Definisi
أَنْ يَرْوِيَ الرَّاوِي عَنْ شَيْخِهِ الَّذِي لَقِيَهُ وَسَمِعَ مِنْهُ مَا لَمْ يَسْمَعْ مِنْهُ، بِصِيْغَةٍ تَحْتَمِلُ السِّمَاعَ كَعَنْ أَوْ قَالَ
Apabila seorang periwayat meriwayatkan (hadits) dari seorang guru yang pernah ia temui dan ia dengar riwayat darinya (tetapi hadits yang ia riwayatkan itu) tidak pernah ia dengar darinya, (sedang ia meriwayatkan) dengan ungkapan yang mengandung makna mendengar, seperti “dari” atau “ia berkata”
Contoh; Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (4/289,303), Abu Dawud (5212), at-Tirmidzi (2727) dan Ibnu Majah (3703) dengan jalan;
عَن أَبِي إِسْحَاقَ عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا
Dari Abu Ishaq, dari Al Barra’ bin ‘Azib, ia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda; Tidakah dua orang muslim yang saling bertemu lalu berjabat tangan melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka berdua sebelum mereka berpisah.
Abu Ishaq as-Sabi’i adalah Amr bin Abdullah, dia siqah dan banyak meriwayatkan hadits, hanya saja dia dianggap tadlis. Mengenai ia telah mendengarkan hadits dari Al Barra’ bin ‘Azib, jelas telah ditetapkan di dalam beberapa hadits. Hanya pada hadits ini saja ia meriwayatkan dengan ungkapan yang mengandung kemungkinan telah mendengar secara langsung, yaitu dengan ‘an’anah (menggunakan kata ‘an). Padahal hadits ini tidak ia dengarkan langsung dari Al Barra’ bin ‘Azib. Ia mendengarkan hadits tersebut dari Abu Dawud Al A’ma (namanya adalah Nafi’ bin Al Haris), sedangkan ia matruk (tertolak haditsnya) dan dituduh berdusta.
Bukti ia tidak mendengarkan secara langsung ialah, Ibnu Abi Dun-ya mengeluarkan hadits di dalam kitab Al Ikhwan (h.172) dari jalan Abu Bakr bin ‘Iyasy, dari Abu Ishaq, dari Abu Dawud, ia berkata; aku menemui Al Barra’ bin ‘Azib, kemudian aku menjabat tangannya, lalu ia berkata; Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda… ia menyebutkan hadits di atas.
Di di antara riwayat yang menunjukkan bahwa hadits tersebut berasal dari Abu Dawud Al A’ma adalah; Imam Ahmad mengeluarkan hadits tersebut di dalam Musnad-nya (4/289) dengan jalan, Malik bin Maghul, dari Abu Dawud … dan seterusnya. Dengan demikian, hadits Abu Ishaq dari Al Barra’ adalah Mudallas.
Contoh lain, hadits yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi di dalam kitab Al Jami’, dengan jalan;
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ يَسَّارٍ عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ بْنِ قَتَادَةَ عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلْأَجْرِ
Dari Muhammad bin Ishaq bin Yasar, dari Ashim bin Umar bin Qatadah, dari Mahmud bin Labid dari Rafi’ bin Khadij, ia berkata; Aku mendengar rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, Tunggulah sampai langit menguning untuk shalat fajar, karena hal itu merupakan sebesar-besar pahala.
Muhammad bin Ishaq bin Yassar orangnya jujur, hanya saja ia mudallis, bahkan termasuk orang yang banyak mentadliskan riwayat. Dia telah mentadliskan sanad ini, karena ia menerima riwayat dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari ‘Ashim bin Umar.
Imam Ahmad telah mengeluarkan hadits tersebut dengan sanad (3/465);
حَدَّثَنَا يَزِيْدٌ، قَالَ : أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، قَالَ: أَنْبَأَنَا ابْنُ عَجْلَانٌ … فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ
Telah menceritakan kepada kami Yazid, ia berkata; Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ishaq, ia berkata; Telah memberitakan kepada kami Ibnu ‘Ajlan,…lalu ia menyebutkan hadits dengan matan seperti di atas.
Riwayat ini menegaskan bahwa Ishaq telah mendengarkan hadits ini dari Ibnu ‘Ajlan .
Macam-macam Tadlis
Pertama, Tadlis Isnad; yaitu tadlis sebagaimana yang definisi dan contohnya telah disebutkan di atas.
Kedua, Tadlis Syaikh; yaitu menyebutkan guru yang diriwayatkan hadits-nya dengan identitas yang tidak masyhur baginya, baik dengan nama, julukan, nasab, atau kun-yah. Hal itu dilakukan karena kedha’ifannya atau karena kemajhulannya, dengan cara menyembunyikan di balik banyaknya guru atau dengan merahasiakan kondisi gurunya,.
Contoh; hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan (2196) dari jalan;
ابْنُ جُرَيْجِ أَخْبَرَنِي بَعْضُ بَنِي أَبِي رَافِعٍ مَوْلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنْ عِكْرِمَةَ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: طَلَقَ عَبْدُ يَزِيْدٍ –أَبُوْ بَرْكَانَةِ وَإِخْوَتِهِ- أُمَّ رَكَانَةِ ونكح امرأة من مزينة … وذكر حديثا في طلاق الثلاثة جملة واحدة
Ibnu Juraij, telah memberitakan kepadaku sebagian dari Bani Abu Rafi’, pembantu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dari Ikrimah pembantu Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas, ia berkata. Abdu Yazid (Abu Barkanah dan saudara-saudaranya) mentalak Ummu Rukanah lalu ia menikahi wanita dari Muzayyanah (…) beliau menyebutkan hadits tentang talak tiga dalam sekali waktu.
Ibnu Juraij adalah Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraij, dia siqah yang disebut-sebut pernah mentadliskan riwayat. Meskipun ia menyatakan telah mendengar dari gurunya, hanya saja ia telah mentadliskan namanya dengan merahasiakannya karena kondisinya, lalu ia berkata “sebagian anak Abu Rafi’ telah mengabarkan kepadaku”. Para ulama berbeda pendapat tentang siapakah dia sebenarnya, tetapi di sini bukan tempat untuk memperbincangkan perbedaan ini. Pendapat yang benar, guru Ibnu Juraij pada hadits ini adalah Muhammad bin Ubaidillah bin Abu Rafi’, dia matruk. Al Bukhari mengatakan bahwa dia, “Munkarul hadits” Ibnu Ma’in berkata, “Tidak ada apa-apanya”. Abu Hatim berkata, “haditsnya sangat munkar, dan ditinggalkan”
Ibnu Juraij telah menyebutkan nama gurunya pada riwayat Al Hakim di dalam kitab Al Mustadrak (2/491), dari Muhammad bin Ubaidillah bin Abi Rafi’, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas.
Ketiga, Tadlis Bilad; Ini hampir serupa dengan tadlis syaikh. Bentuknya, seorang muhaddits mengatakan, “Telah menceritakan kepadaku Al Bukhari”, yang dimaksudkan dengan kata Al Bukhari adalah orang yang menguapi orang lain. Atau seperti dikatakan oleh Al Baghdadi, “telah menceritakan kepadaku apa yang ada di balik sungai” yang dimaksud adalah sungai Tigris. Atau Al Mishri mengatakan, “Ia mengajarkan hadits di Andalus” yang dimaksud dengan Andalus adalah suatu tempat di Qarafah.
Keempat, Tadlis ‘Athf; yaitu seorang muhaddits mengatakan, “Fulan dan fulan mengajarkan hadits kepadaku”, padahal ia hanya mendengar dari orang yang pertama, tetapi ia tidak pernah mendengar hadits dari orang yang kedua.
Contoh, Hadits yang disebutkan oleh Al Hakim di dalam ‘Ulum Al Hadits (h.131), Bahwa beberapa murid Hasyim –salah seorang rawi yang disebut-sebut telah melakukan tadlis– pada suatu hari berkumpul untuk berjanji tidak akan mengambil hadits yang ditadliskan oleh Hasyim. Kemudian Hasyim menguji mereka tentang hal itu seraya berkata dalam setiap hadits yang disebutkannya; Hushain dan Mughirah menceritakan kepada kami, dari Ibrahim. Ketika telah selesai, di katakan kepada mereka, “Apakah aku telah mentadliskan riwayat untuk kalian hari ini?” Mereka menjawab, “Tidak”. Hasyim berkata, “Aku tidak mendengar dari Mughirah satu huruf pun dari apa yang aku sebutkan. Seharusnya aku mengatakan, ‘Hushain menceritakan kepadaku, sedangkan Mughirah tidak aku dengar apa-apa darinya’”.
Kelima, Tadlis as-Sukut. Yaitu seorang ahli hadits mengatakan haddatsana (telah mengajarkan hadits kepada kami) atau sami’tu (aku telah mendengar) lalu ia diam dengan niat untuk memotong, kemudian ia melanjutkan kata-katanya dengan menyebut nama salah seorang gurunya, misalnya nama guru itu Hisyam bin Urwah, padahal sebenarnya ia tidak menerima hadits dari Hisyam.
Contoh, hadits yang disebutkan oleh Ibnu Adi di dalam Al Kamil fi adh-Dhu’afa’. Dari Umar bin Ubaid ath-Thanafisi, bahwasannya ia berkata, “Haddatsana (menceritakan kepada kami)” kemudian ia diam dengan tujuan untuk memutus. Kemudian mengatakan, Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah ra. (dengan diamnya itu seolah-olah Umar bin Ubaid mendengar dari Hisyam bin Urwah, padahal ia tidak pernah menerima hadits darinya)
Keenam, Tadlis Taswiyah. Ini adalah macam tadlis yang paling buruk. Bentuknya, seorang muhaddits menghilangkan tokoh yang bukan gurunya dari rangkaian sanad, bisa karena kedha’ifannya atau karena usianya yang sangat muda, sehingga hadits tampak diriwayatkan oleh rijal yang siqah dari rijal yang siqah pula. Macam tadlis ini adalah yang paling tercela, karena di dalamnya ada unsur khianat. Di antara rijal yang disebut telah melakukan tadlis macam ini adalah Al Walid bin Muslim dan Baqiyah bin Al Walid.
Hukum ‘An‘anah seorang Mudallis
Secara umum[1] seorang mudallis yang banyak tadlisnya apabila datang dengan membawa riwayat secara ‘an‘anah, dan tidak menyatakan menerima hadits dengan sima’ (mendengar) maka periwayatannya ditolak. Tetapi apabila ia menyatakankan menerima hadits secara sima’ maka riwayat itu dapat diterima.
Adapun orang yang sedikit tadlisnya, yang tidak mentadliskan kecuali dari tokoh yang siqah, maka ‘an‘anahnya ada kemungkinan berarti sima’, kecuali apabila telah jelas bahwa ia mentadliskan suatu hadits. Hal itu ditentukan setelah mengumpulkan jalan-jalan haditsnya dan menguji riwayatnya.
Tingkatan Mudallis[2]
Para rawi yang disebut telah melakukan tadlis dikelompokkan ke dalam beberapa tingkatan sesuai dengan banyaknya tadlis mereka, dan kondisi hafalan mereka. Para ulama’ menggolongkan mereka kepada lima tingkatan, yaitu
- Orang yang tidak dikatakan tadlis kecuali jarang-jarang seperti Yahya bin Sa’id Al Anshari
- Orang yang tadlisnya ringan, dan haditsnya masih disebutkan di dalam kitab Ash Shahih karena keimamannya di satu sisi dan sedikitnya tadlis mereka di sisi lain, seperti Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, Dia tidak mentadliskan kecuali dari orang yang siqah seperti Sufyan bin Uyainah.
- Orang yang haditsnya didiamkan oleh sejumlah ulama’, ‘an‘anah mereka tidak diterima, dan tidak cukup untuk hujjah kecuali apabila dinyatakan dengan “mendengar” dan di antara mereka ada yang diterima ‘an‘anahnya selama tidak ada petunjuk yang jelas bahwa haditsnya itu telah ditadliskan, seperti Qatadah ad-Di’amah as-Sadusi[3] dan Abu Ishaq as-Sabi’i
- Orang yang disepakati oleh ahli hadits untuk tidak berhujjah dengan haditsnya yang tidak diriwayatkan dengan ungkapan sima’ karena banyak-nya tadlis mereka dari orang yang lemah dan majhul seperti Muhammad bin Ishaq bin Yassar, dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij.
- Orang yang disebut dengan ungkapan lain, selain tadlis, yang mengandung maksud mencela dan menda’ifkannya, haditsnya tertolah meskipun diungkapkan dengan sima’, seperti Abu Junnab Al Kalbiy dan Abu Sa’id Al Biqal
Perbedaan antara Tadlis dan Mursal Khafi
Di sini harus diperhatikan adanya perbedaan antara tadlis dan irsal khafi, karena kemiripan antara keduanya dalam hal tidak mendengar hadits dari orang yang disebutkan sebagai orang yang telah diterima periwayatan darinya. Perbedaan itu terletak pada hukum ‘an‘anah dari orang yang disebutkan pada salah satu di antara keduanya. Maka pada bab ini sebagian Ahli Ilmu memperluasnya dan menamakan irsal khafi dengan sebutan tadlis. Yang utama, antara keduanya terdapat perbedaan.
Irsal Khafi adalah; seorang ahli hadits meriwayatkan hadits dari guru yang sezaman tetapi tidak pernah bertemu, atau bertemu tetapi ia tidak mendengar hadits darinya. Dalam meriwayatkan hadits itu ungkapannya menggambarkan bahwa ia telah mendengar secara langsung, seperti kata “dari” atau “ia berkata”.
Contoh; riwayat Sulaiman bin Mahran Al A’masy, dari Anas bin Malik ra. A’masy telah bertemu dengan Anas bin Malik ra, tetapi ia tidak menerima hadits darinya. Ia meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik yang dia dengar dari Yazid ar-Ruqasy dan Aban bin Abi Iyyash, dari Anas
Ali bin Al Madiniy berkata; Al A’masy tidak pernah menerima hadits dari Anas, sebab ia melihat Anas ketika sedang bercelak dan ketika sedang shalat, Ia menerima riwayat dari Yazid ar-Ruqasyi dan Aban dari Anas. Maka riwayatnya dari Anas bin Malik dinamakan mursal, bukan mudallas, meskipun Al A’masy dikatakan sebagai mudallis dalam periwayatannya dari guru-gurunya yang ia dengar darinya
Contoh lainnya adalah Hasan Al Basri, ia melihat Utsman bin ‘Affan dan mendengar khutbah beliau tentang membunuh burung dara dan anjing. Hanya saja Hasan Al Basri sama sekali tidak mendengar hadits yang bersanad dari Utsman. Oleh sebab itu periwayatan Hasan Al Basri dari Utsman ra dianggap mursal, Wallahu a’lam.
Dengan demikian perbedaan antara Tadlis dan Irsal terletak pada cara sima’nya seorang muhaddis dari gurunya, yang dia riwayatkan hadits darinya. Apabila ia meriwayatkan suatu hadits dari seorang guru yang ia dengar hadits darinya, tetapi hadits itu tidak ia dengar langsung, melainkan dengan adanya perantara, maka itu namanya tadlis. Sedangkan apabila ia meriwayatkan hadits dari seorang guru yang tidak pernah ia lihat, atau dilihatnya tetapi tidak didengar hadits darinya, maka riwayatnya itu dinamakan mursal.
Perbedaan antara Tadlis dan Irsal
Orang yang dikatakan tadlis, pada umumnya ‘an‘anahnya tertolak sehingga ia memberikan penjelasan pada setiap riwayatnya bahwa ia telah menerima hadits secara sima’ dari seorang guru. Adapun secara khusus, telah dibicarakan dalam pembahasan tentang tingkatan mudallis. Sedangkan orang yang berpendapat, “Sesungguhnya riwayat dari seorang syaikh yang mursal –yang tidak disebut sebagai tadlis– maka ‘an‘anahnya tertolak sehingga ia menjelaskannya periwa-yatannya dengan ungkapan sima’, meskipun sesekali dapat diterima ‘an‘anahnya setelah itu.
Mengenal orang-orang yang disebut sebagai tadlis
Bagi yang ingin mendalami nama-nama mudallis, thabaqatnya dari segi tadlis, silakan merujuk pada kitab-kitab yang telah disusun oleh para ulama’ tentang tadlis dan mudallis. Di antara kitab-kitab yang telah dicetak antara lain;
- At-Tabyin li Asma’ Al Mudallisin, karangan Burhanuddin Al Halabiy.
- Ta’rif Ahlu at-Taqdis bi Maratib Al Maushufin bi-at-Tadlis, karangan Al Hafidz Ibnu Hajar.
- Jami’ at-Tahshil fi Ahkam Al Marasil, karangan Al Hafidz Shalahuddin Al ‘Ala’i. Ia membahas di dalam kitab itu tentang tadlis dan mudallisnya.
- Ittikhaf Dzawi ar-Rusukh biman Rumiya bi at-Tadlis min asy-Syaikh, karangan Fadhilah asy-Syaikh Hammad bin Muhammad Al Anshari.
Kitab yang terakhir ini sangat bermanfaat, di dalam kitab ini pengarangnya menggabungkan dua kitab pertama di atas, dan memberikan penjelasan terhadap karya as-Suyuthi tentang nama-nama mudallis.
[1] Adapun secara terperinci, pembahasan tentang ‘an‘anah seorang mudallis dan hukumnya menempati kedudukan yang berbeda-beda, saya telah menyebutkannya di dalam komentar atas Nazhatu an-Nadhr, karya al-Hafidh Ibnu Hajar. Bagi yang ingin memperdalam hendaklah merujuk ke sana.
[2] Ta’rif Ahli at-Tadhis Bimaratib al-Muwashsahafin bi at-Tadhis, al-Hafidz Ibnu Hajar, h.23, dan ittikhaf dawi ar-Rasukh biman rumiya bi at-Tadhis min asy-Syuyukh, al-‘Allamah Syaikh Hammad bin Muhammad al-Anshari, h.10.
[3] Terdapat perbedaan pendapat tentang beliau, dan telah saya jelaskan di dalam al-Ajwibah al-Wafirah ‘ala al-Alsinah al-Wafidah