibandingkan meninggalkan tajassus dan kerusakan meninggalkan bantahan terhadap kemungkaran lebih dahsyat dari kerusakan tajassus. Atau mungkin boleh digabungkan bahawa pengharaman tajassus berkaitan dengan tanpa pengetahuan (sangkaan) karena tidak dinamakan tajassus jika perlaksananya benar-benar mengetahui.” (Asy Syaukani, As Sail Al Jarar, 4/591 Beirut: Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyyah/1405H)
Hudud dan Hak Privasi
Banyak akan menganggap, jika hudud dilaksanakan berarti privacy individu akan terganggu. Memata-matai di sana-sini akan dibuat untuk mencari orang yang berzina dan minum arak. Ini diburukkan lagi dengan gambaran perlaksanaan sekarang yang dilakukan oleh pihak penegak agama di sebagian tempat jika mereka seakan memasang ‘spy’ dalam mencari pelaku maksiat pribadi. Hal ini amat salah dan bertentangan dengan firman Allah dalam Surah Al Hujurat ayat 12:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari sangkaan (supaya kamu tidak menyangka sangkaan yang dilarang) karena sesungguhnya sebagian dari sangkaan itu adalah dosa; dan janganlah kamu mengintip mencari-cari kesalahan orang..”
Dr Yusuf Al Qaradhawi menyebut:
“Aku ingin agar diberikan perhatian tentang perkara yang penting mengenai hudud; bahwa Islam tidak terkejar-kejar mencari bukti, tidak mengintai untuk melaksanakan hukum ke atas pelaku kesalahan, tidak mencipta alat untuk mencari rahasia pelaku maksiat atau memasang kamera tersembunyi mengambil gambar ketika mereka melakukan jinayah (kejahatan). Tidak pula membentuk polisi pencari jinayah (kejahatan) atau mata-amata untuk mengintip mereka yang menyalahi syara’ sehingga dianggap yang terlibat. Bahkan kita dapati panduan Islam dalam hal ini tegas setegas-tegasnya dalam memelihara kehormatan peribadi manusia, pengharaman tajassus (memata-matai) dan mencari keaiban manusia. Tidak boleh dilakukan oleh individu, tidak juga oleh pihak pemerintah.” (http://www.qaradawi.net/library/53/2534.html.)
Kemudian beliau mengemukakan dalil riwayat Al Hakim daripada ‘Abd Ar Rahman bin ‘Auf:
“Bahwa dia berpatroli bersama Umar bin Al Khattab Radhiyallahu ‘Anhumma pada suatu malam di Madinah. Ketika mereka sedang berjalan, tiba-tiba nampak nyala api di sebuah rumah. Mereka pun pergi menuju ke situ sehingga saat dihampiri didapati pintunya terkunci, di dalamnya ada sekumpulan orang dengan suara yang kuat.
Lalu Umar Radhiyallahu ‘Anh berkata -sambil memegang tangan ‘Abdur Rahman-: “Kau tahukah ini rumah siapa?.” Jawab: “Tidak.” Kata Umar: “Ini rumah Rabi’ah bin Umayyah bin Kalaf, mereka sekarang sedang mabuk arak, apa pendapat kamu?” Kata ‘Abdur Rahman: “Aku berpendapat kita sekarang telah melakukan apa yang Allah larang, Allah berfirman: “Jangan kamu mengintip.” Kita telah mengintip. Maka Umar pun pergi dan meninggalkan mereka.”( Riwayat Al Hakim dalam Al Mustadrak, dinilai shahih serta didukung oleh Adz Dzahabi).
Akibat dari amalan yang salah memberikan gambaran yang salah tentang hudud. Islam dalam urusan jinayah (kejahatan) atau maksiat peribadi tidak membongkar yang tertutup, sebaliknya hanya mencegah yang nyata dan zahir saja. Seperti kata Al Imam Al Ghazali (meninggal 505H):
“Hendaklah kemungkaran tersebut zahir (jelas) kepada ahli hisbah (pencegahan) tanpa perlu melakukan memata-matai. Barangsiapa yang menutup sesuatu kemaksiatan di dalam rumahnya, dan mengunci pintunya maka tidak harus untuk kita mengintipnya. Allah Ta’ala telah melarang hal ini.” (Al Ghazali, Ihya ‘Ulum Al Din, 3/28, Beirut: Dar Al Khair/1990).
Membina Masyarakat Yang Pemaaf
Dalam perlaksanaan hudud, pemerintah hendaklah mendidik rakyat agar mengelakkan sikap suka mengangkat kasus hudud kepada pihak mahkamah atau berkuasa. Sebaliknya, hendaklah digalakkan pemaafan antara rakyat dan diselesaikan di luar mahkamah. Ini seperti hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Sesungguhnya pencuri pertama dalam Islam dibawa kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu diperintahkan agar dipotong tangan. Wajah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seakan kecewa sedih. Mereka berkata: “Wahai Rasulullah! Seakan engkau membenci hal ini.” Jawab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Mengapa tidaknya aku benci, kamu semua telah menjadi penolong syaitan menentang saudara kamu. Sesungguhnya tidak wajar bagi pemerintah yang diangkat kepadanya hukuman had melainkan dilaksanakan.”
Lalu baginda membaca firman Allah: “Hendaklah kamu maafkan dan lupakan kesalahan, tidakkah kamu suka supaya Allah mengampunkan dosa kamu?” (Surah An Nur: 22)” (Riwayat Ahmad dan Al Hakim dalam Al Mustadrak. Dihasankan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah).
Keinginan sebagian masyarakat awam yang tidak faham yang seakan ‘mengidam’ untuk melihat tangan dipotong adalah tidak serasi dengan inspirasi hudud bahkan itu menjadikan mereka ‘penolong syaitan’.
Hudud Memerlukan Ijtihad Baru
Tiada siapa yang mukmin menafikan kewujudan nash-nash hudud dalam Al Quran dan As Sunnah. Hanya saja, perincian hudud itu memerlukan ijtihad yang mengambil perhitungan soal perubahan zaman dan tempat. Umpamanya kadar barang curian memerlukan ijtihad yang baru karena fuqaha sejak dahulu berbeda dalam hal ini. Cara potongan; penggunaan alat moden dan obatan modern juga perlu diambil perhatian atas sifat ihsan Islam dalam semua perkataan. Demikian juga suasana masyarakat juga hendaklah diambil pemikiran.
Demikian ruangan taubat dalam hudud juga hendaklah diluaskan dengan memakai mazhab yang luas dalam hal ini. Mereka yang bertaubat sebelum tangkapan patut digugurkan hukuman hudud dan boleh diganti dengan takzir (discretionary punishment).