Pasrah kepada Allah (Tafwidh)

Di antara tempat persinggahan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in adalah tafwidh (pasrah).

Pengarang Manazilus-Sa’irin berkata, “Tafwidh ini mengandungkan isyarat yang amat lembut dan maknanya lebih luas dari tawakkal. Sebab tawakkal setelah ada sebab, sedangkan tafwidh se-belum ada sebab dan sesudahnya, yang juga disebut istislam (kepasrahan diri atau tunduk). Tawakkal merupakan cabang dari kepasrahan diri ini.”

Artinya, orang yang pasrah membebaskan diri dari daya dan kekuatan, menyerahkan urusan kepada yang dipasrahi, tidak menempatkan dirinya pada posisi wakil yang menangani kemaslahatannya. Hal ini ber-beda dengan tawakkal, karena orang yang mewakili menggantikan posisi orang yang diwakili.

Tafwidh artinya keluar dari daya dan kekuatan, menyerahkan semua urusan kepada yang berkuasa atas urusan itu. Maka bisa dikatakan, “Begitu pula tawakkal. Kesan negatif yang diberikan kepada tawakkal juga berlaku untuk pemasrahan. Bagaimana mungkin engkau memasrahkan sesuatu yang sebenarnya engkau tidak memilikinya sama sekali kepada orang yang berhak memilikinya? Bisakah seorang rakyat biasa memasrahkan kekuasaan kepada raja atau penguasa pada masanya?

Jadi kekurangan dalam tafwidh justru lebih besardaripada kekurang-an dalam tawakkal. Bahkan sekiranya ada yang berkata, “Tawakkal lebih tinggi kedudukannya daripada tafwidh dan lebih agung”, justru perkataan yang tepat. Karena itu Al-Qur’an banyak berisi perintah untuk tawakkal dan pengabaran tentang para wali Allah yang keadaannya selalu tawakkal.

Sementara tafwidh ini hanya disebutkan sekali di dalam Al-Qur’an, yaitu kisah orang Mukmin dari pengikut Fir’aun. Maka kami menyimpulkan bahwa tawakkal lebih tinggi dan lebih luas maknanya daripada tafwidh.

Menurut pengarang Manazilus-Sa’irin, tafwidh ini ada tiga derajat:

  1. Hamba harus mengetahui bahwa dia tidak memiliki kesanggupan sebelum berbuat, tidak merasa aman dari tipu daya, tidak boleh putus asa dari pertolongan dan tidak mengandalkan niatnya. Dia harus yakin bahwa kesanggupannya untuk berbuat ada di Tangan Allah dan bukan di tangannya sendiri. Jika Allah tidak memberinya kesanggupan, maka dia adalah orang yang lemah. Dia tidak bergerak kecuali karena Allah dan bukan karena dirinya. Maka bagaimana mungkin dia merasa aman dari tipu daya, sementara dia orang yang digerakkan dan bukan yang menggerakkan? Jika Allah menghendaki, maka Dia bisa membuatnya lemah dan tak berkeinginan, seperti firman Allah tentang orang-orang yang tidak mendapatkan taufiq-Nya,

“Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah mlemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka, Tinggallah kalian bersama orang-orang yang tinggal itu’.” (At-Taubah: 46).

Tipu daya Allah terhadap hamba ialah memotong materi taufiq darinya,membiarkannya, tidak peduli terhadap apa pun yang dilakukannya, tidak menggerakkannya kepada hal-hal yang diridhai-Nya. Ini bukan merupakan hak yang bisa dituntut dari Allah, sehingga Allah bisa disebut zhalim karena tidak memberikan taufiq ini. Mahasuci Allah dari hal itu. Tapi taufiq itu hanya sekedar karunia Allah, yang karenanya Dia layak dipuji saat memberikannya kepada seseorang atau pun saat tidak memberikannya kepada seseorang.

Jika Allah merupakan penggerak bagi hamba, paling berkuasa, hanya Dialah yang menciptakan dan memberi rezki serta Dia paling penyayang di antara para penyayang, maka bagaimana mungkin hamba itu berputus asa dari pertolongan-Nya?

Perkataan, “Tidak mengandalkan niatnya”, artinya tidak terlalu yakin terhadap niatnya sendiri dan tidak bersandar kepadanya. Sebab niat dan hasratnya ada di Tangan Allah, bukan di tangannya sendiri. Niat itu kembali kepada Allah dan bukan kepada dirinya sendiri.

  1. Merasakan kegundahan, sehingga seorang hamba tidak melihat satu amal pun yang menyelamatkan, dosa yang merusak dan sebab yang diemban.

Artinya, seorang hamba harus melihat kefakiran dan kebutuhannya kepada Allah. Dia melihat bahwa dalam setiap atom zhahir dan batinnya tidak lepas dari kebutuhan terhadap Allah. Keselamatannya tergantung kepada Allah dan bukan karena amalnya. Tidak melihat dosa yang merusak artinya kebutuhannya terhadap Allah menghalanginya untuk mengerjakan dosa yang merusak. Tidak melihat sebab yang diemban artinya memberikan kesaksian bahwa yang mengemban sebab itu adalah Allah dan bukan dirinya.

  1. Mempersaksikan kesendirian Allah yang menguasai gerak dan diam, yang menahan dan membentangkan, mengetahui perbuatan Allah terhadap hamba dan perbuatan Allah yang dinisbatkan kepada Diri- Nya sendiri.

Derajat ini berkaitan dengan kesaksian terhadap sifat-sifat Allah dan keadaan-Nya. Derajat pertama dan kedua berkaitan dengan kesaksian terhadap keadaan hamba dan sifat-sifatnya. Artinya mempersaksikan gerak dan diamnya alam, yang semuanya berasal dari Allah.