Pengkhianatan Syi’ah Terhadap Khilafah Islam

Bagi para pemerhati sejarah, tentu nama ‘Abbasiyyah tidaklah asing lagi yang dimana Abu Al-‘Abbas yang bergelar As-Saffah mendirikan Negara Islam yang merupakan batu pertama berdirinya Khilafah Islamiyah terbesar, yaitu Dinasti ‘Abbasiyah. Masa Bani ‘Abbasiyah sering disebut-sebut sebagai Masa Keemasan Islam, pada masa ini geliat intelektual dan perkembangan peradaban Islam mencapai puncaknya. Karakteristik pemerintahan yang diwarnai corak keislaman tersebut menorehkan prestasi luar biasa yang dicatat oleh tinta emas sepanjang sejarah manusia.

Seiring berjalannya waktu ketika Dinasti ‘Abbassiyyah mulai melemah, musuh-musuh Islam pun segera memanfa’atkan keadaan tersebut untuk menghancurkan Kaum Muslimin. Dalam menjalankan niat jahat tersebut, kaum busuk Syi’ah yang merupakan sekutu mereka turut andil dalam menumpahkan Darah Kaum Muslimin dengan pengkhianatan-pengkhianatan yang mereka (kaum Syi’ah) lakukan.

Adalah Nashiruddin Ath-Thusi, salah satu dari ribuan tokoh Syi’ah yang sangat berjasa dalam membunuh Kaum Muslimin, membumi-hanguskan rumah-rumah mereka dan memusnahkan khazanah keilmuan mereka hingga Baghdad pun menjadi lautan darah.

Inilah yang menjadi tema note kali ini, dan ketahuilah wahai Kaum Muslimin, bahwa pembahasan ini adalah masih satu dari ribuan pengkhianatan-pengkhianatan Syi’ah terhadap Islam! Dan bila kita paparkan semua pengkhianatan-pengkhianatan mereka satu persatu, maka jangankan note ini atau-pun perpustakaan terbesar di dunia, bahkan LAUTAN pun tidak akan sanggup menampungnya! Saksikanlah wahai Kaum Muslimin, Aku bersumpah dengan Nama Allah Yang Maha Adil, bahwa kejahatan mereka (kaum Syi’ah) adalah sangat NYATA.

Dan tulisan berikut ini banyak saya ambil dari salah satu bab dari Kitab DR. Imad Abdus Sami’ Husain yang berjudul “Pengkhianatan Syiah dan Pengikutnya dalam Meruntuhkan Khilafah islamiyah” Dan tentu kami juga akan menghadirkan referensi dari kitab-kitab Syi’ah sendiri yang menjadi saksi dan bukti yang nyata akan kebusukan mereka.

Nashiruddin Ath-Thusi hidup sezaman dengan menteri Ibnu Al-Alqami dan dia adalah seorang Syi’i Rafidhi yang jahat seperti dia. Jenis pengkhianatannya bermacam-macam, antara lain adalah membantu memerangi Ahlus Sunnah dan mengambil harta benda mereka, serta pemikiran mereka. Soal pengkhianatannya dalam membantu membunuh Ahlus sunnah adalah sangat jelas dan amat nyata.

Al-Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: “Al-Khuja Nashiruddin bersalah kepada orang-orang Ismailiyah pemilik benteng Al-Almut, kemudian bersalah kepada Hulako, padahal dia bersamanya pada perang Baghdad.” (Al Bidayah wa An Nihayah 13/26)

Di tempat lain Beliau juga berkata: “Nashiruddin adalah salah seorang menterinya Syams Asy-Syumus dan juga ayahnya sebelumnya yaitu Ala’uddin bin Jalaluddin. Mereka mempunyai hubungan nasab dengan Nizar bin Al-Mustanshir Al-Ubaidi. Hulako memilih Nashiruddin untuk membantunya, seperti seorang perdana menteri. Ketika Hulako datang dan dia merasa takut untuk membunuh khalifah -dalam perang Baghdad tahun 656 H — menteri Ath-Thusi ini menenangkannya (agar jangan takut). Kemudian mereka membunuhnya dengan cara menendangnya, dengan cara dia dimasukkan ke dalam karung, agar darahnya tidak menetes ke tanah. Ath-Thusi juga memprovokasi khalifah untuk membunuh para Ulama, para Qadhi, para Pejabat, para Pemimpin dan para pembuat undang-undang (Anggota Dewan). Maka dia harus bertanggung jawab atas dosa-dosa semua itu.” (Ibid 13/201)

Orang-orang Syi’ah memuji pengkhianatan yang telah diperbuat oleh Ath-Thusi dan mereka menyayanginya, dan menganggap hal itu sebagai kemenangan yang nyata bagi Islam, contohnya adalah pujian ulama mereka yang bernama Muhammad Baqir Al-Musawi dalam kitab Raudhaat Al-Jannaat Juz 6 kepada Ath Thusi.

Dia (Muhammad Baqir Al-Musawi) mengatakan tentang Ath-Thusi dengan memuji,

“Dia adalah seorang peneliti, pembicara, orang yang bijaksana, yang baik dan mulia…Di antara salah satu ceritanya yang terkenal adalah cerita di mana dia diminta untuk menjadi menteri seorang sultan yang sederhana dalam mengawasi Iran, Hulako Khan bin Tauli Jengis Khan, salah seorang pemimpin besar Tatar dan pegunungan Mongolia. Dan kedatangannya bersama rombongan sultan dengan penuh kesiapan ke Dar As-Salam Baghdad, untuk membimbing orang-orang, memperbaiki negara, memutus rantai penindasan dan kerusakan, memadamkan lingkaran kezhaliman dan kekacauan dengan menghancurkan lingkaran kekuasaan Bani Abbas dan melakukan pembunuhan massal terhadap para pengikut mereka yang zhalim, sehingga darah mereka yang kotor mengalir bagai air sungai, kemudian mengalir ke sungai Dajlah dan sebagian lagi ke neraka Jahanam lembah kebinasaan dan tempat orang-orang yang celaka dan jahat”

Astaghfirullah.. pengkhianatan dibilang sebagai membimbing orang-orang, dan memperbaiki negara?!

Benarlah apa yang telah difirmankan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla tentang perumpamaan orang-orang yang berkhianat dan membuat kerusakan, yaitu (yang artinya) : “Dan bila dikatakan kepada mereka, Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,’ mereka menjawab, `Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan kebaikan.’ Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (Al-Baqarah: 11-12).

Lalu Khomeini pun telah memuji Nashiruddin Ath-Thusi dan memberkati pengkhianatannya, dan menganggapnya sebagai kemenangan yang nyata  dalam kitabnya Al-Hukumah Al-Islamiyah halaman 123.

Khomeini berkata: “Jika seorang faqih menjadi aparat pemerintah zhalim dapat menyebabkan kuatnya pemerintahan tersebut dan menjadikan lemahnya Islam maka dia tidak boleh melakukannya walaupun berakibat dia dibunuh. Tidak ada alasan yang dia tawarkan untuk dapat diterima, kecuali jika masukinya memiliki beberapa dasar yang rasional, seperti yang terjadi dengan ‘Ali bin Yaqtin dan Nashir Ath-Thusi yang tindakannya sebagaimana telah diketahui membuahkan hasil yang menguntungkan.” [Al-Hukumah Al-Islamiyah]

Begitulah, ketika timbangan sudah terbalik, pengkhianatan terhadap Islam dan Kaum Muslimin dianggap sebagai pengorbanan yang besar terhadap Islam dan Kaum Muslimin!!

Khomeini juga berkata bahwa merupakan kesedihan ketika kehilangan orang-orang seperti Ath-Thusi yang telah berjuang memberi khidmat yang mulia untuk Islam.

Gila.. menghancurkan Islam dibilang berjuang dan berkhidmat untuk Islam??!!

Dia (Khomeini) juga berkata: “Sungguh keretakan pada Islam terjadi ketika Islam kehilangan Pribadi seperti Imam Al-Husain yang menjaga ‘Aqidah Islam, hukum-hukumnya, serta tatanannya. Atau seperti Al-‘Allamah Nashiruddin Ath-Thusi dan Al-‘Allamah Al-Hilli yang mereka telah memberikan khidmat yang mulia…” [Al-Hukumah Al-Islamiyah]

Pada perkataan Khomeini sebelumnya, kita mendapatkan sosok yang bernama ‘Ali bin Yaqtin yang turut dipuja oleh Khomeini. Siapakah ‘Ali bin Yaqtin itu? Dia adalah pengkhianat yang telah menumpahkan banyak dari Darah Kaum Muslimin sebagaimana Ath-Thusi. Berikut scan kitab mengenai penjelasan dari ulama mereka yang bernama Nikmatullah Al-Jazairy tentang ‘Ali bin Yaqtin dalam kitabnya Anwar An-Nu’maniyyah juz 2.

Nikmatullah Al-Jazairy berkata:

“Sesungguhnya Ali ibn Yaqtin, dan dia sebelumnya adalah Menteri dari Ar Rasyid, menyetujui untuk memenjarakan sekelompok mukhalifin (Ahlus Sunnah). Dia (ibn Yaqtin) adalah salah satu pemimpin Syi’ah. Dia memerintahkan para pembantunya untuk meruntuhkan atap yang berada di atas para tahanan tersebut. Semua orang di dalamnya tewas. Ada sekitar 500 orang yang tewas. Dia bermaksud untuk menyelamatkan diri dari darah yang dia tumpahkan tersebut, dan menulis surat pada maulana Al-Kazhim. Sebagai balasan (imam menulis padanya) : ‘jika engkau datang kepadaku sebelum membunuh mereka, engkau tak harus membayar apapun untuk darah mereka. Akan tetapi, karena engkau tidak datang kepadaku (sebelum pembunuhan tersebut), serahkan seekor kambing (betina) sebagai penebus dosa untuk tiap orang yang terbunuh. Dan kambing lebih baik dari mereka. (Penulis Ni’matullah Jazairi meneruskan) Lihatlah betapa kecilnya penebusan dosa tersebut! tidak sebanding dengan denda saudara bungsu mereka yaitu anjing pemburu, karena diyat/denda membunuh anjing pemburu adalah 20 dirham, dan tidak pula sebanding dengan diyat/denda membunuh saudara sulung mereka yahudi atau majusi yaitu 800 dirham. Dan nasib mereka di akhirat adalah lebih buruk dan lebih najis.”

Pengkhianatan Ath-Thusi dalam pembunuhan, telah berdampak pada pengkhianatan yang serius, yaitu pengkhianatan terhadap kebudayaan umat Islam, warisannya, pemikirannya, dan kebudayaannya. Karena Ath-Thusi bila diteliti, dia adalah seorang yang menguasai berbagai disiplin ilmu, terutama ilmu kalam, filsafat, dan mantiq. Dia sangat paham untuk mengarahkan serangannya yang mematikan terhadap umat Islam, terhadap warisan kebudayaan dan pemikirannya. Dia berusaha untuk menghancurkan buku-buku, memusnahkannya, dan merampasnya, serta mempertahankan para filsuf dan tukang-tukang ramal.

Ibnu Katsir Rahimahullah berkata, “Pada tahun 657 H Al-Khawajah Nashiruddin Ath-Thusi melakukan pengintaian di kota Muraghah dan memindahkan begitu banyak buku-buku wakaf yang sebelumnya ada di Baghdad ke sana. Dia mendirikan Dar Al-Hikmah untuk mengorganisir para filsuf di sana dan menetapkan tiga dirham bagi setiap orang dalam sehari semalam.” (Al Bidayah wa An Nihayah 13/315)

Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, “Ketika peran itu berpindah ke tangan penyokong kemusyrikan dan atheisme, yaitu menteri para atheis Nashiruddin Ath-Thusi menterinya Hulako, dia membebaskan dirinya dari para pengikut Rasulullah yang mulia dan para pemeluk agamanya. Dia mengangkat pedangnya pada mereka, sehingga saudara-saudaranya terbebas dari para atheis. Dan dia sembuh, kemudian membunuh khalifah, para qadhi, para fuqaha, dan ahli hadits, serta mempertahankan para filsuf, tukang-tukang ramal, dan para penyihir. Dan memindahkan sekolah-sekolah wakaf, masjid-masjid, dan pengajian-pengajian kepada mereka dan menjadikan mereka sebagai pemiliknya dan pemimpinnya. Dalam buku-bukunya dia mendukung pendapat tentang qidamnya alam dan tidak adanya ma’ad (akhirat), serta mengingkari sifat-sifat Allah Azza wa Jalla tentang ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, hidup-Nya, pendengaran dan penglihatan-Nya, dan bahwasanya Dia tidak berada di dalam alam maupun di luar alam, serta tidak ada satu Tuhan pun yang disembah di atas arsy. Dia menjadikan sekolah-sekolah untuk para atheis. Dia juga ingin mengubah shalat dan menjadikannya hanya dua rakaat, tetapi itu tidak terlaksana. Pada akhirnya dia mempelajari ilmu sihir. Dia adalah seorang penyihir yang menyembah berhala. Muhammad Asy-Syahrastani menentang Ibnu Sina dalam kitab yang dia beri judul Al-Mushara’ah. Dia menentang pendapatnya tentang qidam-nya alam, dan pengingkarannya terhadap akhirat serta menafikan ilmu-Nya Allah dan kekuasaan-Nya serta penciptaan alam semesta. Kemudian sepontan para penyokong atheisme menghadapinya, lalu mundur. Dia menyanggahnya dengan buku yang berjudul Mushara’at Al-Mushara’ah. Kesimpulannya, bahwa orang ini dan para pengikutnya adalah orang-orang atheis yang tidak beriman kepada Allah, kepada para malaikat, Kitab-Kitab-Nya, para rasul dan hari akhir” (Ighasatul Lahfan 2/263)

Asy-Syaikh Muhibbuddin Al-Khathib berkata, “Nashiruddin Ath-Thusi… datang di barisan depan pasukan pembunuh Hulako. Mereka berdua mengatur pembantaian masal anak-anak dan orang-orang tua di hadapan kaum muslimin dan muslimat. Dia merestui menenggelamkan buku-buku ilmu pengetahuan Islam di sungai Dajlah, sehingga sampai menjadikan airnya berwarna hitam mengalir selama beberapa hari oleh tinta buku-buku yang telah ditulis dengan tangan. Hilang pula bersamanya, warisan Islam yang sangat berharga, sejarah, sastra, bahasa, syair dan hikmah, terutama ilmu-ilmu syar’i dan karya-karya generasi pertama ulama salaf yang sangat banyak saat itu, dan telah musnah bersama musnahnya karya-karya sejenisnya dalam tragedi kebudayaan yang belum pernah ada tandingannya tersebut.” (Al Khuthath Aridah: 47-48)

Pengkhianatan terhadap peradaban dan kebudayaan ini telah memalingkan pandangan saya pada sesuatu yang penting, yaitu bahwa kita ketika sedang membaca buku-buku biografi para tokoh atau buku-buku yang khusus mencatat judul-judul buku, kita sering mendengar tentang puluhan bahkan ratusan karya-karya besar, tetapi kita dikejutkan oleh tidak sampainya karya-karya tersebut kepada kita, kecuali hanya sedikit saja.

Maka, kita mengetahui bahwa pengkhianatan terhadap peradaban dan kebudayaan adalah sebab di balik hilangnya sebagian besar karya-karya berharga milik umat ini, sampai datang imperialisme baru, lalu mencuri puluhan ensiklopedi ilmiah dari warisan umat ini dan membawanya ke negaranya. Siapakah yang tahu, kemungkinan tangan-tangan pengkhianat Syi’ah-lah yang telah berbuat terhadap warisan umat ini saat sekarang seperti yang dilakukan pada masa lalu.

Perlu disebutkan, bahwa dalam peperangan terakhir di Iraq ketika orang-orang “Tartar baru” di bawah pimpinan Hulako datang ke Baghdad, adalah juga sebagai akibat dari pengkhianatan. Kekacauan pun terjadi di seluruh negeri. Orang-orang Syiah sengaja datang ke tempat-tempat penyimpanan dokumen-dokumen, lalu mereka mencuri  semuanya.

Sesungguhnya kita adalah milik Allah, dan hanya kepada-Nya lah kita kembali.

Jaser Leon Heart