Pemikir Liberal Nasaruddin Umar

Sebelum itu, ingin dijelas terlebih dahulu landasan syar’i tindakan mengungkapkan bahaya pemikiran seseorang seperti ini.

Al-Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulumiddin, ketika membicarakan mengenai dosa “al-ghibah” atau mengumpat, menyebut beberapa keadaan yang mengbolehkan perbuatan ini atas tujuan syar’i.

Antaranya: “Keempat: memperingatkan orang Islam tentang apa-apa keburukan. Misalnya jika kamu melihat seorang faqih sering mengunjungi ahli bida’ah atau orang fasiq dan kamu bimbang ia akan terpengaruh dengan bida’ah dan kefasikannya, maka harus bagimu mendedahkan kefasikan dan bida’ahnya”.

Beliau seterusnya memetik sebuah hadis riwayat A-Thabarani yang bermaksud, “Adakah kamu enggan menyebut orang fasiq; jelaskankan latar belakangnya supaya diketahui oleh manusia. Sebutkan apa yang ada padanya supaya manusia menghindarinya”. (Ihya’ : 3/304) :

Karangan Budi Handrianto yang diterbitkan oleh HUJJAH press (2008) menyebutkan Nasaruddin Umar sebagai salah seorang tokoh Islam Liberal dari kelompok Para Senior (buku ini mengkelompokkan tokoh-tokoh Islam Liberal Kepada: Para Pelopor, Para Senior, dan Para Penerus “Perjuangan”).

Dr Adian Husaini dalam bukunya Membendung Arus Liberalisme DiIndonesia” di bawah judul “Tragedi Keilmuan di UIN Jakarta “, telah memetik laporan Majalah Gatra edisi 23 Januari 2008 mengenai disertasi seorang tokoh jaringan Islam Liberal (JIL) Abd Maqsit Ghazali, di Universiti Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Disertasi tersebut berjudul “Perspektif Al-Quran Tentang Pluralitas Umat Beragama ” yang dibimbing oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, guru besar ilmu tafsir di UIN Jakarta. Penulisan tesis ini menggabungkan tiga metode; tafsir, hermeneutika, dan usul fiqah.

Hermeneutika adalah metode tafsir yang digunakan orang-orang Yahudi dan Kristian untuk mentafsir Bible, seperti yang dijelaskan oleh The New Encyclopedia Britanica, “ the study of general principle of biblical interpretation.“

Metode hermeneutika bukan sahaja diguna untuk mentafsir teks secara bebas tetapi juga menguji kebenaran teks Kitab suci itu sendiri. Antara perkara yang disebutkan mengenai tujuan penulisan tesis ini ialah membuat tafsiran baru ayat-ayat yang dianggap tidak “toleran” atau tidak “pluralis” atau “kurang menghargai agama lain”.

Ketika membahas tentang tajuk “Pengakuan dan Keselamatan Umat non-Muslim”, Moqsit menulis, “Agama yang satu tak membatalkan agama yang lain kerana setiap agama lahir dalam konteks historis dan tentangannya sendiri. Walau begitu, semua agama terutama yang berada dalam rumpun tradisi abrahamik mengarah pada tujuan yang sama, yakni kemaslahatan dunia dan kemaslahatan akhirat. Dengan memperhatikan kesemua tujuan ini, perbedaan eksoterik (lahiriah – p) agama-agama mestinya tak perlu dirisaukan.”

Setelah memetik sejumlah ayat Al-Quran yang dikatakan sebagai bukti pengakuan Al-Quran terhadap kewujudan dan kebenaran kitab-kitab sebelum Islam, penulis liberal ini menyimpulkan :

Ayat tersebut memberikan pengakuan terhadap umat Yahudi dan Nashrani; mereka cukup menjadikan kitab suci masing-masing sebagai sandaran moral mereka …… Dengan demikian, jelas bahawa Islam tak memaksa agar mereka menjadikan Al-Quran sebagai rujukan kaum Yahudi dan Nashrani. Inilah bentuk pengakuan terbuka dari Islam terhadap agama lain.”

Pembimbingnya Prof. Dr. Nasaruddin Umar telah memuji disertasi ini yang dikatakan telah mengungkap banyak informasi baru dalam literatur berbahasa Indonesia berkaitan dengan hubungan antara agama. Inilah dia pegangan Nasaruddin Umar, dan inilah dia wajah “Islam “ Liberal yang sedang dikembangkan di Indonesia sekarang (lihat lebih lanjut kajian saya Gerakan “Islam” Liberal di Indonesia).

Pandangan seperti ini keluar dari Islam mengikut akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah. Seorang tokoh Nahdatul Ulama (NU) dari Jawa Timur, K.H. Abdullah Syamsul Arifin menyatakan bahawa Jaringan Islam Liberal tidak boleh dikaitkan dengan NU walaupun beberapa penggerak utamanya merupakan warga organisasi berkenaan seperti Ulil Abshar Abdalla. Beliau seterusnya menegaskan, “ Jika orang sudah berfikir meliberalkan Islam, secara hukum fiqah dia sudah keluar dari Islam” (lihat : Hartono Ahmad Jaiz “Mengungkap Kebatilan Kyai Liberal cs, Pastak Al-Kautsar, Februari 2010).

 

Wan Zahidi Bin Wan Teh

Mufti Wilayah Persekutuan Malaysia