Setelah Perang Badar, tokoh Quraisy sepakat untuk membalas dendam kepada Kaum Muslimin atas kematian orang-orang Quraisy yang terbunuh di Perang Badar. Mereka membentuk pasukan besar dengan kekuatan sekitar 3000 orang, dukungan dana dari Abu Sufyan telah siap, dan Al-Ahabisy (suku lain sekitar Makkah yang terikat perjanjian dengan Quraisy) siap membantu.
Setelah mendengar hal tersebut dan bermusyawarah dengan para Sahabat, Rasulullah memutuskan untuk berperang di luar kota Madinah dan bergerak menuju Uhud pada hari Sabtu, 7 Syawal 32 H. Rasulullah beserta 700 pasukan kaum Muslimin mengambil posisi di sebuah dataran di lereng gunung dan membentengi diri di balik gunung menghadap ke arah Madinah. Rasulullah menempatkan 50 pemanah di atas bukit yang terletak di belakang kaum Muslimin. Pesan Rasulullah sat itu jelas :
Berjagalah di tempat kalian ini dan lindungilah pasukan kita dari belakang. Bila kalian melihat pasukan kita berhasil mendesak dan menjarah musuh, janganlah sekali-kali kalian turut menjarah. Demikian pula andai kalian melihat pasukan kita banyak yang gugur, janganlah kalian bergerak membantu.” (Ibnu Sa’ad, 3/80, Ibnu Hisyam dengan lafal yang hampir sama dengan Bukhari sepertinya, 5/28)
Pertempuran dimulai dan berkecamuk dengan sengit. Kaum Muslimin menyerang kaum musyrikin dengan sangat mengagumkan. Kaum musyrikin kocar-kacir, dan kaum muslimin terus mengejar seraya mengambil barang rampasan. Melihat ini pasukan pemanah tertarik turun dan turut mengambil harta rampasan, kecuali pimpinan mereka, Abdullah bin Jubair. Melihat bukit yang sudah tidak terjaga, Khalid bin Walid dari kaum musyrikin melancarkan serangan balik dan berhasil membunuh para pemanah, termasuk Abdullah bin Jubair.
Keadaan berbalik, kaum Muslimin terhenyak dan diliputi rasa takut sehingga perang tak beraturan. Di saat krisi itu terdengar desas-desus bahwa Rasulullah gugur dalam pertempuran. Ini mengguncangkan hati sebagian kaum Muslimin dan orang yang lemah iman di antara mereka berkata “Apa gunanya kita di sini jika Rasulullah telah gugur?”. Anas bin Nadhar, seorang sahabat yang sangat kuat berkata untuk membalikkan perkataan tadi, “Bahkan untuk apa lagi kalian hidup sesudah Rasulullah gugur?”. Anas bin Nadhar kemudian kembali menerjang pertempuran dan akhirnya syahid.
Ali bin Abi Thalib bercerita bahwa Ali mencari di antara orang yang masih hidup, tetapi tidak menemukan Rasulullah. Kemudian mencari di antara para syuhada, juga tidak ditemukan Rasulullah. Dalam hatinya berkata, tidak mungkin Rasulullah lari dari peperangan. Ali kemudian berpikir, mungkin karena perbuatan kaum Muslimin, Allah marah kepada kaum Muslimin dan mengangkat kekasihNya ke langit. Itulah pikiran positif Ali. Ali tak dapat mengira kemungkinan lain dan segera mencabut pedangnya terjun ke pertempuran. Di tengah kepungan itu, Ali menjumpai Rasulullah dan senang sekali, kemudian Rasulullah memerintahkan “Hai Ali, tahanlah mereka.” Beliau memberikan isyarat kepada Ali untuk melawan musuh.
Selang sekian lama, pertempuran pun mereda dan berakhir. Kaum musyrikin mulai meninggalkan medan pertempuran dengan rasa bangga atas “kemenangan yang diraihnya” dan kaum Muslimin terkejut dengan banyaknya sahabat yang syahid. Pada Sabtu sore Rasulullah meninggalkan Uhud dan malam harinya bermalam di Madinah. Setelah Sholat Subuh hari Ahad, Rasulullah kembali memerintahkan penyerangan dengan strategi membuat api unggun yang besar, sehingga kaum musyrikin kembali bergidik ngeri dan memilih mundur karena mengira kekuatan yang besar mengancam mereka.
Strategi yang jitu membuat kaum Muslimin sempat berjaya di Uhud, hanya karena godaan ketamakan, pasukan kaum Muslimin hampir musnah. Ketergantungan yang sangat terhadap Rasulullah menjadikan sebagian kaum Muslimin yang lemah iman sempat goyang, kecintaan terhadap Allah harus melebihi kecintaan terhadap Rasulullah. Terkadang kaum Muslimin yang lemah iman lupa akan hal tersebut, sehingga dikhawatirkan Menuhankan Rasulullah.(sidg)