Globalisasi mengubah banyak hal secara mendasar. Di dalam konstelasi baru ini ’bangsa’ mulai kehilangan khasiatnya sebagai perekat kebinekaan. Rezim-rezim reformasi berhenti bercerita tentang bangsa. Penguatan identitas etnis di daerah-daerah mengancam integrasi sosial. Agama pun dipakai sebagai kode pemerasan dan bisnis teror. Politik suap bersanding dengan apa yang disebut demokrasi mewabah di berbagai sektor. Inovasi-inovasi kultural dan wilayah perbatasan diklaim negara tetangga. Para peneliti kita pun diincar pihak asing. Semua ini terjadi nyaris tanpa sentimen kebangsaan untuk menangkalnya segera.
Jika organisme politis menjadi begitu kompleks, para pemimpin di sana menjadi peragu dan lamban bertindak terhadap ancaman-ancaman ketahanan nasional. Hilang martabatnya, orang kita pun rentan menjadi korban trafficking atau diperdagangkan sebagai pembantu di luar negeri. Semua ini membuat kita bertanya-tanya, benarkah kita suatu bangsa?
Dampak krisis kebangsaan
Ada tiga gejala penting yang dapat kita tunjuk di sini sebagai dampak krisis solidaritas, yakni masyarakat risiko, radikalisme agama, dan politik uang. Ketiganya berkelindan sebagai implikasi praktis pudarnya ’bangsa’ sebagai metafora solidaritas. Perasaan khas yang ditimbulkannya sudah dirasakan di mana-mana, yaitu ketidakberdayaan dan ketelantaran.
Pertama, karena lemahnya kontrol publik atas birokrasi dan pasar, demokratisasi yang seharusnya merehabilitasi solidaritas kebangsaan justru jadi arena produksi dan distribusi risiko. Ketika pengalaman bersama sebagai bangsa gagal direproduksi, ketidakpastian komunikasi di masyarakat jadi makin besar sehingga setiap orang menjadi risiko bagi sesamanya. Masyarakat kita berubah menjadi apa yang oleh Ulrich Beck disebut ’masyarakat risiko’.
Dengan multiplikasi dan distribusi risiko, politik kehilangan daya mobilisasinya untuk menggalang solidaritas sosial karena individu condong mengamankan diri. Di tengah-tengah meningkatnya ketidakpercayaan kepada para pemimpin yang korup, negara yang seharusnya mengamankan malah menjadi faktor risiko bagi individu.
Kedua, memudarnya khasiat ’bangsa’ sebagai metafora solidaritas mengancam ketahanan nasional kita. Hal itu membuat kebutuhan akan heroisme dan pengorbanan kehilangan sarangnya. Kebutuhan itu menjadi liar dan eksesif. Terlibatnya warga negara kita dalam teror, bom bunuh diri, pembantaian kelompok berkeyakinan lain, dan pembakaran gereja-gereja menunjukkan bagaimana ekses dan destruksi telah dieksistensialisasikan secara religius untuk memenuhi kebutuhan akan heroisme dan pengorbanan. Penyesalan dan ratapan semakin besar ketika kita menyadari bahwa para pelaku itu juga ’anak-anak bangsa’ yang sama dengan para korbannya.
Ketiga, ekspansi pasar kapitalis dalam globalisasi membuat uang menjadi kode sentral interaksi sosial. Dengan kode baru ini loyalitas kebangsaan menjadi relatif. Uang mempersekutukan kepentingan dan kurang meminati karakter dan identitas. Pudarnya ’bangsa’ diiringi pudarnya perbuatan-perbuatan besar akibat politik tak lagi sanggup menggerakkan antusiasme solidaritas.
Sekarang ini pasar menyerbu masuk ke parlemen, pengadilan, dan pemerintahan. Uang sebagai kode baru yang menggantikan solidaritas dipakai untuk mobilisasi suara di tiga arena tersebut. Panggung-panggung demokrasi, seperti pemilu, pun dipenuhi figur penjudi politis yang mencari untung dari cashflow kampanye. Ketika uang menjadi kategori baru dalam politik, kemiskinan tidak lagi dituturkan sebagai masalah solidaritas.
Imajinasi solidaritas baru
Kita telah ditakdirkan untuk beragam, maka keragaman harus menjadi kekuatan kita. Masyarakat risiko, radikalisme agama, dan politik uang tak boleh mencabik-cabik tubuh politis. Kita boleh optimistis dengan penegasan Denys Lombart setelah sejarawan Perancis ini menyelami arkeologi mentalitas negeri kita. Menurut dia, negeri kita yang berada di titik persilangan berbagai kebudayaan dan beragam dunia berpeluang menjadi peradaban agung. Kita sudah punya prestasi-prestasi menuju peradaban agung itu.
Prestasi pertama adalah Pancasila. Pancasila adalah kesepakatan dasar yang telah mampu menjadi rumah bersama bagi kebinekaan kita. Prestasi lainnya adalah pemerintahan demokratis. Tahun 1998, orang mengira Indonesia akan mengalami balkanisasi dan dihapus dari peta. Namun, meski didera sejumlah kerusuhan, konflik etnis, dan ketegangan agama, secara makro Indonesia tidak mengalami pemburukan.
Pemerintahan demokratis telah memberikan solusi kreatif untuk memoderasi perbedaan sehingga Indonesia menjadi contoh demokrasi dan toleransi bagi negara-negara Islam. Dengan segala cacatnya, pemilu nasional dan sejumlah pemilu lokal berlangsung relatif damai. Kita harus berani mengimajinasikan Indonesia demokratis akan menjadi kekuatan ekonomis, kultural, dan geopolitis yang besar di Asia dalam satu dasawarsa mendatang.
Adapun yang kita butuhkan sekarang adalah kepemimpinan demokratis yang memiliki kredibilitas publik. Masyarakat kita telah menjadi sebuah masyarakat risiko karena para pemimpin saat ini telah terjebak dalam ’persekongkolan modal dan kuasa’. Hukum justru meningkatkan produksi dan distribusi risiko ke dalam populasi kita. Kita butuh kepemimpinan yang membuat hukum untuk melindungi anak-anak bangsa yang paling dirugikan oleh globalisasi pasar. Sebab, kebijakan pasar bebas hanya akan menjatuhkan banyak korban jika tidak diimbangi proteksi atas hak-hak ekonomi dan sosial warga.
Suatu kebijakan yang meningkatkan pendapatan pekerja kita di dalam negeri, misalnya, akan mencegah orang kita bekerja sebagai buruh migran di luar negeri. Sebutan-sebutan seperti ’pahlawan devisa’ bagi TKI dan ’pahlawan tanpa tanda jasa’ bagi guru hanyalah pemanis untuk kondisi ketenagakerjaan yang belum cukup memartabatkan anak bangsa sendiri.
Tantangan kebangsaan kita dewasa ini bukan perang ataupun penjajahan, melainkan pasar global yang memperlakukan anak bangsa kita sebagai komoditas atau benda-benda ekonomis. Kata ’solidaritas’ di sini dimengerti sebagai upaya-upaya para pemimpin untuk mengubah perilaku organisasi mereka sehingga mendapat kredibilitas publik.
Frase teks proklamasi ”kami bangsa Indonesia” harus menjadi riil dalam birokrasi yang transparan, nondiskriminasi, dan penuh sikap pelayanan. Birokrasi yang pro-publik itu juga pada gilirannya akan mengamankan anak-anak bangsa dari ketelantaran, kesewenang-wenangan kelompok, dan dari risiko-risiko komodifikasi dalam pasar global.Tantangan kebangsaan terkait dengan kemampuan pemimpin kita untuk menghubungkan sistem politik dengan solidaritas kewarganegaraan. Kita telah memiliki praktik spontan solidaritas kewarganegaraan itu dalam berbagai tragedi nasional di mana negara seolah absen. Di antara mereka adalah kelompok-kelompok lintas agama untuk melawan intoleransi, inisiatif-inisiatif warga berbeda suku-agama untuk menolong korban bencana, kelompok-kelompok media yang terus berjuang melampaui etnosentrisme. Solidaritas warga seperti itu adalah daya konstruktif yang lebih kuat daripada daya destruktif radikalisme agama.
Kepemimpinan berkarakter
Untuk mengubah daya destruktif menjadi konstruktif, kita membutuhkan para pemimpin yang amanah. Sebuah kepemimpinan yang lembek telah menggiring kita kepada ancaman desintegrasi ketika daerah-daerah dibiarkan membuat aturan-aturan mereka sendiri yang diambil dari agama tertentu. Sikap kepemimpinan lembek seperti itulah preseden dari radikalisme dan perpecahan. Anak bangsa kita tidak akan mengisi bom rakitan di dalam ranselnya dan membiarkan diri terkoyak oleh ledakannya jika komunitasnya tidak lebih dahulu terkoyak.
Akhirnya, kita juga membutuhkan kepemimpinan yang berkarakter untuk menghentikan politik uang dalam pemerintahan demokratis kita. Masalah sebenarnya tidak terletak pada uang itu sendiri, tetapi pada sikap atasnya. Perpajakan, misalnya, dapat menjadi berkah jika dikelola dengan baik.
Selama ini kutuk kita alami karena pajak dikorupsi. Utopia perpajakan adalah solidaritas sosial yang dirasakan jika hasil pajak memartabatkan segmen yang paling lemah dalam komunitas politis. Hasil pajak itu akan kembali kepada pembayar dalam bentuk pelayanan-pelayanan publik, termasuk membiayai pengawasan terhadap pemerintahan. Jangan bicara nasionalisme pembayar pajak sebelum ada bukti atas nasionalisme pengelolaan pajak dalam bentuk peningkatan kesejahteraan dan perlindungan hak-hak asasi warga negara. Solidaritas baru itu pada akhirnya direproduksi lewat keadilan.
Oleh: F Budi Hardiman (Kompas 27 Okt 2011)