Asumsikan kita menolak pandangan bahwa Injil ditulis 100 tahun setelah diangkatnya Yesus oleh orang yang tidak dikenal, dan kita ambil pendapat yang paling dekat tahunnya yaitu William F. Albright bahwa Injil ditulis sekira 50-75 tahun setelah Yesus disalib oleh seorang rasul yang anonim.
Pertanyaannya, siapa menjamin dalam Injil tersebut tidak ada distorsi, tidak terselip perkataan manusia ? Ini mungkin yang membuat sebagian masyarakat Eropa ragu akan otensitas Injil, sebab masyarakat Eropa adalah masyarakat dengan tradisi tulis, bukan tradisi ” menghafal. ” Sehingga apa-apa yang cenderung tidak ditulis sejak awal turunnya, sangat mungkin terdistorsi apalagi penulisnya anonim, majhul, tidak diketahui siapa ? Lalu bagamana memverifikasi keasliannya ?
Al-Qur’an turun pada bangsa yang ummi, buta huruf, tuna aksara, karena itu Al-Qur’an dijaga bukan melalui tulisan tetapi dengan menghafal. Tradisi menghafal bangsa Arab sangat kuat dan terkenal bahkan sampai hari ini, kita masih banyak menemui orang-orang Arab yang seperti teks berjalan. Hafalan adalah instrumen primer dalam penjagaan Al-Qur’an, itu bukan berarti Al-Qur’an tidak ditulis sejak awal mula turunnya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan Zaid bin Tsabit r.a, Muawiyah r.a dan beberapa sahabat yang bisa menulis menjadi pencatat wahyu dan melarang penulisan hadits untuk memisahkan antara firman Tuhan dan perkataan manusia, walau itu perkataan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri.
Walaupun Al-Qur’an telah ditulis sejak awal turunnya oleh para pencatat wahyu yang jelas profil dan biografinya, tidak anonim, tapi tetap saja tulisan adalah sumber sekunder dalam rujukan otensitas Al-Qur’an, penguat dan pembanding. Sumber primernya adalah ” shudur as shahabah ” hafalan yang terekam dalam dada-dada para sahabat dan jumlah penghafal Al-Qur’an di masa itu amatlah banyak. Yang gugur dalam perang Yamamah saja ada yang berpendapat 100 – 700 orang penghafal Al-Qur’an.
Seandainya pun, Al-Qur’an tidak dikodifikasikan di zaman Abu Bakar r.a dan Utsman r.a, selama penghafal Al-Qur’an masih ada maka insya Allah Al-Qur’an masih terjaga. Bisa kita bayangkan, tradisi primer itu, penghafalan Al-Qur’an, masih terjaga sampai hari ini. Bahkan yang menghafal dari Abu Darda r.a di Kufah saja ada 16.000 tabi’in. Bukan hanya tradisi primer yang masih terjaga, tradisi sekunder pun yaitu penulisan Al-Qur’an masih terjada riwayat dan tatacara penulisannya sejak awal Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai hari ini dalam karya-karya para ulama.
Orang-orang Eropa yang hanya bertumpu pada tradisi tulis mungkin bingung, bagaimana Al-Qur’an terjaga sedangkan teks Induknya, manuskrip mushaf-mushaf Utsmani sudah tidak utuh ditemukan. Mereka sulit memahami karena dalam tradisi mereka tidak dikenal tradisi menghafal dan periwayatan. Walaupun manuskrip mushaf-mushaf Induk sudah tidak ditemukan, cukuplah salinan-salinan dari mushaf-mushaf induk tersebut yang telah menyebar di berbagai belahan dunia Islam dan riwayat-riwayat qiraat dan rasm (teks) yang ada pada dada dan kitab para ulama sebagai jaminan orisinalitas, belum lagi ditambah ratusan juta penghafal Al-Quran yang mengafalkan Al-Qur’an dari masa ke masa dari jaman ke jaman di seluruh dunia yang masih nyata sampai hari ini.
Ustadz Rudi Wahyudi, SPI.
Perintis Sekolah Al-Qur’an Baiturrahman, Setu-Cipayung