Apakah Anda pernah menyaksikan sebuah pertandingan sepak bola? Kemungkinan jawabannya sering, terutama bagi Anda, kaum Adam. Saya juga pernah memperhatikan pertandingan sepak bola. Tentu saja bukan pertandingan profesional, melainkan sekumpulan anak lelaki yang bermain bola disepak. Memperhatikan mereka bermain, semakin lama semakin membuat saya terkesima. Sekali lagi, bukan karena pertandingan sepak bola itu, melainkan ada semacam keterjadian yang membuat takjub.
Yang saya perhatikan, sekumpulan anak lelaki itu bermain lepas dan tidak banyak aturan yang mengikat. Biasanya mereka adalah teman satu kelas. Tanpa banyak basa-basi, mereka membagi dua pihak dari kawanan tersebut. Kemudian, beberapa menit bergulir, terlihat pertandingan semakin antusias. Teman-teman mereka pun tertawan hatinya untuk segera ikut bergabung. Maka tanpa banyak berkata, beberapa orang pun ikut merumput. Masing-masing seolah telah mengetahui dengan otomatis terbagi menjadi dua kubu. Tak perlu waktu lama, mereka dapat bermain dengan padu dan lincah. Mereka mengetahui kawan dan lawan masing-masing.
Mereka sangat menikmati pertandingan amatir tersebut, bahkan teman-teman lain yang tidak sengaja menonton bagai sangat menikmati pertandingan mendadak tersebut. Luar biasa, pekik saya ketika menyaksikan mereka. Mudah sekali rasanya bermain bola dengan tata krama yang seolah telah disepakati bersama namun tidak banyak basa-basi. Akan tetapi, coba lihatlah di ruang yang lain, sekumpulan anak perempuan duduk menepi sangat asyik bermain “rumah-rumahan”.
Saya memperhatikan, ketika ada seorang kawan kecil mereka yang tertarik untuk bergabung, maka akan terjadi kericuhan yang cukup menggelikan. Semua akan bingung, bagaimana menempatkan kawan barunya itu. Semua mulut bebas terbuka dan bicara. Maka sejauh ini, terhipotesis dalam benak saya, bahwa perempuan lebih berbenang kusut dalam menetapkan gaya bermain. Berbeda dengan laki-laki yang begitu simpelnya bermain bola sepak.
Oh perempuan, ya tentu saja berbeda dengan laki-laki. Mereka berarak menuju kesempurnaan lakunya masing-masing. Jalan yang ditempuh pun berbeda, namun ternyata sangat saling sinergis. Maka cukuplah kita sebagai perempuan bahagia dengan kodratnya, mengisi peran yang telah diperuntukkan pada perempuan itu sendiri.
Tercipta engkau dari rusuk lelaki
Bukan dari kaki untuk dialasi
Bukan dari kepala untuk dijunjung
Tapi dekat dibahu untuk dilindung
Dekat jua di hati untuk dikasihi
Engkaulah wanita hiasan duniawi
(De Hearty, Insan Istimewa)
Rasulullah Muhammad Saw. telah bersabda, yang padanya pasti didapati sebuah kebenaran absolut, insya Allah.
“Berbuat baiklah kepada wanita, karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas.Maka sikapilah para wanita dengan baik.” (HR al-Bukhari Kitab an-Nikah no 5186)
Mari kita perhatikan, bahwa para wanita diciptakan dari tulang rusuk. Sebagaimana diketahui, bahwa yang paling atas itu adalah yang setelah pangkal rusuk, itulah tulang rusuk yang paling bengkok. Maknanya, pasti dalam kenyataannya, memang terdapat kebengkokan dan kekurangan. Wallahu a’lam.
Ada kalanya memang, sebagai perempuan tentu tidak selamanya kita senantiasa bersikap manis di hadapan suami, ayah, anak, atau saudara laki-laki. Namun lebih banyak terpeleset pada keburukan perangai, perkataan, maupun perbuatannya. Maka wajarlah, terkadang terlampau sulit kita mendefinisikan kemauan seorang perempuan. Tidak banyak memutus, gamang, dan serba rasa.
Sekali lagi, kita memang dituntut menyadari hakikat keperempuanan yang melekat pada inisiasi penciptaan kita sendiri. Banyak kekurangan, namun berlimpah kelebihan, insya Allah. Allah Swt pun membekalinya khusus untuk sang perempuan. Tidak ditemukan pada sosok makhluk yang lain. Dialah sebagai peneguh yang tenang dan teduh. Kita saksikan betapa bunda Khadijah Al Kubra menyelimuti badan Rasul yang kala itu menggigil selepas menerima kalimat mulia, wahyu pertama. Tutur katanya yang lembut adalah penawar segala galau yang mencekam jiwa Rasulullah saat itu.
“Sesampainya di rumah aku langsung duduk di atas paha Khadijah sambil bersandar kepadanya,” sabda Nabi Saw. seperti yang diungkapkan Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfury dalam riwayat Ath Thabari dan Ibnu Hisyam.
Khadijah menggembirakan, “Bergembiralah wahai anak pamanku dan teguhkanlah hatimu. Demi diri Khadijah yang ada di tangan-Nya, aku benar-benar sangat berharap engkau menjadi nabi umat ini.” Dalam riwayat ‘Aisyah, “Tidak. Demi Allah, Allah sama sekali tidak akan menghinakanmu,” sambung khadijah berbinar-binar, “Karena engkau suka menyambung tali persaudaraan, ikut membawakan beban orang lain, memberi makan orang yang miskin, menjamu tamu dan menolong orang yang menegakkan kebenaran.”
Maupun bunda Aisyah, yang kejelitaannya menyirnakan segala penat, lelah, dan duka Rasulullah. Dia menyediakan dadanya untuk bersandar kepala nabi. Tentu dada atau bahunya itu tidak sebidang dada dan bahu kaum lelaki, namun kekuatannya tampak memberi kekokohan bagai karang di tengah lautan yang berdebur. Maka saksikanlah penuturan Dewi Aisyah r.a, beliau berkata, “Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam biasa meletakkan kepalanya di pangkuanku walaupun aku sedang haid, kemudian beliau membaca Al-Quran.” (Hadis Riwayat Abdurrazaq).
Sebagai penutup, saya teringat sebuah tausiyah yang disampaikan dalam sebuah acara kajian bertema keluarga. “Seharusnya, para istri tidak perlu mengeluh apabila sang suami belum memenuhi segala perabot rumahnya,” kata Ustadz yang mengisi, “Mungkin saja itu adalah kesempatan bagi mereka untuk selalu bisa menyediakan dada dan bahu mereka untuk tempat bersandar sang suami. Sehingga dapat selalu bermesraan kan!.” Ah, betapa sangat utopis tausiyah yang disampaikan tersebut, pikir saya. Tentu teramat sulit melakoninya dalam realita. Namun, ada yang menarik, begitulah perempuan, dia dapat mendayagunakan apapun di dalam dirinya sebagai ladang amal, ruang bersyukur, dan jalan membahagiakan orang lain, terutama suami, anak-anak, dan orang tuanya.
Oleh: Dian Suci Lestari