Penangkal Sihir dan Marabahaya

Berlindung diartikan sebagai minta pertolongan kepada Tuhan Yang Mahakuasa supaya selamat atau terhindar dr godaan, bencana dan dosa (KBBI).  Sebagai manusia, kita tentu tidak terlepas dari pelindung-pelindung dalam bermacam bentuknya. Bahkan, tidak jarang diantara kita ada yang salah melindungkan diri kepada sesuatu.

Dalam pengertian di atas, berlindung memang sudah seharusnya kita alamatkan kepada Allah yang Maha Kuasa. Karena berlindung hanyalah bisa kita alamatkan kepada sesuatu yang benar-benar kuat dan bisa melindungi. Bukan sekedar pelindung remeh yang sama lemahnya.

Dalam Al Qur’an, Allah disebutkan sebagai Robb yang bermakna pencipta, pendidik dan pemelihara. Dalam berbagai ayat, Dia juga disebut sebagai Maha Kuat, Maha Melindungi dan makna sejenis lainnnya. Maka, sebagai mukmin, sudah seharusnya kita hanya berlindung kepada Allah saja. Bukan selainNya.

Lantas, berlindung dari apa ?

Pertama, Kejahatan seluruh Makhluk.

Dalam surah 113 ayat 2 Allah menegaskan bahwa kita diperintahkan untuk berlindung kepada pemilik subuh dari kejahatan makhlukNya. Dalam ayat ini, makhluk didefinisikan secara umum. Bahwa semua ciptaan Allah, mempunyai kecenderungan berdampak tidak baik kepada kita, manusia.

Penyebutan makhluk secara umum ini juga bermakna agar kita melipatgandakan kewaspadaan dan ketergantungan kita kepada Allah yang menciptakan seluruh makhluk. Penyebutan secara umum ini juga bermakna, bahwa apa yang terjadi seringkali luput dari apa yang Nampak oleh penglihatan kita.

Ayat ini juga menegaskan bahwa semua makhluk di dunia ini, mempunyai peluang yang sama dalam membahayakan kita. Bumi, langit, gunung, bukit, bebatuan, segala macam jenis hewan, tumbuhan, bahkan sesama manusia sendiri, mempunyai peluang untuk berdampak tidak baik dalam diri kita. Tetunya, semua itu masih dalam kontrol Allah sebagai Rabb alam semesta.

Bumi, misalnya. Jika tidak dikelola dengan baik, maka peluang bencananya bisa sangat dahsyat. Sebut saja longsor, gempa, kemudian meluapnya lumpur, dan lain-lain. Gunung pun demikian. Meletus, lava , lahar yang merusak sekitar. Lantas laut, ketika ombaknya menggunung, tsunami, banjir, juga ancaman karang yang bisa sewaktu-waktu menghantam kapal para pencari penghidupan di samudera. Termasuk manusia. Meski jenisnya sama, kita tak bisa memungkiri kejahatan yang mungkin dilakukan oleh sesama kita.

Orang tua yang mematikan anak kandungnya. Bapak kandung yang mencabuli anak kandungnya. Ibu yang membunuh anak kandungnya lantaran himpitan ekonomi. Kakak tega menyiksa adik kandungnya. Juga sahabat yang kalap dan kemudian memutilasi kawannya lantaran sakit hati. Juga, sopir angkot yang memerkosa penumpannya. Atau seorang pembantu bejat yang memerkosa momongannya di depan kakak kandungnya ketika sang majikan keluar rumah. Dan aneka kejahatan lain yang dilakukan oleh sesama kita.

Untuk semua kejahatan itu, kita hanya bisa mengandalkan Allah sebagai satu-satunya Pelindung kita.

Kedua, Malam ketika Gelap Gulita.

Setelah penyebutan makhluk secara khusus, dalam ayat berikutnya (113:3), Allah mendetailkan pengertian makhluknya guna meningkatkan kewaspadaan kita dalam berlindung kepadaNya. Makhluk pertama yang Allah sebutkan adalah malam. Ada apa dengan malam? Bukankah malam hanya sebuah siklus? Bukankah malam adalah pelengkap, agar siang lebih dinantikan?

Penyebutan malam secara khusus merupakan sebuah sinyalemen dari Allah bahwa di malam hari, peluang kejahatan yang menimpa kita bisa lebih besar. Hal ini bisa difahami karena keadaan malam yang relatif gelap dan ketika itu, manusia dalam keadaan beristirahat. Sehingga tidak sadarkan diri dan kurang kontrol terhadap apa –apa yang menjadi tanggungannya. Pun, kontrol terhadap dirinya sendiri.

Ketika malam, hewan-hewan berbisa, dapat dengan mudah membahayakan kita. Sementara kita lelap dalam mimpi dan tak bisa menghindar atau menghajar hewan tersebut. Ketika malam, para pencuri bisa leluasa untuk menggondol harta yang dititipkan kepada kita. Meskipun sebagian rumah kita ada satpamnya, berupa manusia maupun hewan, mereka sama makhluknya yang mempunyai kecenderungan alami untuk tertidur di malam hari. Dalam keadaan tidur malam itu pula, kita tak bisa mengelak ketika ada bencana yang terjadi.

Malam kerap pula digunakan oleh para penjudi untuk menjalankan aksinya. Baik judi jalanan maupun judi gedongan. Begitu juga dengan dibukanya tempat-tempat pemuasan nafsu hewani yang membuka lapaknya ketika gulita mulai merayap. Dari semua tingkatnya ; para bencong yang biasa mangkal di pinggiran jalan kota-kota besar, sampai kepada wanita tuna susila kelas kakap yang biasa menjajakan tubuhnya di etalase hotel berbintang untuk para lelaki hidung belang bahkan para pria berdasi anggota dewan. Tak ketinggalan, para pasangan haram yang baru berusia belasan tahun, mengambil peran dengan mojok di berbagai tempat. Mulai pusat perbelanjaan, alun-alun hingga yang nekat menjalankan aksi bejatnya di kamar kos atau kebun milik tetangga.

Semua kejahatan ini, menemukan momentumnya di malam hari.

Ketiga, Wanita Tukang Sihir

Tukang sihir memang identik dengan wanita. Hal ini sudah lama terjadi sejak zaman para nabi sebelum nabi Muhammad. Kaum quraisy juga demikian. Maka, tak heran jika imej wanita sihir ini terus abadi hingga jaman kita sekarang ini. Di barat, nenek sihir diidentikkan dengan wanita tua, keriput, ompong, rambut grondong tidak terawat, baju hitam dan membawa sapu. Sedangkan dalam konteks keindonesiaan, kita juga mengenal mak lampir yang sama bentuknya dengan nenek sihir Eropa. Bedanya, mak lampir membawa tongkat.

Sihir sejatinya tidak bisa mengubah sebuah bentuk benda. Yang dilakukan oleh tukang sihir hanyalah merubah khayalan para objek sihirnya untuk menuruti apa yang diinginkan oleh tukang sihir. Hal ini sebagaimana terjadi di zaman nabi Musa. Ketika itu, para tukang sihir sewaan Fir’aun melemparkan tongkat dan tali yang terlihat sebagai ular. Lalu, Allah memerintahkan kepada nabi musa untuk melemparkan tongkat yang ada di tangan nabi Musa. Dengan kuasa Allah, tongkat tersebut bisa mengalahkan sihir yang dilancarkan oleh tukang sihir Fir’aun. Dalam kejadian itu, kayu para penyihir tetaplah kayu. Tongkat mereka tetaplah tongkat. Hanya khayalan objek sihir yang melihat kayu atau tongkat sebagai ular. Sedangkan tongkat Musa benar-benar menjadi ular karena itu adalah bagian mukjizat yang Alah berikan kepada Nabi Musa. Maha Benar Allah dengan segala KalamNya.

Sihir sebagaimana kita ketahui adalah haram hukumnya. Disamping tidak membawa manfaat apapun, sihir sering kali diidentikkan untuk melukai orang yang tidak kita senangi. Baik lawan bisnis, lawan politik, atau orang yang menolak cinta kita dan seterusnya. Makanya, dalam bahasa gaul era 90an, kita mengenal sebuah jargon, “Cinta ditolak, dukun bertindak.” Untungnya, dengan kemajuan zaman dan pola pikir, slogan ini sudah berubah menjadi, “Cinta ditolak, sedekah bertindak.” Semakin ditolak cinta kita, maka sedekah semakin kencang, sehingga Allah akan menurunkan kuasaNya untuk mengerakkan hati orang yang kita cintai.

Ketika membahas sihir, tentunya kita tak bisa melupakan dukun sebagai duta setan. Dukun ini bermacam bentuknya. Mulai yang berdasi dan rajin beriklan di televisi, yang penampilannya gak jelas seperti orang gila, sampai kepada yang menggunakan simbol-simbol agama dan sering dilabeli ‘ustadz’.  Oleh karena itu, kita harus berhati-hati. Karena tampilan luar antara ustadz dan dukun ini mirip. Padahal, keduanya bagaikan langit dan bumi. Kita juga harus waspada dengan tipudayanya. “Karena kejahatan,” kata bang napi, “Bukan hanya karena ada minat, melainkan juga karena adanya kesempatan.” Maka, “Waspadalah!”

Disamping itu, sihir dihukumi haram karena dalam prakteknya, tukang sihir menggunakan jasa setan yang memang Allah takdirkan sebagai musuh manusia dan diberi wewenang untuk mengajak sebanyak-banyaknya teman untuk masuk ke dalam neraka. Tukang sihir dihukumi juga syirik, karena dalam prakteknya, mereka sudah menduakan Allah. Perlu juga kita ketahui berbagai macam jenis sihir dan cara penangkalannya sebagaimana disebutkan di dalam Al Qur’an dan hadits nabi.

Keempat, Pendengki ketika Mendengki

Di bagian keempat ini, Allah menyebutkan makhluk secara khusus. Pengkhususan pertama ditunjukkan kepada manusia. Kemudian dalam kasus sebelumnya, dikhususkan lagi kepada wanita tukang sihir. Sedangkan dalam poin ini, pembahasan diperuncing menjadi pendengki. Sebuah sebutan buruk yang memang nyata adanya.

Dengki dalam sebuah hadits disebut sebagai pemakan amal, seperti api yang memakan kayu bakar. Pendengki merupakan orang yang paling rugi saat hisab. Karena semua amalnya di dunia dibagikan kepada objek yang ia dengki kepadanya. Bahkan, bisa jadi kedengkian mereka itu lebih banyak dari apa yang diamalkan di dunia. Rugi, donk?

Dengki didefinisikan sebagai sifat susah ketika melihat orang lain senang. Sifat ini sedikitnya dibagi menjadi dua jenis. Pertama, ‘Hanya’ mendengki sedangkan yang kedua, Mendengki dan menginginkan agar kebaikan yang diterima oleh seseorang hilang dan beralih kepada dirinya.

Keberadaan para pendengki ini tidak bisa terlihat oleh kasat mata. Hanya hati yang bisa merasakannya. Bahkan, pendengki itu, bisa jadi bermuka manis saat berinteraksi dengan kita. Oleh karena itu, kita perlu meminta tolong kepada Pemilik Hati agar menjaga kita dari keburukan para Pendengki.

Cara Berlindung

Keempat poin tersebut merupakan sinyalemen yang Allah beberkan secara nyata dalam Al Qur’an. Dimana garis besar dari empat hal tersebut adalah lemahnya manusia. Oleh karena sifat lemah itu, maka kita diperintahkan oleh Allah untuk berlindung kepada Yang Maha Kuat. Kita diperintahkan untuk terus menghubungkan diri ke langit, agar kokoh di bumiNya. Perintah ini, bisa kita lakukan, salah satunya denan mewiridkan dua surat perlindungan yang sudah digaransi oleh Rasulullah. Bahwa dua wirid ini, merupakan wirid yang langsung diturunkan dari langit. Sehinga tidak perlu ditambah atau dikurangi lagi dengan wirid-wirid ciptaan manusia.

Sahabat Jabir Radhiyallahu ‘anhu diperintahkan oleh rasulullah, “Wahai Jabir, bacalah!” Jabir menjawab, “Demi ayah dan ibuku, apa yang harus saya baca ya Rasulullah?” Jawab Nabi, “Bacalah, ‘Qul A’udzubi rabbil Falaq dan Qul A’udzubi rabbin naas.’” Maka, akupun membacanya. Kemudian Rasulullah kembali bersabda, “Bacalah. Karena tidak ada lagi yang setara dengan dua surah tersebut.”  (HR An Nasa’i)

Dua wirid ini, bisa kita lakukan pada pagi, sore, selepas sholat, juga menjelang tidur dan di setiap kesempatan yang kita miliki. Karena kita tidak pernah tahu, kapan kejahatan-kejahatan itu menimpa kita. Akhirnya, semoga Allah melindungi kita, selamanya. Karena kita lemah, maka kita berlindung kepada Allah yang Maha Kuat dan Menguatkan.

Setelah rutin didzikirkan, tentunya kita harus berusaha untuk mentadabburi dan mengamalkan apa yang terkandung dalam ayat-ayat langit tersebut. Karena Al Qur’an memang Allah turunkan untuk kita jadikan panduan dalam seluruh aspek kehidupan.

____________________

Terinspirasi dari Tafsir Surah Al Falaq (Surah ke 113) dalam Tafsir Al Azhar HAMKA dan Fi Dzilal Al Qur’an Sayyid Quthb.