Pemuda Tumbal

Pengalaman dunia bercerita, bahwa perubahan signifikan di masyarakat itu selalu saja butuh “tumbal”. “Tumbal” itu adalah pemuda-pemuda yang bersedia berkorban, bersabar pada cemoohan, bertahan dalam goncangan, bekerja lebih keras, tidur lebih larut, istirahat lebih akhir, dan seterusnya. Dan saat dunia nantinya berhasil berubah, mereka, para pemuda “tumbal” itu mungkin tak akan diingat orang sebagai siapa-siapa…

Tapi sungguh, Allah nggak pernah lupa dan nggak akan pernah lupa…

Hari ini saya teringat pada sosok Goris Mustakim, senior saya yang sama-sama pernah mengecap pembinaan di PPSDMS Nurul Fikri. Beliau bagi saya adalah inspirasi yang punya nilai lebih. Entahlah, barangkali karena jalan pikirannya begitu mirip dengan jalan pikiran saya. Saya cukup kaget ketika dalam sebuah talkshow (Kick Andy kalau saya tidak salah) beliau berkata bahwa jangan sampai Indonesia kelak hanya dilihat dari Jakarta. Indonesia adalah Sabang hingga Merauke dan oleh karenanya pusat peradaban bangsa ini pun selayaknya membentang seluas itu. Dan olehkarenanya pula para pemuda sudah saatnya untuk kembali berpikir cara untuk memajukan daerahnya.

Pemikiran back to kampung itu yang bagi saya sangat berkesan. Kembali ke kampung untuk membangun Indonesia dari kampung. Karena sesungguhnya yang sanggup dan punya motivasi kuat untuk memajukan daerah adalah putra daerah itu sendiri. Tiap tahun para lulusan kampus-kampus terbaik di negeri ini hadir sebagai tenaga dan ruh baru. Namun sayangnya banyak dari mereka yang paradigmanya serupa: pergi ke kota besar lalu bekerja di perusahaan besar untuk memperoleh gaji besar. Selesai. Jika paradigma manusia terdidiknya seperti itu, maka tak bisa kita salahkan rakyat kecil pun ikut bertandang ke kota besar. Mencari penghidupan yang lebih baik. Itu alasan klasiknya. Efeknya jelas, ratusan ribu penduduk menambahi sesaknya ibukota setiap tahun. Ya, setiap tahun.

Saya tentunya tidak punya wewenang apa pun untuk menghakimi paradigma dan keputusan seperti itu dalam konteks benar atau salah. Semuanya saya kita manusiawi saja. Siapa yang tak ingin hidup sejahtera berkecukupan? Ditambah lagi ada prestise dan gengsi tinggi yang melekat? Ya, manusiawi sekali bahkan. Hanya saja, saya kira bertahan dalam ‘kemanusiawian’ itu barangkali hanya akan membuat bangsa ini begini-begini saja. Kota besar akan semakin besar dengan kompleksitas dan keruwetannya sedangkan daerah akan selalu tertinggal di belakang.

Itulah sebabnya untuk pindah dari kondisi statis demikian kita butuh sosok pemuda yang extraordinary, pemuda yang tidak biasa. Kita butuh pemuda dengan paradigma berbeda yang bersedia melakukan perubahan. Ya, perubahan seperti yang Goris Mustakim lakukan dengan Yayasan Asgar Mudanya. Seperti yang Abdullah Gymnastiar pernah lakukan dengan Daarut Tauhid dan MQ-nya. Atau seperti sosok-sosok yang tak terceritakan lainnya yang membangun daerah dari sana secara riil dan langsung.

Saat ada seorang lulusan perguruan tinggi yang pulang kampung dan memilih untuk berusaha di sana, sangat mungkin ia akan beroleh kritikan. Umumnya kritikan itu berkisar pertanyaan mengapa ia tak bekerja di kota yang bisa membuatnya lebih kaya, atau setidaknya kritikan yang mirip seperti itu. Pun kembalinya seorang ke kampungnya tidak lantas menemui karpet merah dan disambut bak raja. Tapi sebaliknya ia akan bertemu hambatan demi hambatan yang harus dilaluinya dengan tidak mudah. Tapi itulah pengorbanan. Mereka yang rela berkorban itulah yang kelak akan melahirkan perubahan untuk daerahnya.

Wallahua’lam

Oleh: Asto Hadiyoso, Asahan-Sumut