Masalah ke-6:
Seorang guru mesti memberikan nasihat bagi mereka karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Agama itu nasihat, bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin Muslimin, dan orang awam di antara mereka.” (Riwayat Muslim)
Termasuk nasihat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Kitab-Nya ialah memuliakan pembaca Al Qur’an dan pelajarnya, membimbingnya kepada maslahatnya, bersikap lemah-lembut kepadanya dan membantunya untuk mempelajarinya sedapat mungkin serta membujuk hati pelajar di samping bersikap mudah ketika mengajarinya, bersikap lemah-lembut kepadanya dan mendorongnya untuk belajar.
Hendaklah dia mengingatkannya akan keutamaan hal itu untuk membangkitkan kegiatannya dan menambah kecintaanya, membuatnya zuhud terhadap kesenangan dunia dan menjauhkan dari kecondongan serta mencegahnya agar tidak terpedaya olehnya.
Seorang guru hendaklah mengingatkan dia akan keutamaan menyibukkan diri dengan mengkaji Al Qur’an dan ilmu-ilmu syar’iyyah lainnya. Itu adalah jalan orang-orang yang teguh dan arif serta hamba-hamba Allah yang sholeh dan itu adalah derajat para nabi, mudah-mudahan sholawat dan salam Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap atas mereka.
Hendaklah seorang guru menyayangi muridnya dan memperhatikan kemaslahatan-kemaslahatannya seperti perhatiannya terhadap maslahat-maslahat anak-anak dan dirinya sendiri.
Dan hendaklah murid itu diperlakukan seperti anaknya sendiri yang mesti disayangi dan diperhatikan akan kebaikannya, sabar menghadapi gangguan dan kelakuannya yang buruk. Dan memaafkan atas kelakuannya yang kurang baik dalam sutu waktu karena manusia cenderung berbuat kesalahan dan tidak sempurna, lebih-lebih lagi jika mereka masih kecil.
Sudah sepatutnya guru menyukai kebaikan baginya sebagai mana dia menyukai kebaikan bagi dirinya dan tidak menyukai kekurangan baginya secara mutlak sebagaiamana dia tidak menyukai bagi dirinya.
Terdapat riwayat di dalam Shahihain dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa baginda bersabda:“Tidaklah sempurna iman seseorang dari kamu hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anh, katanya: “Orang yang termulia di sampingku adalah kawan dudukku yang melangkah melalui diantara manusia hingga dia duduk menghadapku. Seandainya aku sanggup mencegah lalat hinggap diwajahnya, niscaya aku melakukannya.” Dalam suatu riwayat: “Sungguh lalat yang hinggap di atasnya menggangguku.”
Masalah ke-7:
Sudah sepatutnya guru tidak menyombongkan diri kepada para pelajar, tetapi bersikap lemah-lembut dan rendah hati terhadap mereka. Telah banyak keterangan berkenaan dengan tawadhuk terhadap kebanyakan manusia. Maka bagaimana pula terhadap mereka ini yang seperti anak-anaknya di samping kesibukan mereka dengan Al Qur’an dan hak pergaulannya pada mereka dan keseringan mereka datang kepadanya.
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa Baginda bersabda: “Bersikaplah lemah-lembut kepada orang yang kamu ajari dan guru yang mengajari kamu.”
Diriwayatkan dari Abu Ayub As Sakhtiyani rahimahullah, katanya: “Patutlah orang yang alim meletakkan tanah di atas kepalanya karena merendah diri terhadap Allah Azza wa Jalla.”
Masalah ke-8:
Sudah sepatutnya pelajar dididik secara berangsur-angsur dengan adab-adab yang luhur dan perilaku yang baik serta dilatih dirinya atas perkara-perkara kecil yang terpuji.
Hendaklah guru membiasakan diri memelihara dri dalam semua urusan yang batin dan terang di samping mendorongnya dengan perkataan dan perbuatan yang berulangkali untu menunjukkan keikhlasan dan berlaku benar serta memiliki niat yang baik serta memperhatikan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada setiap saat.
Hendaklah guru memberitahu kepada pelajar bahwa dengan sebab itu terbukalah cahaya makrifat di atasnya, dadanya menjadi lapang, memancar dari hatinya sumber-sumber hikmah dan pengetahuan, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan berkat pada ilmu dan perbuatannya dan memberikan petunjuk pada setiap perbuatan dan perkataannya.
Masalah ke-9:
Mengajari para pelajar adalah fardu kifayah. Jika tidak ada orang yang mampu kecuali seorang maka wajiblah ke atasnya. Jika ada beberapa orang yang setengah dari mereka bisa mengajar tetapi mereka menolak, maka mereka berdosa. Jika setengah dari mereka mengerjakannya, gugurlah tanggung jawab dari yang selainnya. Jika salah seorang dari mereka diminta sedang dia menolak, maka pendapat yang lebih tepat ialah dia tidak berdosa, tetapi dihukumkan makruh ke atasnya jika tiada halangan.
Masalah ke-10:
Diutamakan bagi pengajar agar mementingkan pengajaran mereka dengan melebihkannya di atas kemaslahatan dirinya yang bersifat duniawi yang bukan keperluan utama/asas yang amat mendesak. Hendaklah dia mengosongkan hatinya dari segala hal yang menyibukkannya, ketika dia duduk untuk mengajari mereka. Hendaklah dia berusaha keras menjadikan mereka mengerti dan memberi masing-masing dari mereka memperoleh bagian yang layak ke atasnya. Maka janganlah dia mengajari banyak perkara kepada pelajar yang tidak bisa menerima banyak dan jangan meringkas bagi siapa yang menonjol kecerdasannya semala tidak dibimbingkan akan terjadi fitnah ke atasnya karena timbul rasa bangga atau lainnya.
Siapa yang kurang perhatiannya, seorang guru bisa menegurnya dengan lemah-lembut selama dia tidak takut murid itu akan lari. Janganlah dengki kepada salah seorang dari mereka karena kepandaian yang menonjol dan jangan mengganggap dirinya istimewa karena nikmat yang dianugerahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya.
Karena kedengkian kepada orang lain amat diharamkan, apalagi terhadap pelajar yang memiliki kedudukan seperti anak. Kepandaiannya adalah atas jasa gurunya yang mendapat pahala yang banyak di akhirat dan pujian yang baik didunia. Hanya Allah Yang memberi taufik.
Masalah ke-11:
Jika jumlah mereka banyak, maka dahulukan yang pertama, kemudian yang berikutnya. Jika yang pertama rela gurunya mendahulukan lainnya, maka bisa mendahulukannya. Patutlah guru menunjukkan kegembiraan dan muka yang berseri-seri, memeriksa keadaan mereka dan keadaan mereka dan menanyakan siapa yang tidak hadir dari mereka.
Masalah ke-12:
Para ulama berkata: “Janganlah guru menolak mengajari seseorang karena niatnya tidak benar.” Sufyan dan yang kain bertanya berkenaan dengan niat murid-murid yang menuntut ilmu kepadanya. Mereka berkata: “Kami belajar ilmu untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala”, maka Sufyan enggan mengajar mereka dan berharap agar tidak melakukannya kecuali untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yakni ilmu itu digunakan hanya semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Masalah ke-13:
Termasuk adab seorang guru yang amat ditekankan dan perlu diperhatikan ilaha guru mestinya menjaga kedua tanganya ketika mengajar dari bermain-maian dan menjaga kedua matanya dari memandang kemana-mana tanpa keperluan.
Hendaklah dia duduk dalam keadaan suci menghadap kiblat dan duduk tengang dengan memakai baju yang putih bersih. Jika sampai ketempat duduknya, dia sembahyang dua rakaat sebelum duduk, sama ada tempat itu masjid atau lainnya. Jika sebuah masjid, maka adab itu lebih di tekankan karena dihukumkan makruh duduk di situ sebelum sembahyang dua rakaat. Dia bisa duduk bersila atau dengan cara lainnya.
Diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abu Dawud As-Sijistani dengan isnadnya dari Abdullah bin Mas’ud r.a: “Beliau pernah mengajar manusia dia masjid sambil duduk berlutut.”
Masalah ke-14:
Termasuk adab guru yang amat ditekankan dan perlu diperhatikan ialah tidak diperkenankan merendahkan ilmu dengan pergi ke tempat yang dihuni pelajar untuk belajar dari padanya. Sekalipun pelajar itu Khalifah atau di bawah kedudukannya. Bagaimanapun dia mesti menjaga ilmu dari hal itu sebagaimana silakukan para ulama Salaf rahimakumullah cerita-cerita mereka tentang hal ini banyak dan sudah diketahui.
Masalah ke-15:
Hendaklah dia mempunyai majlis atau ruang kelas yang luas supaya murid-murid boleh duduk di situ. Dalam hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sabdanya: “Sebaik-baik majlis ialah yang paling luas.” (Riwayat Abu Dawud dalam Sunannya)
Hadits itu telah disebutkan di awal kitab Al Adab dengan isnad sahih riwayat Abu Said Al Khudri Radhiyallahu ‘Anh.
Imam An Nawawi