Di antara fungsi keluarga dalam tinjauan sosiologis, baik menurut Goode maupun Ogburn, adalah fungsi edukatif. Secara normatif, Abdullah Nasih Ulwan menyebutkan tujuh macam pendidikan integratif dalam keluarga, yaitu pendidikan iman, pendidikan moral, pendidikan fisik, pendidikan intelektual, pendidikan psikis, pendidikan sosial, dan pendidikan seksual. Ketujuh macam pendidikan tersebut harus terintegrasikan secara sistemik dalam keluarga.
Hibbah Rauf Izzat menambahkan perlunya pendidikan politik dalam keluarga, sekaligus melancarkan kritik terhadap wacana fikih keluarga yang cenderung mengabaikan perhatian terhadap masalah politik, “Sisi-sisi politik di dalam institusi keluarga tidak mendapatkan perhatian di dalam pemikiran dan fiqih Islam. Tulisan-tulisan filsafat yang memberikan perhatian kepada politik kaum lelaki telah mempergunakan politik dengan makna kaidah-kaidah pergaulan antara manusia dan perilaku mereka dan berpusar pada kerangka moralitas. Berbagai tulisan yang membahas politik agama sama sekali tidak pernah menyebut institusi keluarga sebagai salah satu unit politik, sedangkan buku-buku fiqih hanya bertumpu kepada segi-segi muamalah, hukum perkawinan dan perceraian, serta tidak menyentuh sama sekali kepada bidang-bidang yang lainnya. Begitulah institusi keluarga tetap menjadi medan kajian fiqih dan akhlaq, dan tidak pernah dikaji dalam kerangka politik agama.”
Pendidikan iman merupakan pondasi yang kokoh bagi seluruh bagian-bagian pendidikan. Keimanan yang tertanam pada diri setiap anggota keluarga akan memungkinkannya mengembangkan potensi fitrah dan beragam bakat. Pendidikan moral akan menjadi bingkai kehidupan manusia, setelah memiliki landasan kokoh berupa iman. Pada saat budaya masyarakat menyebabkan degradasi moral, maka penguatan moralitas melalui pendidikan keluarga menjadi semakin signifikan kemanfaatannya.
Pendidikan psikis membentuk berbagai karakter positif kejiwaan, seperti keberanian, kejujuran, kemandirian, kelembutan, sikap optimistik, dan seterusnya. Karakter ini akan menjadi daya dorong manusia melakukan hal-hal terbaik bagi urusan dunia dan akhiratnya. Pendidikan fisik tak kalah penting. Keluarga muslim harus menampakkan berbagai kekuatan, termasuk kekuatan fisik: agar tubuh menjadi sehat dan kuat. Kekuatan fisik termasuk alasan yang diberikan Tuhan atas diangkatnya Thalut sebagai pemimpin bani Israil, bashthatan fil ilmi wal jismi. Konsumsi fisik yang halal dan thayib harus mengarah kepada penyiapan kekuatan peradaban masa depan.
Pendidikan intelektual harus dilakukan dalam keluarga sejak dini, karena peradaban masa depan umat amat bergantung kepada kapasitas intelektual mereka. Anggota keluarga harus memiliki kecerdasan yang memadai, sebab mereka harus bersaing dengan beraneka kebudayaan sebagai konsekuensi logis globalisasi informasi. Pendidikan sosial bermaksud menumbuhkan kepribadian sosial anggota keluarga, agar mereka memiliki kemampuan bersosialisasi dan menebarkan kontribusi positif bagi upaya perbaikan masyarakat. Pendidikan sosial memunculkan solidaritas sosial yang pada gilirannya akan mengoptimalkan peran sosial seluruh anggota keluarga.
Pendidikan seksual juga diperlukan dalam keluarga muslim. Kesadaran diri sebagai laki-laki atau perempuan penting untuk mendapatkan perhatian sejak dini agar tidak menimbulkan bias. Pengertian tentang kesehatan reproduksi bukan hanya diberikan kepada anak perempuan, tetapi juga kepada anak laki-laki. Penghormatan satu pihak dengan pihak yang lainnya -antara laki-laki dan perempuan- sehingga tidak terjadi dominasi laki-laki atas perempuan, bagian dari kesadaran gender yang mesti ditumbuhkan.
Pendidikan politik dalam keluarga, sebagaimana disampaikan oleh Izzat, mendesak untuk mendapatkan perhatian. Ia menuliskan, “Keluarga (suami isteri) atau keluarga kecil, dianggap sebagai proyek percontohan kecil umat dengan berbagai karakteristik yang dimilikinya. Hal ini tercermin dalam nilai-nilai mendasar yang menentukan sistem Islam dan pada saat yang sama dianggap sebagai tonggak dan batu pondasi yang sangat penting bagi sistem ini. Barangkali konsep kepemimpinan dan konsep musyawarah merupakan karakteristik yang paling menonjol padanya.”
Sebenarnya kajian mengenai pendidikan politik telah dimulai bersamaan dengan munculnya pandangan Plato dan Aristoteles yang mengasumsikan pendidikan anak-anak itu serupa dengan tabiat negara. Pemikir lainnya, Boden, dalam tulisan-tulisannya mengemukakan mengenai urgensi ketaatan dalam institusi keluarga sebagai dasar ketaatan terhadap institusi pemerintah. Kendati demikian, kesadaran akan adanya pendidikan politik dalam keluarga seperti ini memang belum dimiliki oleh sebagian masyarakat kita. Mereka hanya memberikan hak pendidikan politik ini kepada pemerintah dan partai politik.
Pendidikan politik bisa dilakukan melalui berbagai macam media, seperti keluarga, sekolah, kelompok, dan sarana informasi. Media-media itulah yang dapat memindahkan budaya politik suatu masyarakat kepada generasi lainnya, yang dalam hal ini satu konsep berkaitan dengan konsep-konsep lainnya seperti syari’at, identitas, kepemimpinan dan kewarganegaraan. Semua itu, menurut Ahmad Jamal Zhahir, ditujukan untuk mewujudkan stabilitas dalam hubungan antara rakyat dengan negara.
Praktik pendidikan politik dalam institusi keluarga dapat berlangsung dengan baik apabila didukung oleh berbagai perangkat dan mekanisme. Menurut Izzat, yang paling penting di antaranya adalah, pertama, hierarki kekuasaan dalam institusi keluarga, kedua, suasana keluarga, dan ketiga, bahasa, konsep serta simbol-simbol. Hierarki kekuasaan dalam keluarga merupakan cara pendidikan politik, karena institusi keluarga merupakan negara mini bagi anak-anak. Bagi Dean Jaros dalam bukunya Socialization to Politics, pengetahuan anak-anak tentang kekuasaan yang ada dalam institusi keluarga merupakan awal pengetahuannya terhadap kekuasaan di dalam negara dan kedudukannya di dalam negara.
Sumbangan besar dari hierarki dalam keluarga beserta segala implikasinya dalam konteks pendidikan keluarga, bisa dilihat dari beberapa tema berikut: konsep kepemimpinan, ketaatan dalam kebaikan, serta konsep musyawarah. Kepemimpinan keluarga mengharuskan sikap adil terhadap yang dipimpinnya. Agar bisa berlaku adil dalam memimpin, sehingga kepemimpinannya layak ditaati, diperlukan prinsip musyawarah.
Suasana keluarga juga memegang peranan penting dalam pendidikan politik. Cinta, kasih sayang dan kemesraan hubungan yang diperoleh anak-anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang dapat mencetak jiwa dan perilaku sosial serta politik mereka. Kajian yang dilakukan oleh Kenneth P. Langton dan M. Kent Jennings untuk masyarakat Barat memberikan petunjuk bahwa ketika anak kecil dihadapkan kepada pemilihan afiliasi partai politik kedua orang tuanya, ia akan cenderung kepada orientasi ibunya. Ini dianggap sebagi pengaruh ibu dalam pembinaan orientasi politik individu. Langton juga menunjukkan hasil kajian yang lain, adanya pengaruh ayah terhadap perilaku politik anak-anaknya sebagai pemain politik dalam masyarakat.
Izaat mengungkapkan bahwa simbol-simbol politik bukanlah simbol-simbol yang berkaitan dengan kekuasaan dan negara saja, melainkan semua simbol budaya memiliki muatan makna politik. Bahkan sesungguhnya simbol-simbol itu sifatnya tidak langsung, tetapi terkadang lebih besar dan lebih dalam pengaruhnya dalam membentuk kesadaran politik anak-anak daripada simbol-simbiol yang langsung. Dalam hal ini institusi sosial khususnya keluarga, lebih efektif dibandingkan dengan institusi-institusi politik pada umumnya.
Contoh simbol-simbol yang memiliki indikasi pendidikan politik banyak sekali dijumpai dalam keluarga. Simbol ini bisa terkandung dalam kisah kanak-kanak sebagai tokoh sentral atau pahlawan, atau nilai-nilai yang terkandung dalam kisah kepahlawanan pada umumnya. Permainan senjata pada anak-anak bisa menghantarkan pada nilai kepejuangan dan patriotisme. Bahkan nama anak itu sendiri bisa mencerminkan suatu simbolisasi politik yang diambil dari nama tokoh-tokoh dalam sejarah.
Pendidikan integratif yang terjadi dalam keluarga akan menghasilkan produk yang berkualitas, sebagai bahan baku meretas peradaban baru. Perubahan sosial, budaya dan politik dari masyarakat senantiasa beranjak dari perubahan individu, sebagaimana ungkapan ayat Qur’an, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Tentu saja pembinaan kepribadian ini harus dimulai dari rumah. Tak bisa disangsikan lagi, bahwa keluarga merupakan laboratorium bagi lahirnya peradaban mulia yang dicitakan umat manusia.