Parsialitas Pengenalan Islam di Indonesia

Islam mulai masuk wilayah Nusantara sekitar abad 7 M. Kemudian mencapai puncak perkembangannya pada sekitar abad 14 M. Sebagian besar penyebar agama Islam di Nusantara adalah para pedagang dari jazirah Arab. Kalau kita merujuk pada referensi sejarah Islam, abad 7 sampai 10 Masehi merupakan puncak kejayaan peradaban Islam.

Di dua pusat peradaban Islam kala itu Bagdad dan Andalusia Ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang dengan pesatnya. Bahkan dari Andalusialah awal renaissance Eropa. Pertanyaannya kemudian, kenapa masyarakat Islam Nusantara tidak turut mewarisi kemajuah peradaban Islam kala itu? bahkan pada perjalannya masih sangat terbelakang hingga kemudian penjajah Eropa masuk.

Sumber sejarah menyebutkan bangsa Arab yang pertama kali datang ke Nusantara adalah kaum pedagang. Disebutkan tujuan awalnya adalah berdagang sebelum kemudian juga menyebarkan faham Islam. Jadi mereka bukan bagian dari Ilmuan atau filosof muslim kala itu. Bahkan penyebaran Islam di Nusantara mengalami stagnasi selama sekitar 800 tahun, sampai kemudian para tokoh seperti wali songo datang ke Jawa.

Menurut Alwi Shihab dalam bukunya Akar Tasawuf Indonesia, para penyebar Islam di Nusantara adalah kaum tasawuf (sufi), termasuk walisongo adalah kaum sufi. Hal ini bisa kita lacak dari peninggalan-peninggalan walisongo berupa suluk dan ajaran-ajaran mereka yang cenderung mistis. Inilah salah satu faktor yang menjadikan perkembangan Islam tumbuh dengan pesat. Tradisi Hindu dan tasawuf memiliki kemiripan dalam hal mitisisme.

Pada generasi Islam selanjutnya khususnya di Jawa, ajaran walisongo menjadi acuan dan tolok ukur bagi para ulama dalam mengajarkan pemahaman Islam, termasuk tawasuf di dalamnya. Antara Islam syariah dan tasawuf seolah adalah satu kesatuan. Pada kalangan Islam tradisional hal ini masih tampak.

Di era Abassiyah tasawuf adalah satu dari kajian-kajian kala itu. Tiap kajian melahirkan para pakarnya masing-masing, seperti: Ibnu Sina dalam Kedokteran, Al-Khawarizmy dalam Matematika Aljabar, Imam Syafi’i dalam Ilmu Fiqih, Ibnu Rusd ( di Andalusia) dalam Filsafat, dan Al-Ghazali dalam Tasawuf. Al-Ghazali cukup dikenal oleh masyarakat muslim Nusantara kala itu. Hal ini karena mereka adalah tokoh tasawuf dan fikih, dan memang hanya aspek itu yang diajarkan para pembawa Islam ke Nusantara kala itu.

Sebaliknya, karya-karya besar para Ilmuan Islam seperti Kedokteran, Fisika dan yang lainnya banyak dibawa ke Eropa kemudian diterjemahkan ke bahasa Latin dan dipelajari. Padahal kalau misalnya semua aspek peradaban Islam juga dikenalkan kepada masyarakat Nusantara, bukan tidak mungkin juga akan memasuki renaissance seperti yang terjadi di Eropa.

Jadi kesimpulannya, hasil peradaban Islam terpolarisasi dalam dua aspek, aspek agama dan ilmu pengetahuan. Aspek agama diwarisi oleh mayoritas negara-negara Islam, dan aspek ilmu pengetahuan diwarisi oleh negara-negara Eropa yang menjadikan mereka adidaya saat ini.