Pengertian Itsbat dalam Aqidah

Dalam dunia kajian Asma’ wa Shifat Allah SWT, istilah “Itsbat Shifat” berarti menetapkan suatu shifat sebagai shifat (atribut) Allah. Meng-itsbat shifat qudrah (kemampuan), misalnya, berarti menyatakan bahwa qudrah ini adalah suatu atribut yang dimiliki oleh Allah SWT, dan bahwa ia merupakan atribut yang unik (punya identitas tersendiri) sehingga bukan merupakan nama lain dari dzat (Allah SWT) dan bukan pula merupakan nama lain dari atribut-atribut lainnya yang bukan merupakan padanan/sinonimnya.

Nah, demikian pula halnya dengan atribut-atribut yang ramai dipersoalan. mengitsbat atribut wajhun (wajah) dan yadun (tangan) berarti menetapkan bahwa wajhun dan yadun ini merupakan atribut Allat SWT (wajah Allah dan tangan Allah), sekalugus menetapkan bahwa wajhun itu bukan yadun dan keduanya bukan merupakan nama lain dari dzat Allah, bukan nama lan dari atribut-atribut lainnya (seperti qudrah, ilmu, dst), serta tentu saja bukan merupakan nama lain dari makhluk-makhluk Allah SWT (kontras, misalnya, dengan kalangan yang manafsirkan yadullah sebagai ni’matullah yang berarti suatu makhluk).

Inilah konsep Itsbat yang pengertiannya jelas berbeda dengan Takwil dan Tafwidh. Takwil dan tawfidh dibangun oleh keyakinan bahwa suatu atribut itu bukan merupakan atribut Allah SAW, atau dibangun dari sebuah keraguan apakah ia memang merupakan atribut Allah atau bukan, atau juga dibangun dari keyakinan bahwa itu merupakan atribut Allah SWT tetapi diyakini/dimungkinkan bahwa atribut itu adalah nama lain saja dari atribut lainnya yang sudah diistbat.

Dalam sejarah, kalangan Itsbat ini berasal dari Ahlul Hadits dan sebagain generasi senior Ahlul Kalam, yang sering pula dikenal dengan sebutan “kalangan Ash-Shifaathiyyah”, meskipun pada rinciannya ada beberapa perbedaan.

Tokoh-tokohnya dari para senior Mutakallimin adalah semisal Ibnu Kullab, Al-Qalanisi, Al-Muhasibi, Al-Asy’ari, dan Al-Baqillani. Di lingkungan Asy’ariyyah, mayoritas asy’ariyyah mengitsbat tujuh atribut (qudrah, iradah, ilmun, hayah, sama’, bashar, kalam).

Di samping atribut ini, kalangan mutaqaddimin Asy’ariyyah semisal Abul Hasan, Al-Baqillani, dan Al-Baihaqi juga mengitsbat beberapa atribut lainnnya, semisal wajhun (wajah) dan yadaan (dua tangan).

Adapun kalangan mutaakhkhirin, mereka rata-rata menafikan atau meragukan atribut-atribut ini (khususnya Ar-Razi dan Al-Amidi). Kemudian, ada pula As-Sanusi yang membakukan penambahan itsbat 7 atribut lanjutan, yaitu kaunuhu qadiran, muridan, hayyan, sami’an, bashiran, dan mutakalliman.

Inilah makanya konsep yang kemudian dikenal di banyak lingkungan Asy’ariyyah zaman ini adalah konsep shifat 20, meskipun dasar konsep itu ditentang oleh jumhur mutakallim asy’ariyyah.