Menjadi aktivis da’wah akan menjadikan seseorang itu menjadi rujukan bagi orang lain dalam memecahkan permasalahan. Oleh karena itu, ada tanggungjawab besar baginya untuk memberikan jawaban dan pemecahan masalah yang paling tepat. Kadangkala, permasalahan yang dibawa itu adalah permasalahan dunia akhirat, maka diperlukan tanggungjawab besar dan pengetahuan yang luas tentang permasalahan-permasalahan tersebut.
Hal ini hanya dapat dilakukan jika seorang da’i memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang berbagai wawasan kehidupan. Dan yang paling utama dalam memperoleh wawasan ini adalah dengan mengikuti kajian, membaca buku dan koran, dan berbagai seminar.
Imam Hasan Al Banna berkata, “Hendaklah engkau pandai membaca dan menulis, memperbanyak menelaah terhadap risalah Ikhwan, koran, majalah, dan tulisan lainnya. Hendaklah engkau membangun perpustakaan khusus, seberapa pun ukurannya; konsentrasi terhadap spesifikasi keilmuan dan keahlianmu jika engkau seorang spesialis; menguasai persoalan Islam secara umum penguasaan yang membuatnya dapat membangun persepsi yang baik untuk menjadi referensi bagi pemahaman terhadap tuntutan fikrah.”[1]
Syaikh Musthafa Masyhur menyebutkan bahwa tsaqafatul fikri itu mencakup tiga aspek dasar:
“(Para da’i harus) memahami Islam secara benar dan menyeluruh yang memungkinkan dia dapat melaksanakan Islam dengan pelaksanaan yang benar terhadap dirinya, dan dengan itu pula dia dapat menyampaikan Islam dengan baik kepada orang lain. Dia mampu melaksanakan Islam dan menyampaikan secara total, murni dan orisinal.
Para da’i mesti mengetahui kondisi dan situasi dunia Islam dahulu dan sekarang, mengenal musuh-musuh Islam dan mengetahui cara dan tindak-tinduknya. Dia juga harus mengetahui peristiwa-peristiwa aktual yang mempengaruhi kondisi kaum muslimin dari dekat dan jauh. Mengetahui siapakah golongan yang bekerja di bidang da’wah Islam, kecenderungan dan cara-cara mereka, bagaimana bentuk kerjasama yang perlu dibuat bersama-sama dengan mereka, dan persoalan-persoalan lain yang patut diketahui oleh orang-orang yang aktif dalam gerakan Islam.
Para da’i harus menyampaikan untuk memantapkan spesialisasi ilmu yang berkaitan dengan urusan hidup manusia seperti ilmu kedokteran, teknik, pertanian, ekonomi, perusahaan dan lain-lain. Oleh karena itu, bagi seorang kader aqidah ia harus berusaha memperbaiki dan meningkatkan spesialisasi ilmu yang dimilikinya secara profesional, agar dia mendapat tempat dalam masyarakat dan mengisi tempat-tempat kosong pada saat kita membangun dan menegakkan daulah islamiyah. Patut di sini disebutkan bahwa sebagian besar ilmu pengetahuan modern sekarang ini telah dipelopori oleh para cendikiawan muslim zaman dahulu. Karena agama Islam mendorong umatnya untuk mencari ilmu dan belajar, serta dapat menghubungkan ilmunya dengan Al Khalik.”[2]
Dr. Karen Armstrong mengidentifikasikan delapan jenis kecerdasan yang dapat memudahkan seseorang untuk belajar dan mengoptimalkan kecerdasan yang dimilikinya tersebut. Jenis kecerdasan itu meliputi kecerdasan linguistic, kecerdasan logika-matematika, kecerdasan kinestetik, kecerdasan ruang, kecerdasan auditori-ritmik, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan interpersonal.[3] Dengan mengetahui jenis kecerdasan yang sesuai, seseorang mampu mengoptimalkan pembelajaran yang dilakukannya. Maka sudah sewajarnya, seorang da’i terus menerus belajar dalam mengoptimalkan potensi dirinya.
Salah satu kaidah Quantum Dakwah dan Tarbiyah, yakni ‘membaca dengan menulis’ merupakan suatu langkah praktis bagi seorang da’i untuk meningkatkan kapasitas wawasan pikirannya. Kaidah ini merumuskan suatu lompatan metode balajar bagi para aktivis pergerakan untuk membaca buku sebagai salah satu jendela utama gudang pengetahuan. Para aktivis harus dipaksa untuk membaca dengan pemberian tugas untuk menulis. Dengan penugasan ini, maka para da’i akan menulis dan memiliki tanggungjawab ilmiah terhadap tulisan yang dibuatnya. Dan untuk mewujudkan keilmiahan tulisan itu, mau tidak mau harus dengan membaca berbagai buku sebagai referensi. Metode ini secara praktis cukup berhasil ‘memaksa’ para aktivis untuk lebih rajin membaca buku.[4]
Ustadz Sa’id Hawwa menyebutkan beberapa ilmu dasar keislaman yang harus dimiliki oleh seorang prajurit Allah:
- Ilmu ushuluts tsalasah (ilmu tentang keimanan), yang meliputi ilmu tentang Allah, Rasulullah, dan Islam
- Al Kitab dan Ulumul Qur’an, yang meliputi ilmu nasikh dan mansukh, ilmu asbabun nuzul, ilmu gharibil qur’an, ilmu rasm utsmani, dan ilmu tafsir al qur’an
- As Sunnah
- Ilmu Ushul Fiqh
- Ilmu-ilmu Islam yang Bersifat Teoritis dan Praktis, yakni aqidah, akhlak, dan fiqih
- Sejarah Umat Islam dan Kekiniannya, termasuk pula sirah nabawiyah
- Disiplin Ilmu Bahasa Arab
- Beberapa Tantangan dan Konspirasi, yakni dari musuh-musuh Islam
- Kajian Islam Kontemporer
- Pemahaman Da’wah dan Praktiknya, yakni fiqih da’wah[5]
Kemudian, untuk mendukung keberhasilan da’wah, diperlukan pula keahlian spesifik seperti kemampuan membuat rencana strategi, kemampuan penggunaan peralatan mutakhir, keahlian dalam dunia teknologi informasi, manajemen kegiatan, komunikasi publik, riset, dan sebagainya.
Ilmu yang dimiliki seseorang akan memberikan kesan positif bagi diri pemiliknya. Berdasarkan pengamatan Malik bin Nabi pada orang-orang miskin Aljazair yang berada di Perancis, yang melakukan kegiatan belajar, wajah dan penampilan mereka beubah menjadi lebih menarik setelah mereka berhasil menyerap ilmu-ilmu yang diajarkan pada proses pembelajaran itu.[6]
Salah satu tugas peradaban manusia di dunia ini, seperti diungkapkan Abu Bakar Ar Razi, adalah penggalian pengetahuan dan praktik keadilan. “Tujuan tertinggi untuk apa manusia diciptakan dan akan kemana ia diarahkan, bukanlah kegembiraan atas kesenangan-kesenangan yang bersifat fisik, akan tetapi perolehan ilmu pengetahuan dan praktik keadilan. Dua tugas ini adalah berkaitan dengan pelepasan manusia di luar dunia kini hingga ke suatu dunia yang di dalamnya tidak ada kematian atau penderitaan.”