Alhamdulillah, Bulan Ramadhan hampir berlalu. Dan sebagai tanda berakhirnya bulan Ramadhan, Ummat Islam merayakannya pada tanggal 1 Syawal sebagai hari berbuka. Pada hari tersebut dilakukan salah satu syiar Islam yang utama, yakni Shalat ‘Idul Fithri. Berikut ini adalah panduan singkat yang kami nukil dari berbagai sumber mengenai shalat tersebut.
Menurut pendapat yang lebih kuat, hukum Shalat ‘Id adalah wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan yang dalam keadaan mukmin. Dalil dari hal ini adalah hadits dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata,“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami pada saat Shalat ‘Id (Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beanjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haidh. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.“ (HR Muslim)
Di antara alasan wajibnya Shalat ‘Id dikemukakan oleh Shidiq Hasan Khan (murid Asy Syaukani) dalam Ar Raudhatun Nadiyah Syarh Ad Durarul Bahiyyah:
Pertama: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melakukannya.
Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kaum muslimin untuk keluar rumah untuk menunaikan Shalat ‘Id. Perintah untuk keluar rumah menunjukkan perintah untuk melaksanakan Shalat ‘Id itu sendiri bagi orang yang tidak punya udzur. Di sini dikatakan wajib karena keluar rumah merupakan wasilah (jalan) menuju shalat. Jika wasilahnya saja diwajibkan, maka tujuannya (yaitu shalat) otomatis juga wajib.
Ketiga: Ada perintah dalam Al Qur’an yang menunjukkan wajibnya Shalat ‘Id yaitu firman Allah Ta’ala, “Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2). Maksud ayat ini adalah perintah untuk melaksanakan Shalat ‘Idul Adha.
Keempat: Shalat jum’at menjadi gugur bagi orang yang telah melaksanakan Shalat ‘Id jika kedua shalat tersebut bertemu pada hari ‘ied. Padahal sesuatu yang wajib hanya boleh digugurkan dengan yang wajib pula. Jika shalat jum’at itu wajib, demikian halnya dengan Shalat ‘Id. –Demikian penjelasan Shidiq Hasan Khan yang kami sarikan-.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang menyatakan bahwa hukum Shalat ‘Id adalah wajib bagi setiap muslim lebih kuat daripada yang menyatakan bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah (wajib bagi sebagian orang saja). Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hukum Shalat ‘Id adalah sunnah (dianjurkan, bukan wajib), ini adalah pendapat yang lemah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan untuk melakukan shalat ini. Lalu beliau sendiri dan para khulafaur rosyidin (Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, -pen), begitu pula kaum muslimin setelah mereka terus menerus melakukan Shalat ‘Id. Dan tidak dikenal sama sekali kalau ada di satu negeri Islam ada yang meninggalkan Shalat ‘Id. Shalat ‘Id adalah salah satu syi’ar Islam yang terbesar. … Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberi keringanan bagi wanita untuk meninggalkan Shalat ‘Id, lantas bagaimana lagi dengan kaum pria?”
Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Menurut mayoritas ulama –ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali-, waktu Shalat ‘Id dimulai dari matahari setinggi tombak sampai waktu zawal (matahari bergeser ke barat).
Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha. Ibnu ‘Umar yang sangat dikenal mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar menuju lapangan kecuali hingga matahari meninggi.”
Tujuan mengapa shalat ‘Idul Adha dikerjakan lebih awal adalah agar orang-orang dapat segera menyembelih qurbannya. Sedangkan shalat ‘Idul Fitri agak diundur bertujuan agar kaum muslimin masih punya kesempatan untuk menunaikan zakat fithri.
Tempat pelaksanaan Shalat ‘Id lebih utama (lebih afdhal) dilakukan di tanah lapang, kecuali jika ada udzur seperti hujan. Abu Sa’id Al Khudri mengatakan, “Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang.“
An Nawawi mengatakan, “Hadits Abu Sa’id Al Khudri di atas adalah dalil bagi orang yang menganjurkan bahwa Shalat ‘Id sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini lebih afdhol (lebih utama) daripada melakukannya di masjid. Inilah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin di berbagai negeri. Adapun penduduk Makkah, maka sejak masa silam Shalat ‘Id mereka selalu dilakukan di Masjidil Haram.”
Beberapa Tuntunan Saat Keluar untuk Shalat
Pertama: Dianjurkan untuk mandi sebelum berangkat shalat. Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat riwayat yang shahih yang menceritakan bahwa Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mandi pada hari ‘ied sebelum berangkat shalat.”
Kedua: Berhias diri dan memakai pakaian yang terbaik. Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar ketika shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha dengan pakaiannya yang terbaik.”
Ketiga: Makan sebelum keluar menuju Shalat ‘Id khusus untuk shalat ‘Idul Fithri.
Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat Shalat ‘Id pada hari Idul Fithri dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari Shalat ‘Id baru beliau menyantap hasil qurbannya.”
Hikmah dianjurkan makan sebelum berangkat shalat Idul Fithri adalah agar tidak disangka bahwa hari tersebut masih hari berpuasa. Sedangkan untuk shalat Idul Adha dianjurkan untuk tidak makan terlebih dahulu adalah agar daging qurban bisa segera disembelih dan dinikmati setelah Shalat ‘Id.
Keempat: Bertakbir ketika keluar hendak Shalat ‘Id. Dalam suatu riwayat disebutkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.”
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berangkat Shalat ‘Id (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Al Fadhl bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin’Abbas, ‘Ali, Ja’far, Al Hasan, Al Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Ayman bin Ummi Ayman, mereka mengangkat suara membaca tahlil (laa ilaha illallah) dan takbir (Allahu Akbar).”
Kelima: Menyuruh wanita dan anak kecil untuk berangkat Shalat ‘Id. Dalilnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu ‘Athiyah yang pernah kami sebutkan. Namun wanita tetap harus memperhatikan adab-adab ketika keluar rumah, yaitu tidak berhias diri dan tidak memakai harum-haruman.
Sedangkan dalil mengenai anak kecil, Ibnu ‘Abbas –yang ketika itu masih kecil- pernah ditanya, “Apakah engkau pernah menghadiri Shalat ‘Id bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Ia menjawab, “Iya, aku menghadirinya. Seandainya bukan karena kedudukanku yang termasuk sahabat-sahabat junior, tentu aku tidak akan menghadirinya.”
Keenam: Melewati jalan pergi dan pulang yang berbeda. Dari Jabir, beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Shalat ‘Id, beliau lewat jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang.”
Ketujuh: Dianjurkan berjalan kaki sampai ke tempat shalat dan tidak memakai kendaraan kecuali jika ada hajat. Dari Ibnu ‘Umar, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat Shalat ‘Id dengan berjalan kaki, begitu pula ketika pulang dengan berjalan kaki.“
Dalam pelaksanaannya, tidak ada shalat sunnah sebelum dan sesudah Shalat ‘Id, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, lalu beliau mengerjakan Shalat ‘Id dua raka’at, namun beliau tidak mengerjakan shalat qobliyah maupun ba’diyah ‘ied.“ (HR Bukhari – Muslim)
Juga tidak perlu adzan dan iqamah, dari Jabir bin Samuroh, ia berkata, “Aku pernah melaksanakan Shalat ‘Id (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqamah.” (HR Muslim)
Ibnul Qayyim mengatakan, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat, beliau pun mengerjakan Shalat ‘Id tanpa ada adzan dan iqomah. Juga ketika itu untuk menyeru jama’ah tidak ada ucapan “Ash Sholaatul Jaam’iah.” Yang termasuk ajaran Nabi adalah tidak melakukan hal-hal semacam tadi.”
Ucapan Selamat Hari Raya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun tentang ucapan selamat (tah-niah) ketika hari ‘Id seperti sebagian orang mengatakan pada yang lainnya ketika berjumpa setelah Shalat ‘Id, “Taqabbalallahu minna wa minkum wa ahaalallahu ‘alaika” dan semacamnya, maka seperti ini telah diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi. Mereka biasa mengucapkan semacam itu dan para imam juga memberikan keringanan dalam melakukan hal ini sebagaimana Imam Ahmad dan lainnya. Akan tetapi, Imam Ahmad mengatakan, ‘Aku tidak mau mendahului mengucapkan selamat hari raya pada seorang pun. Namun kalau ada yang mengucapkan selamat padaku, aku akan membalasnya.’”
“Imam Ahmad melakukan semacam ini karena menjawab ucapan selamat adalah wajib, sedangkan memulai mengucapkannya bukanlah sesuatu yang dianjurkan. Dan sebenarnya bukan hanya beliau yang tidak suka melakukan semacam ini. Intinya, barangsiapa yang ingin mengucapkan selamat, maka ia memiliki qudwah (contoh). Dan barangsiapa yang meninggalkannya, ia pun memiliki qudwah (contoh).”
Demikian pemaparan singkat mengenai Shalat ‘Idul Fithri, semoga Ramadhan kita semakin bermakna dan amalan ibadah kita diterima Allah Azza wa Jalla.