Dalam catatan sejarah Tiongkok ada tersebut, bahwa pada pertengahan kurun waktu yang ketujuh, terdapatlah sebuah kerajaan yang bernama Holing, dan sebuah negeri yang bernama Cho-p’o. Yang Menjadi rajanya pada saat itu ialah seorang perempuan yang bernama Si-mo.
Penulis sejarah bangsa Tiongkok itu menceritakan bagaimana aman dan makmurnya negeri di bawah pemerintahan Ratu perempuan tersebut. Tanahnya subur, padinya menjadi. Upacara-upacara kerajaan berjalan dengan lancer. Ratu dijaga atau diiringi oleh para dayang. Kipas dari bulu merak bersabung kiri kanan, dan singgasana tempat baginda bersemayam bersalutkan emas. Keris dan pedang kerajaan pun bersalutkan emas dan bertahtakan ratna-mutu manikam (bermacam-macam permata). Agama yang dipeluk ialah Budha.
Dengan kerjasama antara I-Tsing si pengembara Tiongkok dengan Jnabadhra, yang dalam bahasa Tiongkok ditulis Yoh na poh t’o lo disalinlah buku-buku Budha ke dalam bahasa anak negeri.
Tentang keamanan dan kemakmuran negeri Holing itu, kata pencatat sejarah tersebut, sampai juga kabar beritanya ke negeri Ta-Cheh, sehingga tertariklah hati pengembara-pengembara bangsa Ta-Cheh itu untuk melawat ke negeri Holing, agar bisa berhubungan lansung dengan raja perempuan Simo itu, agar perniagaan di antara kedua negeri menjadi ramai.
Antara tahun 674-675 sampailah satu perutusan bangsa Ta-Cheh ke Holing. Dan kagumlah utusan Bangsa Ta-Cheh itu melihat bagaimana amannya negeri Holing di bawah perintah Ratu Simo. Pada suatu ketika, Raja Ta-Cheh mencoba mencecerkan emasnya di tengah jalan, namun orang yang sudi mengambilnya tidaklah ada. Sampai tiga tahun pundi-pundi emas tersebut terletak saja di tengah jalan. Bila ada orang lewat di tempat barang yang terletak tersebut, orang sengaja mengelak ke tepi.
Pada suatu hari setelah tiga tahun, lalulah Putra mahkota Kerajaan Holing di tempat itu. Demi melihat pundi-pundi yang terletak di tengah jalan, disepaknya barang itu dengan kakinya, sehingga pecahlah pundi-pundi tersebut dan tersembulah emas yang ada di dalamnya. Perbuatan Putra Mahkota tersebut tenyata dianggap suatu kesalahan besar oleh Ratu Simo ibunya. Amatlah murka baginda setelah mengetahui kesalahan anaknya. Membuta malu kerajaan di hadapan bangsa asing yang datang hendak menyaksikan keamanan dan kemakmuran negeri.
Puta Mahkota dipandang telah melanggar keluhuran budi. Oleh sebab itu Putra Mahkota dihukum. Kaki yang menyepak pundi-pundi tersebut wajib dipotong. Bagaimana pun para menteri membujuk agar baginda ratu mengurungkan niatnya melakukan hukuman, namun ratu tidaklah mau. Kaki Putra Mahkota tetap harus dipotong.
Demikianlah cerita yang terekam di dalam catatan sejarah Tiongkok, yang menjadi bahan penelitiaan dari masa ke masa oleh peminat sejarah sampai pada zaman sekarang ini. Hasil penelitiaanya ialah, bahwa Cho P’o itu adalah tanah “Jouw “; pulau Jawa kita ini. Kerajaan Holing ialah Kerajaan Kalingga, yang memang pernah berdiri di Jawa Tengah (kata setengah peneliti) dan di Jawa Timur (kata setengah pula) pada pertengahan qurun (abad) Ketujuh, memang ada seorang ratu yang bernama Sima, atau Simo. Raja Ta-Cheh yang menjatuhkan pundi-pundi emas di tengah jalan itu ialah “Raja” Arab. Sebab Ta -Cheh itu ialah nama yang diberikan oleh orang Tiongkok kepada bangsa Arab pada zaman itu.
Setelah disesuaikan dengan perhitungan tahun Hijrah, ternyatalah, bahwa tahun 674 Masehi adalah 42 tahun setelah Nabi Muhammad saw wafat. Beliau wafat pada tahun 632 Masehi, tahun ke-11 dari pada hijrah beliau. Maka tahun 674 itu, bertepatanlah dengan tahun 51 Hijratul Mustafa. Dan Khalifah yang memerintah pada masa itu ialah Yazid bin Mu’awiyah, Khalifah yang kedua dari pada Bani Umayah.
Peneliti-peneliti sejarah yang “mengorek-ngorek” sejarah tersebut, mencari kecocokan di sana-sini dan menyatakan “tidak tahu” siapakah yang disebut “Raja” Arab yang mencecerkan pundi-pundi di tengah jalan dalam negeri Holing itu. Tetapi bagi kita yang menyelami pula akan tarikh dan ketentuan-ketentuan istiadat bangsa Arab, atau kaum Islam, tidaklah kita akan mengatakan “tidak tahu” siapa raja itu. Sebab Nabi Muhammad saw sendiri telah memberikan peraturan, apabila orang mengambara, musafir jauh, hendaklah mereka “merajakan” seorang di antara mereka, yang lebih tua usianya, atau yang banyak pengalamannya, atau yang gagah berani walaupun usianya lebih muda, dan yang fasih lidahnya berkata-kata terutama dapat diimamkan dalam sholat. Itulah kepala rombongan yang disebut di dalam bahasa Arab “Amir” dalam perjalanan, merangkap juga menjadi “Imam” dalam sembahyang. Dan “Amir” itu dapat juga diartikan dengan “Raja”.
Seorang pencatat sejarah Tiongkok yang lain, yang mengembara pada tahun itu juga (674 Masehi) di Pesisir Barat Pulau Sumatera, telah mendapati pula satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung di tepi pantai. Catatan inilah yang mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya Agama Islam ke tanah air kita . Kalau yang terbiasa, catatan masuknya Islam dimulai pada abad-abad 11 Masehi, maka sekarang telah dinaikkan 4 abad lagi ke atas, yaitu abad ketujuh Masehi.
Tidaklah dicatat di dalam sejarah-sejarah Islam yang besar permulaan masuknya Islam ke Nusantara umumnya. Sebab pengembara Muslim yang datang ke Indonesia itu, bukanlah ekspedisi resmi dari Khalifah di Damaskus atau di Baghdad. Dan pengembaranya bukanlah orang yang membawa senjata, melainkan orang yang berniaga dan berdagang. Mereka datang ke tanah air kita dengan sukarela.
Kerajaan Hindu atau Budha masih kuat dan teguh. Kerajaan Sriwijaya di Sumatera ,Kerajaan Kalingga di tanah Jawa, dan Kerajaan Hindu yang lain di tempat lain, masih dalam keadaan sangat kuat kuasanya. Sebab itu maka pengembara-pengembara yang pertama itu belumlah dapat dengan leluasa menyampaikan da’wahnya kepada penduduk. Bahkan seketika mereka coba mencecerkan pundi-pundi emas di tengah jalan raya, tidak ada orang yang berani mengambil, karena takut kena murkanya sang Ratu. Dan sang Ratu sendiri pun tidaklah ragu-ragu menjatuhkan hukuman memotong kaki Putera Mahkotanya, ketika dia mencoba menyepakkan pundi-pundi emas kepunyaan “Orang Arab” itu.
Pelajaran “ke bawah angin” ini masih sukar dilakukan. Tetapi orang Arab, atau orang Islam itu, masih tetap meramaikan pelayaran dan perniagaan melalui Selat Malaka, sehingga sampai ke Tiongkok. Di Kanton pernah berdiri sebuah markas perdagangan orang Arab. Oleh sebab itu tersebutlah nama pulau-pulau di negeri kita ini dalam catatan Al Idrisi dan Al Mas’udi, dan kemudian lebih jelas lagi pada tulisan Ibnu Bathuthah. Bahkan menjadi ceritera khayal yang indah dalam cerita Waq-Waq, yang payah buat memindahkan dari pada pulau Fak-Fak di daerah Irian Jaya. Tambahan lagi, belum akan begitu populer kedudukan pengembara-pengembara yang permulaan itu kepada anak negeri. Mereka dihormati, tetapi belum diikuti, dihormati karena kebersihannya, mencuci muka sekurangnya 5 kali sehari dan mandi sekurangnya dua kali sehari. Tetapi belum diikuti, sebab raja masih dipandang Tuhan!
Menilik kepada sejarah itu, dapatlah kita menentukan letak sejarah, bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak abadnya yang pertama. Pencatat sejarah Dunia Islam dari Princeton University di Amerika sudah memegang teguh ketentuan ini dan menyatakan bahwa masuknya Islam ke Indonesia ialah di abad ketujuh, tegasnya pada qurunnya yang pertama. Tetapi seorang Ulama tua yang berminat besar kepada sejarah Islam di tanah air kita, Indonesia dan Semenanjung Tanah Melayu, yaitu Mufti Kerajaan Johor Said Alwi bin Taher Al Hadad berpendapat, bahwa telah pun dahulu dari zaman Yazid bin Mu’awiyah, yaitu di zaman Khalifah Ketiga, Utsman bin Affan. Beliau tunjukkan nomor-nomor sumber buku bacaannya dalam Museum Jakarta, sehingga Za’ba sarjana dan pandita bahasa Melayu yang terkenal itu, telah dengan sengaja pada tahun 1956 datang ke Jawa dan mencari buku tersebut di Museum; sayang tidak beliau jumpai.
Dalam buku-buku bahasa Arab sendiri daripada tarikh-tarikh yang muktabar, belumlah bertemu isyarat kejurusan itu. Yang tertulis di sana hanyalah masuknya ekspedisi Amr bin Ash ke Mesir, Okbah bin Nafi’ ke Afrika, Thariq bin Ziyad ke Andalusia, Mohammad bin Kasim ke Sind; sebab memang orang-orang itu adalah orang belaka. Dan catatan itu, ada pada pencatat orang Tiongkok. Kalau demikian, mungkinlah telah ada sahabat-sahabat Nabi, walaupun bukan dari golongan Kubbarish Shahabah (Sahabat-sahabat Nabi yang besar-besar) yang telah menginjak bumi tanah air kita, dan lebih mungkin lagi ada Tabi’ in, yaitu generasi Ummat Islam yang berjumpa dengan sahabat Nabi. Tetapi rupanya tidak ada di antara mereka yang meninggal dunia di negeri kita, mereka hanya singgah dan kembali lagi! Karena kalau ada, baik di Barus atau Pariaman (di Sumatera) atau di Kudus atau Jepara atau yang lain, niscaya telah menjadi pusat ziarah yang ramai.
Abad XIII, Perebutan Pengaruh Terakhir
Barulah di akhir abad ketigabelas, terjadi perebutan pengaruh yang menentukan, antara anutan yang lama dengan yang baru! 1292 adalah tahun mangkatnya Kerta negara, Prabu Majapahit yang pertama. Baginda yang berusaha menggabungkan agama Shiwa dengan agama Budha, menjadi agama kerajaan. Prabu Wangi dan Prabu Niskalawastu dan Prabu Dawaniskala memerintah berganti-ganti dalam Kerajaan Galuh (Jawa Barat) dalam keadaan tidak tenteram lagi. Tetapi di tahun 1292 itu pulalah, kepala kampung di negeri Pasai Samudera (Aceh sekarang), yang bernama Marah Silu, memaklumkan dirinya menjadi sultan yang pertama dari Kerajaan Islam, yang pertama di bumi kita. Dan bila masuk abad kelima belas, kian lama Hindu kian muram, dan kian lama Islam kian naik, sehingga berhaklah “Abad ketiga belas” dihitung permulaan bersyi’arnya Islam, sebagai suatu faham yang akan menentukan nasib Indonesia di kemudian harinya.
HAMKA – Dari Perbendaharaan Lama