Pembenaran tidak sama dengan kebenaran. Kebenaran itu satu, tapi pembenaran bisa seribu satu. Meskipun sama-sama menggunakan kata dasar “benar”, namun makna “kebenaran” dan “pembenaran” justru kontradiktif. Jika kebenaran itu selalu didukung fakta, maka pembenaran justru biasanya merekayasa fakta.
Belakangan ini, televisi dibanjiri pemberitaan tentang artis perempuan yang usia kandungannya lebih tua daripada usia pernikahannya. Menikah sebulan, tapi hamil sudah empat bulan. Tidak ada yang bertanya, tapi dia sendiri yang mengumumkan. Sekarang, seluruh dunia sudah tahu sama tahu.
Bagi setiap kesalahan, ada saja pembenarannya. Sebelum berbuat, akal manusia pun seringkali sudah mengarang sekian banyak pembenarannya. Ah, nggak sampai segitunya kok. Ah, cuma coba-coba. Ah, cuma nyerempet-nyerempet. Ah, cuma sekali. Ah, cuma sesekali. Ah, yang penting nggak merugikan orang lain. Ah, nggak perlu ada orang lain yang tahu. Begitu terus sampai akhirnya tiba pada jurus pamungkas, “Ah, yang penting bertanggung jawab!”
Dibuatlah berbagai perbandingan. Lebih baik begini daripada mereka yang tidak bertanggung jawab, mau berbuat tapi ogah mengaku. Lebih baik berbuat kemudian menikah secara bertanggung jawab, daripada harus aborsi seperti orang-orang labil itu. Lebih baik yang begini daripada korupsi. Lebih baik bercinta daripada meledakkan bom. Sampai kehabisan napas mengumbar berbagai perbandingan, tak sekalipun kata “zina” disebut. Sayang, mereka yang menikah baik-baik dan hamil di waktu yang wajar tidak masuk dalam perbandingan.
Belum cukup sampai di situ, sibuklah sang artis berteori di depan layar televisi. “Ini cuma masalah waktu,” katanya. Seks baginya hanya masalah waktu. Kalau sudah berkomitmen, bolehlah mendahului akad. Mungkin ia lupa bahwa akad itulah yang menandakan teguhnya komitmen. Kalau komitmen tak perlu ditegaskan oleh akad, maka institusi pernikahan pun tidak lagi bermakna. Semua orang boleh mengaku berkomitmen, tanpa perlu bersusah payah mengucap akad di hadapan para saksi. Padahal yang sudah mengucapkan akad pun masih banyak yang berkhianat pula. Ah, bicara soal pengkhianatan terhadap komitmen, tidakkah ini seperti deja vu?
Sebagai pembenaran tambahan, diberikan pula suatu fakta yang diakui secara konsensus namun tidak relevan, “Kami sudah sama-sama dewasa!” Ya, justru kedewasaan itulah salah satu faktor yang mengantar kita pada pembatasan hubungan antara dua manusia yang berlainan jenis. Satu fakta memang bisa dipandang berbeda dari dua kacamata yang berbeda, apala