Konflik telah mencapai puncaknya. Anak-anak mereka telah dibunuh, semata-mata karena sang penguasa takut kelak akan digulingkan. Namun tipu dayanya tak berarti lagi kini. Siapa sangka sungai akan menjadi konspirator yang memulai misi kolosal itu? Anak yang seharusnya ia habisi justru masuk ke istananya sendiri dengan aman, dibesarkan hingga waktunya tiba.
Anak itu tumbuh menjadi seorang pemberani. Di hadapan ayah angkatnya yang mengaku tuhan, ia malah berani mendebat. Dibangun menara tinggi-tinggi, tapi sang penguasa tak juga menemukan Tuhan yang dibicarakan oleh anak angkatnya itu. Tak tahan didebat terus, sihir pun bicara. Bukan satu, dua tukang sihir, tapi semua tukang sihir andalannya dikerahkan. Ini pun jadi bumerang. Bukan hanya meraih kemenangan, anak angkatnya itu bahkan berhasil meyakinkan sebagian tukang sihirnya untuk beriman kepada Tuhannya.
Pada suatu malam, turunlah perintah itu. Saatnya melarikan diri dari sang diktator yang sudah nyaris gelap mata.
Dan Kami wahyukan (perintahkan) kepada Musa: “Pergilah di malam hari dengan membawa hamba-hamba-Ku (Bani Israil), karena sesungguhnya kamu sekalian akan disusuli”. (QS. Asy-Syu’araa’ [26]: 52)
Tanpa tahu kenapa, kaum Bani Israil diperintahkan untuk segera angkat kaki dari negeri yang sudah menjadi kampung halamannya sejak lama. Rencana Allah SWT telah mendahului rencana Fir’aun. Setelah Bani Israil hengkang dari rumah-rumah mereka, barulah Fir’aun melakukan mobilisasi massa.
Kemudian Fir’aun mengirimkan orang yang mengumpulkan (tentaranya) ke kota-kota. (QS. Asy-Syu’araa’ [26]: 53)
Ketika fajar menyingsing, barulah terbukti apa yang telah diwahyukan sebelumnya. Fir’aun dan balatentaranya benar-benar telah kelihatan di belakang punggung. Ketakutanlah kaum Bani Israil, seolah-olah mereka tak mungkin tertolong lagi. Seolah-olah tak mungkin ada jalan keluar lagi. Seolah-olah tak mungkin Allah akan turun tangan membantu mereka lagi. Padahal, misi penyelamatan Bani Israil yang sudah dimulai sejak bertahun-tahun yang lalu senantiasa melibatkan hal-hal yang ‘tidak mungkin’ seperti itu.
Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”. Musa menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku”. (QS. Asy-Syu’araa’ [26]: 61-62)
Untunglah Bani Israil dipimpin oleh seorang pemimpin visioner seperti Nabi Musa as. Sudah berulang kali Allah SWT menolong mereka, maka tak ada alasan lagi baginya untuk meragukan pertolongan Allah. Kalau bukan karena diperintahkan oleh Allah, tentu mereka takkan lari dari rumah-rumah mereka, dan sebelum fajar menyingsing mereka sudah jadi korban pembantaian massal. Allah yang memerintahkan mereka pergi, maka pastilah Allah akan memberikan jalan keluarnya nanti. Pada saat itu, bahkan Nabi Musa as pun belum tahu apa rencana Allah kelak. Ketika kondisi sudah semakin mendesak, terbukalah jalan itu dari arah yang tidak disangka-sangka.
Lalu Kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”. Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. (QS. Asy-Syu’araa’ [26]: 63)
Akhir cerita pengejaran kolosal ini sudah kita ketahui bersama. Nabi Musa as memimpin Bani Israil menyeberang lautan, disusul oleh balatentara Fir’aun. Namun sebelum para pengejarnya sampai ke seberang, mereka sudah ditelan ombak tanpa ampun. Selamatlah Bani Israil, genaplah janji Allah.
Kita dapat membayangkan betapa gegap gempitanya kegembiraan Bani Israil pada waktu itu. Penderitaan puluhan tahun berakhir dengan cara yang sangat spektakuler. Betapa besar hati mereka karena telah ditolong oleh Allah SWT melalui berbagai mukjizat Nabi Musa as yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Itulah pengalaman spiritual yang begitu dahsyat, yang kemungkinan dapat mengubah jiwa seseorang untuk selama-lamanya. Tidak ada lagi tempat untuk keraguan. If seeing is believing, then they would definitely be the believers.
Tapi kisah dakwah Nabi Musa as masih jauh dari selesai. Setelah menghadapi kekejaman Fir’aun, beliau masih harus memimpin Bani Israil hidup di wilayah yang belum mereka kenali sebelumnya. Menyelamatkan nyawa suatu kaum adalah satu hal, sedangkan menyelamatkan akal dan jiwanya adalah hal yang lain lagi. Di tempat lain dalam al-Qur’an, Allah SWT menceritakan pada kita kelanjutan dari kisah Bani Israil pasca pengejaran kolosal tersebut, ketika mereka mengajukan permintaan yang membuat seluruh manusia keheranan hingga sekarang:
Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata: “Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguh-nya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)”. (QS. Al-A’raaf [7]: 138)
Mereka baru saja lolos dari penguasa tiran nan perkasa yang telah memberhalakan dirinya. Dengan sederetan mukjizat yang telah diperlihatkan oleh Nabi Musa as, kita akan berpikir bahwa Bani Israil sepantasnya memiliki harga diri yang lebih baik daripada yang dipertunjukkannya itu. Semestinya mereka merasa tentram bersama Allah SWT, satu-satunya Ilah yang layak untuk mereka sembah. Namun kepercayaan diri mereka telah lama menguap sejak dijajah sekian lama oleh bangsa Fir’aun. Lepas dari satu berhala, mereka malah meminta berhala lainnya.
Dengan segala kebencian yang mereka pendam pada Fir’aun yang telah menindas mereka, seharusnya Bani Israil telah siap untuk melepaskan segala atribut ke-Fir’aun-an dalam otak mereka. Pada kenyataannya, mereka hanyalah bangsa pecundang yang pada akhirnya mengikut saja perilaku bangsa yang pernah mempecundangi mereka.
Jauh setelah masanya Fir’aun, sejarah terus berulang. Rendah diri karena dipecundangi bangsa-bangsa Eropa, Turki menghapus kekhalifahan, memberangus budaya Arab dan menggantinya dengan budaya Barat, kemudian mengemis-ngemis agar diakui sebagai bagian dari Eropa. Mesir tidak jauh beda. Bukannya malu dengan sejarah Fir’aunismenya, para pemimpin negeri ini malah menyerukan sekularisme dan kebangkitan kembali sejarah kebesaran Fir’aun. Susah payah mereka tiru bangsa-bangsa Barat, mulai dari sistem pemerintahan, gaya berpakaian sampai hubungan diplomatik dengan Israel, tapi sampai detik ini kehormatannya belum juga pulih.
Benarlah kata sejarawan besar Islam, Ibn Khaldun, ketika menjelaskan tabiat dari bangsa-bangsa pecundang: “Biasanya, pihak yang kalah cenderung mencontoh pihak yang menang.” Tentu saja, seperti telah dibuktikan di mana-mana, sekedar menjiplak saja tidak akan membuat Anda menjadi seorang pemenang sejati.