Al Isti’adzah berarti permohonan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari setiap yang jahat. Al ’Iyadzah (permohonan pertolongan) dalam usaha menolak kejahatan, sedangkan Al Layadzu (permohonan pertolongan) dalam upaya memperoleh kebaikan.
A’udzubillahi minasy syaithanir rajim berarti “Aku memohon perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk”, agar ia tidak membahayakan diriku dalam urusan agama dan duniaku, atau menghalangiku untuk mengerjakan apa yang Dia perintahkan. Atau agar ia tidak menyuruhku mengerjakan apa yang Dia larang, karena setan itu tidak ada yang bisa mencegahnya untuk menggoda kecuali Allah.
Oleh karena itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyuruh manusia agar menarik dan membujuk hati setan jenis manusia dengan cara menyodorkan suatu yang baik kepadanya supaya dengan demikian dia berubah tabiatnya dari kebiasannya mengganggu orang lain. Selain itu, Allah juga memerintahkan untuk memohon perlindungan kepada-Nya dari setan jenis jin, karena dia tidak menerima pemberian dan tidak dapat dipengaruhi dengan kebaikan, sebab tabiatnya jahat dan tidak ada yang dapat mencegahnya dari dirimu kecuali Rabb yang menciptakannya.
Inilah makna yang terkandung dalam tiga ayat Al Qur’an. Pertama, firman-Nya dalam surat Al A’raf ayat 199 yang artinya, “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebaikan dan berpaling dari orang-orang yang bodoh.”
Makna di atas berkenaan dengan muamalah terhadap musuh dari kalangan manusia.
Kemudian, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al A’raf: 200). Berlindung kepada Allah maksudnya adalah membaca a’udzubillahi minasy syaithonir rajim.
Dalam surat Al Mukminun Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. Dan katakanlah: ‘Ya Rabb-ku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Rabb-ku, dari kedatangan mereka kepadaku.” (Al Mukminun: 96-98).
Dan dalam surat Fushshilat ayat 34-36 Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Dalam bahasa Arab, kata syaithan (setan) berasal dari kata syathan, berarti jauh. Jadi, syaitan itu tabiatnya jauh dari tabiat manusia, dan dengan kefasikannya dia sangat jauh dari segala macam kebaikan.
Ada juga yang mengatakan bahwa kata syaitan itu berasal dari kata syata (terbakar), karena ia diciptakan dari api. Dan ada juga yang mengatakan bahwa kedua makna tersebut benar, tetapi makna pertama yang lebih benar.
Menurut Sibawaih, bangsa Arab bisa mengatakan tasyaithana fulan, jika fulan itu berbuat seperti perbuatan setan. Jika kata syaitan itu berasal dari kata syatha, tentu mereka mengatakan tasyaith yang berarti jauh. Oleh karena itu, mereka menyebut syaithan untuk setiap pendurhaka, baik jin, manusia, maupun hewan.
Berkenaan dengan hal itu Allah berfirman yang artinya, “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tia nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang ndah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkan mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (Al An’am: 112).
Dalam buku Musnad Imam Ahmad, disebutkan hadis dari Abu Dzar radhiallahu anhu, Rasulullah bersabda yang artinya, “Wahai Abu Dzar, mohonlah engkau kepada Allah perlindungan dari setan-setan dari jenis manusia dan jin.” Lalu kutanyakan, “Apakah ada setan dari jenis manusia?” “Ya,” jawab beliau.
Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Abu Dzar, katanya, Rasulullah bersabda, “Yang memotong shalat itu adalah wanita, keledai, dan anjing hitam.” Kemudian kutanyakan, “Ya Rasulullah, mengapa anjing hitam dan bukan anjing merah atau kuning?” Beliau menjawab, “Anjing hitam itu adalah setan.”
Ar Rajim adalah berwazan fa’il (subjek), tetapi bermakna maf’ul (objek) berarti bahwa setan itu terkutuk dan terusir dari semua kebaikan, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala.” (Al Mulk: 5).
Tafsir Isti’adzah dan Hukum-hukumnya
Allah Subhanahu Wa Ta’ala befirman yang artinya, “Jika kamu membaca Al Qur’an, maka hendaklah kamu minta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Rabbnya. Sesungguhnya kekuasaannya (setan) itu hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya menjadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah.” (An Nahl: 98-100).
Yang masyhur menurut jumhurul ulama bahwa isti’adzah dilakukan sebelum membaca Al Qur’an guna mengusir godaan setan. Menurut mereka, ayat yang berbunyi, (yang artinya) “Jika kamu hendak membaca Al Qur’an, maka hendaklah kamu minta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk,” artinya jika kamu hendak membaca. Sebagaimana firman-Nya, (yang artinya) “Jika kamu hendak mendirikan shalat, maka basuhlah wajah dari kedua tangnmu.” (Al-Maidah: 6), artinya jika kalian bermaksud mendirikan shalat.
Penafsiran seperti itu didasarkan pada beberapa hadis dari Rasulullah. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri, katanya, jika Rasulullah hendak mendirikan shalat malam, maka beliau membuka shalatnya dan bertakbir seraya mengucapkan, “Subhaanaka Allahumma wabihamdika wa tabaa raka…………………” (Maha Suci Engkau, ya Allah, dan puji bagi-Mu. Maha Agung nama-Mu dan Maha Tinggi kemuliaan-Mu. Tidak ada ilah yang haq melainkan Engkau).
Kemudian beliau mengucapkan, “La ilaha illallah” (tidak ada ilah yang haq kecuali Allah) sebanyak tiga kali.
Setelah itu beliau mengucapkan, “Aku berlindung kepada Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk, dari godaan, tipuan, dan hembusannya.”
Hadis ini diriwayatkan juga oleh empat penyusun kitab As Sunan dari riwayat Ja’far bin Sulaiman, dari Ali bin Ali Ar Rifa’i, At Tirmizi mengatakan bahwa hadits ini merupakan yang paling masyhur dalam masalah ini. Dan, kata Al Hamz ditafsirkan sebagai cekikan (sampai mati), an nafkh sebagai kesombongan, dan an nafts sebagai syair.
Al Bukhari meriwayatkan dari Sulaiman bin Shurad, katanya, “Ada dua orang yang saling mencela di hadapan Rasulullah saw, sedang kami duduk di hadapan beliau. Salah seorang dari keduanya mencela lainnya dalam keadaan marah dengan wajah yang merah padam. Maka Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya aku akan mengajarkan suatu kalimat yang jika ia mengucapkannya, niscaya akan hilang semua yang dirasakannya itu. Jika ia mengucapkan, ‘A’udzubillahi minasy syaithanir rajim’.”
Kemudian para sahabat berkata kepada orang itu, “Tidakkah engkau mendengar apa yang disabdakan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam?” Orang itu menyahut, “Sesungguhnya aku bukanlah orang yang tewas.”
Hadis di atas juga diriwayatkan bersama Imam Muslim, Abu Dawud, dan An Nasa’i, melalui beberapa jalan dari Al A’masy.
Catatan Penting
Jumhurul ulama berpendapat bahwa isti’adzah itu sunnah hukumnya dan bukan suatu kewajiban, sehingga tidak berdosa bagi orang yang meninggalkannya. Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwasannya ia tidak membaca ta’awudz dalam mengerjakan shalat wajib.
Dalam kitab Al Imla’, Imam asy-Syafi’i mengatakan, “Dianjurkan membaca ta’awudz dengan jahr, tetapi jika dibaca dengan sirri juga tidak apa-apa.” Sedangkan dalam kitab Al Umm, beliau mengatakan, diberikan pilihan, boleh membaca ta’awudz, boleh juga tidak. Dan jika orang yang memohon perlindungan itu membaca A’udzubillahi minasy syaithanir rajim’, maka cukuplah baginya.
Menurut Abu Hanifah dan Muhammad, ta’awudz itu dibaca di dalam shalat untuk membaca Al Qur’an. Sedangkan Abu Yusuf berpendapat, bahwa ta’awudz itu justru dibaca untuk shalat.
Berdasarkan hal ini, seorang makmum hendaklah membaca ta’awudz dalam shalat ‘Id setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca takbir-takbir ‘Id. Dan menurut jumhurul ulama, ta’awudz itu dibaca setelah takbir sebelum membaca Al Fatihah atau surat Al Qur’an.
Di antara manfaat ta’awudz adalah untuk menyucikan dan mengharumkan mulut dari kata-kata yang tidak mengandung faedah dan buruk. Ta’awudz ini digunakan untuk membaca firman-firman Allah. Artinya, memohon pertolongan kepada Allah sekaligus memberikan pengakuan atas kekuasann-Nya, kelemahan sebagai hamba, dan ketidakberdayaannya dalam melawan musuh yang sesungguhnya (setan), yang bersifat batiniyah, yang tidak ada orang yang mampu menolak dan mengusirnya kecuali Allah yang telah menciptakannya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Rabbmu sebagai penjaga.” (Al Isra’: 65).
Dan, para malaikat telah turun untuk memerangi musuh dari kalangan manusia. Barangsiapa yang dibunuh oleh musuh yang bersifat lahiriyah yang berasal dari kalangan manusia, maka ia meninggal sebagai syahid. Barangsiapa dibunuh oleh musuh yang bersifat batiniah, maka sebagai tharid. Dan barangsiapa yang dikalahkan oleh musuh manusia biasa, maka ia akan mendapatkan pahala, dan barangsiapa dikalahkan oleh musuh batini (setan), maka ia tertipu atau menanggung dosa. Karena, setan dapat melihat manusia, sedangkan manusia tidak dapat melihatnya, maka ia memohon perlindungan kepada Rabb yang melihat setan, sedang setan itu tidak melihat-Nya.
Wallahu a’lam bish shawab