Akhirnya, Jokowi dicapreskan PDIP. Pencapresan kali ini menegaskan unsettled problems relasi antara etik dan riil politics.
Etik politik karena Jokowi dipilih warga Jakarta dengan suara menyakinkan dalam putaran kedua, 59 persen. Bahkan dapat dikatakan warga Jakarta memilih Jokowi bukan Ahok karena mereka tidak mengenal siapa sosok wakilnya ini. Jokowi menangguk sukses sebagai sosok pemimpin idaman yang dipersepsikan publik.
Maka menjadi etika politik bagi Jokowi untuk menjalankan amanah dan menyelesaikan tugas, yang bahkan belum genap dua tahun. Ini komitmen yang pernah dikatakan Jokowi sendiri. Jokowi tidak menyelesaikan kepemimpinan di Surakarta dan kini kembali tidak menyelesaikan kepemimpinannya di Jakarta.
Namun dalam politik, dikenal pameo lidah tak bertulang bukan?
Riil politics, pencapresan Jokowi adalah momentum politik. Momentum tidak akan berulang untuk kedua kali. Take or leave it…..
Itulah aksioma politik yang kurang lebih dapat dipelajari dari mimpi besar Amin Rais, lokomotif reformasi. Amin memiliki kesempatan menjadi presiden given pasca tumbangnya Habibie. Namun, Amien dengan gagah menolak tawaran itu karena yakin partai besutannya, PAN menang dalam pemilu demokratis untuk pertama kalinya. Namun, rasa percaya dirinya tidak berbanding lurus dengan realitas politik. PAN hanya bertengger sebagai partai papan menengah. Dan kesempatan itupun sirna.
Dalam konteks Jokowi, pencapresan dirinya adalah momentum politik. Jokowi paham bahwa karir politik di Indonesia tidak harus dengan logika track dan pengalaman, namun lebih karena keberuntungan politik. Jokowi maupun PDIP paham sekali dengan logika itu.
Memimpin Jakarta butuh revolusi, diluar itu adalah mission impossible. Jika harus merunut logika etik politik maka siapapun yang memimpin Jakarta, termasuk Jokowi akan mengakhiri kepemimpinannya dengan nilai bukan istimewa. Ini artinya, score tadi sulit menjadi modalitas politik untuk maju dalam bursa RI-1.
Maka modalitas persepsi kepemimpinan Jokowi kini adalah momentum dan kesempatan sekali seumur hidup. Sebagai politikus, Jokowi tahu mana yang harus dipilih, sekalipun harus menegasikan etik politik.
Ahmad Dzakirin
Penulis buku Kebangkitan Pos-Islamisme