Mungkin agak keliru kalau dikatakan bahwa fenomena “Takfir”(mengkafirkan orang Islam) itu fenomena yang baru. Justru prkatek takfir telah ada sejak zaman ulama salaf dulu. Hanya saja sekarang masalahnya ialah banyak di kalangan para pelajar atau penuntut ilmu yang terlalu cepat mengkafirkan saudara muslim lainnya, tanpa perhitungan.
Dalam istilah syar’i disebut dengan “Al-Ghuluw Fi Al-Takfiir” [الغلو في التكفير] , terlalu terburu-buru dan tergesa-gesa hanya karena berbeda pandangan dalam beberapa hal syariah. Atau mungkin menganggap sesuatu itu adalah perkara Ushuli (fundamental) sedang yang lainnya tidak mengatakan demikian.
Padahal apapun motifnya, Takfir itu bukanlah sesuatu yang bisa dikeluarkan begitu saja. Karena ketika label Kafir itu sudah disematkan kepada seorang muslim, itu sama saja si pemberi Label telah memvonis “neraka” untuk si yang dilabeli. Karena kafir tidak ada tempat lagi di akhirat kecuali neraka. Ini kan bahaya!
Karena sejainya, seorang muslim itu baik kah dia atau buruk, yang banyak dosa sekalipun tetap menjadi muslim sampai memang ada hal-hal yang nyata yang membuatnya keluar dari ajaran murni ini. Tidak bisa hanya duga-duga. Harus benar-benar terpenuhi syarat-syarat Takfir itu sendiri.
Ada beberapa point tentang masalah takfir yang memang harus dan memang wajib diperhatikan bagi seorang muslim agar tidak terlalu cepat dan grasak grusuk memberi label “Kafir” untuk saudaranya.
Termasuk nantinya syarat-syarat dimana Takfir itu bisa dilayangkan kepada seorang muslim harus terpenuhi. Bukan hanya sekedar lempar label sembunyi lisan.
Point Pertama:
Takfir adalah perkara syariah. Karena ini perkara syariah, maka wajib hukumnya mendasarkan perkara ini kepada sumber syariah; Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad saw. Seorang muslim tidak boleh mengkafirkan siapapun itu kecuali memang Allah swt (dalam Quran) dan Nabi saw (dalam hadits) mengkafirkan mereka.
Prosesnya harus berdasar kepada sumber syariah yang jelas. Tidak bisa mnegkafirkan seseorang hanya dengan dasar duga-duga, perasaan benci atau tidak suka. Yang namanya perkara syar’i tidak bisa asal ngomong seeanaknya saja. Harus didasarkan dengan dalil yang jelas dan tidak Muhtamal (mengandung banyak arti).
Dan untuk point ini semua hanya ulama-ulama yang memang berkompeten dalam ilmu syariah yang mampu merumuskannya. Bukan mereka yang hanya baru belajar satu dua kali pertemuan lalu seenaknya mengatakan si Fulan Kafir. Ini lebay namanya.
Point Kedua:
Sejatinya orang Muslim itu tetap akan menjadi Muslim. Dan keislamannya tidak akan terlepas kecuali dengan sesuatu yang benar-benar membuat status keislamannya luntur. Bukan kira-kira, bukan duga-duga, bukan juga perasaan.
Dalam kaidah fiqih disebutkan “Al-Yaqin laa Yazaalu Bi Al-Syakk” [اليقين لا يزال بالشك] (Keyakinan Tidak bisa dihapuskan oleh Keragu-raguan).
Status Islam untuk orang muslim itu kan sesuatu yang pasti dan yakin. Sedangkan status kafir itu masih sebuah keraguan karena tidak jelas benar tidaknya. Dan Kafir itu status yang masih gamang untuk seorang muslim. Benar atau tidaknya masih sangat diragukan.
Jadi sebuah hal yang yakin tetap ada dan tak berubah sampai ada sesuatu yang benar-benar yakin juga menghapusnya. Sesuatu yang masih meragukan tidak akan bisa menghapus sebuah hal yang yakin. Jadi statusnya tetap Islam sampai ada hal yang menyakinkan bahwa ia telah Murtad.
Karena itu, ulama mempunyai klause yang beberapa mereka mengatakan bahwa ini adalah perkataan Imam Malik:
“jika ada orang Islam yang terindikasi ia telah kafir dengan 99 spekulasi, dan hanya 1 spekulasi yang mengarah bahwa ia tetap Islam. Maka spekulasi Islam itulah yang dimenangkan walaupun hanya satu. Sebagai wujud prasangka baik terhadap sesame muslim”. (Al-Bahru Al-Roiq 5/134)
Point Ketiga:
Tidak boleh mengkafir-kan seseorang hanya karena ia melakukan sebuah ma’siyah atau dosa, sekalipun itu dosa besar, seperti zina, riba, atau juga meminum khamr.
Selama ia melakukan itu tidak dengan keyakiyan bahwa sesuatu itu halal. Artinya dia tidak melakukan penghalalan kepada sesuatu itu. Dan harus diketahui juga bahwa “penghalalan” itu mempunyai 2 macam:
[1] Penghalalan yang membuat seseorang keluar dari Islam:
Yaitu seseorang yang mengakui bahwa sesuatu itu adalah sebuah kewajiban, lalu ia meninggalkan karena meyakini bahwa hal itu halal. Seperti orang yang meninggalkan sholat karena berkeyakinan bahwa sholat itu tidak wajib.
Atau ia meyakini bahwa sesuatu itu halal padahal aslinya sesuatu itu adalah perkara haram yang sudah menjadi kesepakatan ulama. Tapi ia justru menganggap bahwa itu halal. Ketika ia sudah berkeyakinan seperti ini, ia resmi telah keluar dari Islam. Tentu jika syaratnya terpenuhi. (akan dijelaskan syarat-syaratnya)
[2] Penghalalan yang tidak membuatnya keluar dari Islam:
Yaitu seseorang meyakini dengan yakin bahwa sesuatu itu haram, namun ia melakukannya. Ulama tidak menghukuminya sebagai orang yang keluar dari Islam, akan tetapi ia berdosa jarena pekerjaannya ini.
Atau juga orang yang meninggalkan sholat karena malas atau lalai tapi tetap berkeyakinan bahwa sholat itu sesuatu yang wajib. Ia berdosa karena telah meninggalkan sholatnya, tapi tidak sampai murtad.
Point Keempat:
Takfir itu bukan perkara remah yang bisa seenaknya dilempar begitu saja. Ada konsekuensi syariah yang serius ketika seseorang sudah mendapatkan label Kafir. Karena memang sudah resmi menjadi kafir, maka hukum-hukum seorang murtad berlaku untuknya.
[1] Darahnya menjadi halal, karena ia telah keluar dari Islam,
[2] Ia tidak bisa mewarisi dan diwarisi. Ketika ada yang meninggal dari kerabatnya, ia tidak bisa mnedapatkan waris karena perbedaan agama. Begitu juga, ketika ia meninggal, ahli warisnya tidak bisa mendapatkan hartanya sebagai warisan. Karena perbedaan agama menghalangi perwarisan.
[3] Pernikahannya harus di Faskh (diputus/pisah) ia tidak lagi terhitung sebagai suami atau istrinya karena murtad itu membuat pernikahan putus. Dan jika ia menggauli istri/suaminya, ia telah berzina.
Masih ada beberapa konsekuensi syariah yang dihasilkan dari sebuah prkatek Takfir selain 3 di atas tadi, dan ketiga hal di atas ialah hal yang besarnya saja.
Point Kelima:
Dalam masalah Hudud (hukuman pidana) ada kaidah “Tudra’u Al-Hudud bi Al-Syubuhat” [تدرأ الحدود بالشبهات] (hukuman itu bisa dicegah dengan adanya syubhat/kemungkinan-kemungkinan)
Dalam Fiqih, ketika seseorang diketahui bersalah dan layak dapat hukuman (Hudud), entah itu hukuman cambuk, potong tangan, atau juga qishosh penggal kepala. Hukuman itu tidak serta merta jatuh untuknya, sang hakim selalu mencari Syubhat dan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin dilakukan yang memang bisa menyelamatkannya dari hudud itu.
Sampai benar-benar terbukti tidak ada kemungkinan lain kecuali memang ia melakukan kesalahan fatal itu, barulah ia layak mendapatkan sebuah hudud.
Ingatkan kita ketika ada seorang yang bernama Maiz datang kepada Nabi Muhammad saw dan mengakui bahwa ia telah berzina. Nabi saw tidak serta merta menjatuhkan hukuman kepada beliau, akan tetapi Nabi ber-Istifshol (bertanya).
Nabi bertanya kepada Maiz: “apakah kau sedang mabuk?”, “apakah kau sadar?”. Dalam beberapa riwayat Nabi saw menanyakan sebanyak 4 kali. Dari sini, ulama menyimpulkan bahwa Nabi sedang mencari syubhat yang bisa membebaskannya dari hudud.
Kalau dalam masalah hudud saja yang konsekuensinya seperti itu dan tidak sebesar takfir, Tentu kaidah ini lebih layak diemplemtasikan dalam masalah Takfir.
Syarat-Syarat Takfir
Setelah mengetahui beberapa point penting dalam masalah Takfir, akhirnya kita tahu bhwa Takfir itu bukan masalah remeh yang bisa seenaknya dilontarkan sana-sini. Banyak yang harus dipertibangkan.
Tidak bisa semua orang melakukan itu, ulama pun harus berpikir keras terlebih dahulu sebelum mengatakan seseorang itu kafir. Kalau ulama yang memang mempunyai kapasitas ilmu syar’i yang mapan saja tidak tergesa-gesa, apalagi dia yang hanya seorang pelajar “baru kemaren sore”.
Ulama punya rumusan syarat-syarat dimana seorang muslim itu bisa dilabeli “Kafir”:
Pertama: Baligh
Karena memang Takfir itu perkara syar’i, maka tidak bisa perkara itu disematkan kepada mereka yang belum masuk kategori mukallaf. Dan syarat mukallaf itu salah satunya ialah baligh.
Jadi tidak bisa jika ada anak kecil yang kemudian menirukan gaya ibadah orang agama non-muslim karena ia melihat di televisi lalu ada yang mengatakan “Anak ini Kafir”. Bagaimana bisa kafir? Toh Mukallaf pun tidak!
Kedua: Berakal
Sayarta kedua ialah berakal. Karena baligh saja tidak cukup untuk menjadikan seseorang itu Mukallaf, ia juga haruslah orang yang mempunyai akal sehat. Karena yang baligh itu belum tentu berakal.
Jadi jika ada seorang muslim yang kemudian ia hilang akal karena penyakit lalu dengan tanpa sadarrnya ia menyembah sebuah batu, tidak bisa dikatakan orang ini kafir. Karena ketika itu ia melakukannya dalam keadaan akal tidak sehat. Dan dia bukan mukallaf.
Ketiga: Mengetahui
Sebelum melabeli seseorang dengan label Kafir atas kelakuannya yang memang bertentangan dengan akidah Islam, harus ditanya dulu, apakah benar ia malakukan itu karena tahu bahwa itu sesuatu yang haram dan bisa mengeluraknnya dari Islam atau tidak?
Kalau memang ia melakukannya tanpa tahu bahwa perkara itu haram dan bisa mengeluarkannya dari Islam, ya tida bisa seenaknya kita melabelinya dengan Kafir, karena ia tidak tahu.
Ini yang banyak terjadi dikalangan bawah, melakukan prkatek-prektek syirik tapi memang mereka tidak tahu. Tidak ada juga pemuka agama yang memberi tahu. Mareka termasuk golongan yang dimaafkan karena ketidak tahuannya.
Atau juga seperti saudar-saudar muslim kita yang hidup di lingkungan non-muslim. Mereka menjadi minoritas disitu, maka besar kemungkinan, mereka akan melakukan sesuatu yang biasa dilakukan oleh lingkungan sekitar. Dan bisa jadi itu adalah sesuatu yang mengandung kesyirikan.
Akan tetapi mereka melakukan itu bukan dasar ilmu. Tidak tahu kalau itu perbuatan syirik, ya tidak bisa seenaknya kita melabeli dia dengan label Kafir.
Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Itsbat Shifat Al-‘Uluw [إثبات صفة العلو] pernah menukil perkataan Imam Syafi’i Rahimahullah dalam masalah Takfir ini. Beliau mengatakan:
“kalau dia menyelisih akidah setelah mengetahui bahwa itu adalah perkara yang bathil yang membuatnya murtad dari Islam, maka ia telah kafir. Akan tetapi jika ia tidak mengetahui, ia dimaafkan karena ketidak tahuannya”(Itsbat Shifat Al-‘Uluw 1240)
Begitu juga seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Taimiyah, bahwa seseorang yang belum mendapatkan ilmu/pengetahuan bahwa sesuatu itu adalah perkara yang syirik, maka ia tidak bisa disebutk sebagai Kafir, kecuali ia telah mnegetahuinya.
(Al-Istiqomah 1/164)
Syarat Keempat: Melakukan dengan sengaja
Artinya bahwa seseorang tidak bisa dikatakan kafir, kecuali ia mengerjakan perkara Mukaffir (Yang membuatnya Kafir) itu dengan sadar dan tidak dalam keadaan lupa dan juga tidak dalam keadaan terpaksa. Dan memang dengan sengaja ia melakukan itu.
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS. Al-Nahl 106)
Dalam hadits juga disebutkan cerita tentang sahabat ‘Ammar bin Yasir ketika ia dan keluarganya disiksa oleh kaum musyrik agar supaya ia mau menghina Nabi Muhammad saw.
Lalu ia mengadukan perkara itu kepada Nabi. Nabi saw bertanya kepada ‘Ammar: “bagaimana keadaan hatimu (keyakinanmu) ketika itu?”, Ammar menjawab: “tetap yakin dalam Iman”. (Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro, no. 16673)
Kemudian Nabi saw tidak marah dan justru mengakuinya. Artinya Nabi membolehkan dan tidak mengatakan bahwa ‘Ammar telah kufur lalu memintanya bersyahadat ulang. Karena Nabi tahu, ketika itu ‘Ammar dalam keadaan terpaksan dan hatinya tetao dalam keadaan iman.
Nabi saw bersabda: “Allah swt mengampuni umatku atas perbuatannya yang dikerjakan karena ia [1] tidak tahu, [2] lupa, [3] terpaksa” (HR Ibnu Majah no. 2033)
Syarat Kelima: Tidak Adanya Perbadaan Ta’wil/Pandangan
Ini yang penting, yaitu adanya perbedaan pandangan terhadap perkara syariah yang memang masih dalam koridor ijtihad shahih yang diakui oleh ulama. Sebagian kalangan menganggap ini Mukaffir, tapi yang lain tidak memandang seperti itu.
Jadi ketika ada seseorang melakukan perkara yang menurut sebagian kalangan itu haram dan Mukaffir, akan tetapi ia melakukannya dengan keyakinan bahwa ini tidak haram dengan dasar dalil dan ijtihad yang diakui (tidak ngasal), maka tidak bisa ia dilabeli Kafir sepihak begitu saja.
Imam Ibnu Taimiyah berkata:
“orang yang berta’wil (ijtihad) dengan niat ingin mengikuti sunnah Nabi Muhammad saw tidak bisa dikatakan kafir jika ijtihadnya salah, dan tidak juga dilabeli sebagai Fasiq. Dan ini pendapat yang masyhur” (Minhaj Al-Sunnah Al-Nabawiyah 5/161)
Contoh yang paling sering kita temui dalam masalah ini ialah perkara “Tawassul”, yaitu berdoa kepada Allah swt dengan perantara (tawassul) Nabi atau orang-orang yang dikatakan sholih.
Satu kalangan menganggap bahwa ini perkara syirik karena sama saja berdoa kepada selain Allah swt. Akan tetapi pendapat ini bukanlah pendapat yang disepakati, bahwa ada kalangan lain dengan jumlah yang tidak sedikti berpendapat beda.
Mereka berijtihad bahwa tawassul bukanlah perkara yang haram apalagi Mukaffir. Tentu mereka mempunyai dalil yang kuat dan tidak ngasal. Terlebih lagi bahwa ijtihad mereka diakui oleh ulama sejagad.
Jadi tidak bisa asal mengatakan bahwa si fulan Kafir hanya karena perbedaan pandangan dalam perkara-perkara syariah yang tidak disepakati keharamannya atau juga tidak disepakati bahwa ini Mukaffir.
Wallahu A’lam