Mengawali tulisan ini, saya mau sedikit bercerita soal parodi di dunia pendidikan kita.
Saat bercakap-cakap dengan Romo Haryatmoko kemarin di acara Simposium Nasional Dialog Agama yang diadakan oleh Fakultas Filsafat UNPAR, beliau bercerita soal proses pengajuannya untuk menjadi profesor. Mungkin Anda tahu bahwa Romo Moko ini cukup prolifik, dan telah menulis buku seperti Etika Politik dan Kekuasaan, Etika Komunikasi, Etika Publik, Dominasi Penuh Muslihat dan banyak artikel ilmiah lainnya, serta seminar dan simposium di sana sini, belum lagi pelatihan ini itu. Proses pengajuan beliau untuk menjadi Guru Besar hampir bersamaan dengan Yasraf Piliang.
Namun, Anda harus tahu bahwa kini, syarat dari Menristekdikiti yang tengah getol mengusung hilirisasi demi mencipta sebanyak mungkin sekrup industri berijazah adalah: harus menulis artikel di jurnal berupa penelitian empirik beserta solusinya.
Penelitian Empirik
Yasraf masih beruntung. Beliau beberapa kali mengadakan penelitian empirik soal budaya dan desain–kebetulan saya juga terlibat dalam dua dari sekian penelitian yang beliau koordinir–sehingga bisa menuliskan hasil penelitian empiriknya tersebut di jurnal terakreditasi. Awalnya, Prof. Yasraf sendiri sudah tidak berminat untuk meneruskan proses pengajuan Guru Besar tersebut, karena begitu banyak syarat yang sinting lagi edan dan tak masuk akal.
Namun karena dorongan dari sana sini, termasuk saya yang paling getol nanya: ‘Pak, gimana proses jadi Guru Besarnya?’, maka kini beliau pun lolos persyaratan untuk menjadi Guru Besar dan tengah menunggu jadwal pidato pengukuhannya.
Namun, apa yang terjadi dengan Romo Moko? Semua buku dan karya ilmiah beliau dikembalikan dengan ditulisi “Bukan Penelitian“!
Masih ingat cerita saya ketika pak Yasraf bertanya kepada profesor yang menjadi jubir Menristekdikti soal syarat jadi Guru Besar tersebut?
Pak Yasraf bertanya: “Bagaimana para dosen filsafat dan ilmu-ilmu teoretik sejenisnya bisa menjadi Guru Besar kalau penelitiannya harus empirik seperti disyaratkan oleh Menristek-dikti?”
Dan sang profesor jubir Menristekdikti hanya berkata: “Maaf, saya tidak bisa menjawabnya.”
Kembali kepada nasib Romo Moko, menanggapi penolakan pengajuan Guru Besarnya, beliau berkata: “Ah saya sih gak peduli. Biarin saja.”
Saya bisa sedikit paham bahwa sebagai seorang akademisi yang berdedikasi dan rohaniwan, beliau tidak peduli akan gelar Profesor itu. Toh tanpa gelar itu pun, publik bisa melihat karya dan dedikasi keilmuannya.
Well, walau pun represif, tapi Soeharto lebih waras lho dalam memilih menteri. Misalnya, kita tak bisa main-main dengan Daoed Joesoef, sang Doktor Negara pertama dari Perancis atau dengan BJ Habibie sebagai Menristek. Namun, dalam Revolusi Terpental-pental sekarang, yang terjadi cuma bagi-bagi kursi dan pelemahan hukum untuk memberantas korupsi. Pendidikan Indonesia sepertinya mendekati kiamat.
Dalam rapat FSK tadi sore (4 Mei 2015), kami memutuskan untuk menambah satu syarat khusus bagi para profesor terpilih–karena mereka memang pantas untuk mendapat gelar profesor–yaitu wajib memberi kuliah publik terbuka beberapa kali dalam satu tahun.
Yah, kalau kami tak bisa memperbaiki parodi serta keedanan birokrasi dan kekuasaan yang menjungkirbalikkan pendidikan di negeri ini, setidaknya kami bisa mencoba mengajak siapa pun yang masih mau belajar dan mencari ilmu serta menjaga kewarasan untuk bersama-sama membangun kegiatan kajian keilmuan dan membangun budaya literasi di Indonesia.
Apakah kita harus dijajah lagi oleh Belanda agar muncul orang-orang hebat–politikus yang kutu buku dan mahir menulis–seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Agus Salim dan lain sebagainya?
Kenapa ketika merdeka, budaya literasi kita semakin lama semakin memburuk, dan kini, pendidikan malah cuma untuk mencetak sekrup industri berijazah atau tenaga kerja murah bagi seluruh bangsa di dunia?
Mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang…