Istilah ini saya kenal pertama digunakan oleh Al-Juwaini dalam Nizhamiyyah, ketika beliau membantah keras sikap Takwil dan menganjurkan Tafwidh yang dinisbahkan sebagai madzhab Salaf. Tetapi di situ tidak dirincikan apa yang sebetulnya dimaksudkan oleh Al-Juwaini dengan Tafwidh ini. Sebelum Al-Juwaini, sudah ada Al-Barbahari yang menggunakan istilah ini dalam Syarhus Sunnah, tetapi juga tidak dengan penjelasan yang memadai untuk mengetahui apa rinciannya yang dimaksudkan dengan Tafwidh ini (apalagi beliau sandingkan dengan ungkapan tashdiq, taslim, dan ridha).
Nah, kemudian Al-Ghazali dalam Iljamnya (ketika membantah keras sikap Takwil) mencetuskan konsep ‘tafwidh’ secara detail dan jelas definisi operasionalnya, sekaligus menisbahkannya kepada Salaf. Beliau mungkin tidak menggunakan istilah Tafwidh, melainkan Sukut, Imsak, Kaff, dan Taslim. Akan tetapi, yang nantinya dimaksudkan oleh banyak ulama sebagai tafwidh ya sikap yang seperti dimaksudkan oleh Al-Ghazali ini. Di sinilah, konsep ‘Tafwidh’ itu memiliki definisi yang jelas dengan konsep Itsbat Shifat. Tafwidh terhadap ayat/hadits ttg shifat Allah SWT berarti sikap untuk diam, tidak membicarakannya, tidak mentakwilkannya, tidak menafsirkannya, tidak menerjemahkannya, tidak mengaitkannya dengan nash-nash yang sejenis, serta bahkan tidak menggunakan derivasinya. Dan menurut Al-Ghazali, sikap ini wajib ditempuh oleh orang awam serta juga oleh orang alim dalam berbicara kepada orang awam, bahkan perlu juga ditempuh dalam pembicaraan sesama orang alim. Contoh tokoh asy’ariyah yang membantah sikap tafwidh seperti ini adalah Ibnu Furak.
Pada era Ar-Razi, konsep dan istilah Tafwidh menemukan pembakuannya, yaitu berpijak pada sikap Tawaqquf. Lebih dari itu, Ar-Razi berupaya untuk mengharmoniskan sikap Tafwidh ini dengan sikap Takwil (berbeda dengan para pendahulunya). Kalau tidak salah, pilihan yang ditempuh oleh Al-Amidi pun demikian adanya. Dalam kerangka inilah tokoh semisal Ibnu Taimiyyah itu membantah Tafwidh dan Takwil, yaitu Tafwidh yang dilandasi oleh sikap tawaqquf dan Takwil yang dilandasi oleh sikap nafy, di samping beliau juga membantah sikap Tasybih dan Takyif, yaitu tasybih yang dilandasi sikap mengkiaskan khasaish dan takyif yang dilandasi perincian tanpa dalil.