Tokoh NU yang menjabat menjadi Wakil Katib Am Syuriah PBNU dan anggota Komisi Fatwa MUI ini lahir di Porwokerto 18 September 1954 pernah belajar di Pesantren Kyai Khudhori Tegalrejo Magelang Jawa Tengah 1966-1069 dan nyantri di pondok asuhan Kyai Ali Ma’shum Krapyak Yogyakarta 1969-1975. Dia juga menjabat sebagai Direktor Penghimpunan Pengembangan Pesantrten dan Masyarakat (P3M) dan juga menjadi anggota Komisi Ombudsman Nasional (KON) dan pengasuh Pondok Pesantren Al-Bayan Cibadak Sukabumi. Pendidikannya diakhiri di Fakultas Syari’at IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 1979. Bukunya Agama dan Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam (1991) merupakan buku paling orisinil dan provokatif di antara buku-buku yang ditulis oleh orang NU dalam waktu yang lama. Buku lainnya adalah Islam dan Hak-hak reproduksi Perempuan. Penggagas kitab Fiqih Kontekstual dan Pemred Jurnal pesantren. Aktif manulis di berbagai media massa nasional dan sering menjadi narasumber seminar baik lokal, regional maupun internasional.
Dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia ia jadi kontributor dalam bentuk wawancara yang diberi judul: Keadilan Dulu Baru Potong Tangan. Dalam buku Ijtihad Islam Liberal ia juga menyumbang pendapat dalam tulisan yang berjudul “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang“.
Artikel terakhir inilah (yang pernah dimuat harian Republika pada tanggal 6 dan 13 Oktober 2000 dengan judul “Keharusan Meninjau Kembali Waktu Pelaksanaan Haji” dan juga dimuat di Media Indonesia, situs Islamlib. com dan koran Jawa Pos) yang membuat heboh karena menurut Masdar pelaksanaan haji tidak hanya terbatas pada 5 hari efektif (dari tanggal 9-13 Dzulhijjah) saja, sebagaimana yang berlangsung selama ini. Menurut Masdar, Haji sah dilakukan sepanjang waktu tiga bulan (Syawal Dzulqa’dah dan Dzulhijjah) sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah 2 ayat 197: “Al-hajju Asyhurum Ma’lumat” (waktu haji adalah beberapa bulan yang sudah ma’lum). Sedangkan mengenai Hadits “Al-Hajju Arofah” (haji adalah Arafah), menurut Masdar janganlah Al-Quran dikorbankan untuk Hadits tersebut.
Masdar, sebagai tokoh PBNU dan stafnya, Zuhairi Misrawi, alumni jurusan aqidah Filsafat Al Azhar, yang pernah mengatakan bahwa sholat tidak wajib, dua sosok nyleneh, aneh bin ajaib yang tergabung dalam tim sembilan penulis buku FLA (Fiqih Lintas Agama) pimpinan Nurcholish Majid direktur Paramadina diancam mati oleh Presiden PPMI (Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia) di Mesir. Ancaman mati yang mengakibatkan batalnya acara “Pendidikan Islam Emansipatoris” yang akan Masdar selenggarakan untuk mahasiswa Indonesia di Mesir 7-8 Februari 2004. Sebelum acara berlangsung, berita pun telah ramai di milis insit di Malaysia. Bahwa Masdar yang dikenal ingin mengubah waktu pelaksanaan ibadah haji agar ritual pokoknya jangan hanya di bulan Dzulhijjah tapi bisa kapan saja selama tiga bulan itu telah bertandang ke Mesir untuk menggarap mahasiswa Indonesia. Di tengah kemelut persoalan haji, mulai di tanah air sampai pada tingkat pelaksanaannya di tanah suci, yang tak kunjung usai, khususnya setelah tragedi Mina terbaru (2004) yang menelan korban 244 orang, berbagai ide dilontarkan. Di antara yang menarik untuk dikaji dan diskusikan, apa yang disampaikan oleh Masdar F. Mas’udi, Katib Syuri’ah PBNU dan anggota komisi Fatwa MUI, seputar peninjauan ulang kembali waktu-waktu pelaksanaan ibadah haji dan dipasarkan oleh Ulil Absor Abdalla dalam tulisanya di Media Indonesia, Selasa 3 Februari 2004.
Latar belakang pendapat Masdar adalah karena masyaqat dan kesulitan yang sudah luar biasa tingkatannya, yang saat ini dialami oleh jamaah haji. Padahal menurutnya, agama itu mudah dan memberi kemudahan. Juga ia berpendapat bahwa waktu haji tidak sesempit yang dipahami selama ini. Meskipun Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaksanakan haji pada tanggal 9-13 Dzulhijjah namun di dalam Al-Quran ditetapkan waktu haji selama tiga bulan. Dengan demikian, prosesi haji tidak harus pada Lima hari tersebut di bulan Dzulhijjah. Pendapat tersebut tentu menuai protes dan kecaman berbagai kalangan karena orang menganggap janggal dan aneh.
Katib Syuriah PBNU dan juga anggota Komisi Fatwa MUI itu juga tidak malu-malu lagi membela perzinaan. Di antaranya dia menyiarkan, “Kalau toh laki-laki nekat berzina dengan pelacur, maka hendaknya pakai kondom”.
Menurut Masdar, sebaiknya kampanye kondom dilakukan tidak secara terbuka di media umum. Yang penting bagaimana menjangkau kaum pria yang tidak bisa menahan hajat seksualnya dan tetap nekat berhubungan seks dengan pekerja seks komersial agar mau menggunakan kondom sehingga tidak menularkan HIV kepada istrinya.
Masdar atas nama kekatiban Syuriyah PBNU juga pernah membuat pernyataan pembelaan terhadap Ulil atas tulisannya yang kontroversial dan ketika FUUI melalui juru bicaranya, KH. Athian Ali Muhammad Da’i, mengeluar fatwa hukuman mati kepada Ulil atas tulisannya “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” yang dimuat di Kompas 18 November 2002.
Pernyataan tertanggal 27 Desember 2002 yang ditandangani oleh Masdar, Katib Syuriyah PBNU tersebut di antaranya:
- Mereka tidak percaya bahwa apa yang diucapkan Ulil bermaksud menghina Allah, Rasulnya ataupun agama Islam. Tuduhan itu sangat berlebihan dan tidak mendasar.
- Ancaman untuk mencelakakan seorang secara fisik hanya karena pendapat yang dikemukakan secara mendasar harus ditolak. Karena di samping melawan prinsip kebebasan berpikir untuk mencari kebenaran yang dijamin oleh norma-norma universial, sikap seperti itu juga mencerminkan absolutisme dan kesewenang-wenangan yang tidak pernah bisa dibenarkan oleh Islam.
- Untuk memberikan manfaat yang lebih besar kepada umat dan sekaligus menghindari kesalah pahaman yang tidak perlu kami menganjurkan kepada saudara Ulil untuk melanjut-kan proyek gagasannya dengan elaborasi yang lebih utuh dan komprehensif serta didukung argumen yang kokoh baik dalil Naqli maupun Aqli. Terutama atas sejumlah kata kunci (key words) yang memang rentan dengan kesalah pahaman.
- Menyadari bahwa tidak ada pikiran manusia yang mutlak benar, termasuk gagasan saudara Ulil dengan proyek Islibnya, maka kami pun menghormati hak saudara-saudara kami yang tidak sependapat untuk mengkritik atau melawannya bahkan kalau perlu sekeras-kerasnya, asal dengan pendapat juga bukan ancaman, dalam proses adu argument (dialog) yang santun, berkualitas dan mencerdaskan.
Pembelaan juga datang dari Dawam Raharjo (pengurus Muhammadiyah-red), ditayangkan salah satu stasiun TV swasta (Metro TV), Senin malam 23 Desember 2002. Dawam yang telah dikecam oleh para ulama Indonesia dan Luar negeri karena menghadirkan penerus nabi palsu Ahmadiyyah, Tahir Ahmad, dari London ke Jakarta tahun 2000 masa pemerintahan Gus Dur ini sok menasehati para ulama, agar berhati-hati dalam berfatwa. Pembelaan itu diucapkan di samping Ulil saat berbicara di Metro TV.
Sementara Dawam sendiri tidak bisa/mampu menjawab semprotan KH. Athi’an dari Bandung (lewat telepon) yang mempersoalkan Dawam Raharjo menyebut Al-Quran itu filsafat.
KH Muhammad Najih Maimoen Zubair