A. Pengertian
Secara bahasa kata istinja’ ( اسنتجاء ) yang berasal dari bahasa Arab ini bermakna: menghilangkan kotoran. Sedangkan secara istilah ilmu fiqih kata istinja’ ini punya beberapa makna antara lain:
- menghilangkan najis dengan air.
- menguranginya dengan semacam batu.
- penggunaan air atau batu.
- menghilangkan najis yang keluar dari qubul (kemaluan) dan dubur (pantat).
Selain istilah istinja’ ada dua istilah lain yang mirip dan terkait erat yaitu istijmar ( استجمار ) dan istibra’ (استبراء ) Istijmar adalah menghilangkan sisa buang air dengan menggunakan batu atau benda-benda yang semisalnya.
Sedangkan istibra’ bermakna menghabiskan sisa kotoran atau air kencing hingga yakin sudah benar-benar keluar semua.
B. Hukum Istinja’
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum istinja’ menjadi dua hukum.
1. Wajib
Mereka berpendapat bahwa istinja’ itu hukumnya wajib ketika ada sebabnya. Dan sebabnya adalah adanya sesuatu yang keluar dari tubuh lewat dua lubang (anus atau kemaluan).
Pendapat ini didukung oleh Al Malikiyah Asy-Syafi’iyah dan Al Hanabilah. Sedangkan dalil yang mereka gunakan adalah hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut ini:
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anh berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Bila kamu pergi ke tempat buang air maka bawalah tiga batu untuk membersihkan. Dan cukuplah batu itu untuk membersihkan.(HR. Ahmad Nasai Abu Daud Ad Daaruquthuni)[1]
Hadits ini bentuknya amr atau perintah dan konsekuensinya adalah kewajiban.
Dari Abdirrahman bin Yazid Radhiyallahu ‘Anh berkata bahwa telah dikatakan kepada Salman”Nabimu telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu”. Salman berkata”Benar beliau telah melarang kita untuk menghadap kiblat ketika berak atau kencing. Juga melarang istinja’ dengan tangan kanan dan istinja dengan batu yang jumlahnya kurang dari tiba buah. Dan beristinja’ dengan tahi atau tulang. (HR. Muslim Abu Daud dan Tirmizy)
2. Sunnah
Pendapat ini didukung oleh Al Hanafiyah dan sebagian riwayat dari Al Malikiyah. Maksudnya adalah beristinja’ dengan menggunakan air itu hukumnya bukan wajib tetapi sunnah. Yang penting najis bekas buang air itu sudah bisa dihilangkan meskipun dengan batu atau dengan ber-istijmar.
Dasar yang digunakan Al Imam Abu Hanifah dalam masalah kesunnahan istinja’ ini adalah hadits berikut:
Siapa yang beristijmar maka ganjilkanlah bilangannya. Siapa yang melakukannya maka telah berbuat ihsan. Namun bila tidak maka tidak ada keberatan. (HR. Abu Daud).
Selain itu beliau berpendapat bahwa najis yang ada karena sisa buang air itu termasuk najis yang sedikit. Dan menurut mazhab beliau najis yang sedikit itu dimaafkan.
Di dalam kitab Sirajul Wahhab milik kalangan mazhab Al Hanafiyah istinja’ itu ada 5 macam 4 diantaranya wajib dan 1 diantaranya sunnah. Yang 4 itu adalah istinja’ dari haidh nifas janabah dan bila najis keluar dari lubangnya dan melebihi besarnya lubang keluarnya. Sedangkan yang hukumnya sunnah adalah bila najis keluar dari lubangnya namun besarnya tidak melebihi besar lubang itu.
Mengomentari hal ini Ibnu Najim mengatakan bahwa yang empat itu bukan istinja’ melainkan menghilangkan hadats sedangkan yang istinja’ itu hanyalah yang terakhir saja yaitu najis yang besarnya sebesar lubang keluarnya najis.
Dan itu hukumnya sunnah. Sehingga istinja’ dalam mazhab Al-Hanafiyah hukumnya sunnah.