Ibnu Athaillah As Sakandari mengatakan:
“Pinta tak akan tertolak selama engkau memohon kepada Tuhan. Namun, pinta tak akan terkabulkan selama engkau mengandalkan dirimu sendiri.”
Ketika kaum muslim bertempur dalam Perang Badar, mereka sadar bahwa perang adalah kewajiban sekalipun peralatan dan persenjataan perang mereka sangatlah tidak memadai. Kepercayaan mereka kepada Allah menjadi amat tinggi, dan keyakinan mereka akan pertolongan-Nya amat besar.
Kepercayaan mereka akan diri mereka sendiri sangat kecil bahkan lenyap digantikan oleh kepercayaan yang meluap kepada Allah. Zikir mereka kepada Allah menjadi-jadi. Sampai-sampai, seolah Allah sendirilah yang mengatasi perang itu. Kuda-kuda yang mereka tunggangi, serta diri mereka, seolah hanyalah alat Kehendak Yang Mahatinggi. Karena itulah perang berakhir dengan kemenangan be¬sar bagi kaum yang menjalaninya atas nama Allah itu.
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang me¬lempar (Q.S. al-Anfâl [8]: 17).
Seseorang bisa memancarkan kekuatan yang besar ketika bekerja kalau sambil mengharapkan dari Allah tekad, kesungguhan, taufik, dan keberhasilan. Setiap kali Rasulullah menghadapi musuh-musuhnya, beliau selalu memegang semangat ini seraya memohon pertolongan Allah semata. Beliau berdoa, “Ya Allah, dengan-Mu aku menyerang, dengan-Mu aku berlindung, dan dengan-Mu aku berperang. Ya Allah, sesungguh¬nya kami menjadikan-Mu penolong ketika kami me¬merangi mereka, dan kami berlindung dengan-Mu dari kekejian mereka” (H.R. Abû Dâwud).
Jika seseorang merasa bangga dengan kekuatan, perleng¬kapan, dan persiapannya, lalu lupa kepada Allah, tempat kembali segala perkara dan pengendali kehidupan, maka hasil usahanya akan mengagetkannya karena tiada sesuai dengan harapan.
Dalam Perang Hunayn, kaum muslim merasa tenang ka¬rena besarnya jumlah mereka. Mereka berkata, “Hari ini kita tak akan kalah karena jumlah kita banyak.” Mereka yakin bahwa merekalah pasukan perang yang kuat dan siap menerjang musuh. Kepercayaan diri ini telah melunturkan kepercayaan kepada langit. Mereka mengharapkan kemenangan hanya dari diri me¬reka sendiri. Ada perbedaan sangat mencolok antara sikap kaum muslim kali ini dan sikap mereka ketika Perang Badar. Apa hasil yang mereka rasakan kali ini?
Dan (ingatlah) Perang Hunayn, yaitu sewaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai (Q.S. al-Tawbah [9]: 25).
Itulah akibat tertipu dengan nafsu dan melupakan Allah. Akibat ini pernah dirasakan pahitnya oleh kaum muslim di atas bukit Uhud.
Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada Perang Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada Perang Badar). Kamu berkata, “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri” (Q.S. Âl ‘Imrân [3]: 165).
Percaya diri berlebihan, betapa pun segala perlengkap¬an telah dipersiapkan dan segala persyaratan telah sempurna dipenuhi, tidak akan membukakan pintu kebaikan. Kegagalan akan dipetik oleh usaha dan pemikiran manusia ketika Allah menghendaki kegagalan baginya.
Sudah seharusnya kita senantiasa memohon pertolongan Allah dalam segala urusan. Tanpa pertolongan-Nya sesuatu tidak akan baik terwujud. Dan arti dari “mencari sesuatu dengan pertolongan Allah”, ada¬lah memadukan syarat utama (pertolongan Allah) dengan usa¬ha-usaha dan syarat-syarat yang kita miliki. Itu tidak berarti kita boleh malas dan lalai, sebab malas dan lalai tidak sesuai dengan kehendak Allah. Bahkan, keduanya adalah bentuk kemak¬siatan kepada-Nya, dan penyimpangan atas sunatullah.
Syekh Muhammad al-Ghazali