Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ .
“Berpuasalah kalian karena melihatnya (bulan), dan berbukalah kalian karena melihatnya. Sekiranya awan menutupi kalian, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh.”
Takhrij
Hadits ini diriwayatkan Imam An Nasa`i dari Ahmad bin Utsman Abul Jauza` dari Hibban bin Hilal dari Hammad bin Salamah dari Amr bin Dinar dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Hadits ini juga diriwayatkan Imam At Tirmidzi (624), Ahmad (1881), Al Hakim (1495), Abu Ya’la (2301), Ad Darimi (1736), Ad Daraquthni (2176), Ibnu Hibban (3663), dan Ibnu Khuzaimah (1806); dari Ibnu Abbas.
Hadits senada juga diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari (1776), Muslim (2567), At Tirmidzi (620), Ahmad (9007), Ath Thabarani dalam Al Ausath (1276), Ibnu Hibban (3511), Ath Thayalisi (2415), Ath Thahawi (3186), dan Al Baghawi (1736); dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.
Hikmah dan Ibrah
- Berpuasalah kalian karena melihat bulan; ini adalah perintah untuk mengawali puasa Ramadhan karena “melihat” (rukyah) bulan Ramadhan.
- Berbukalah kalian karena melihat bulan; ini juga perintah mengakhiri Ramadhan dan masuk 1 Syawal karena “melihat” (rukyah) bulan.
Perintah “melihat” ini selaras dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه .
“Barangsiapa telah menyaksikan bulan, maka hendaknya dia puasa.”
Perintah “melihat” ini juga selaras dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ .
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, tidak bisa menulis dan tidak tahu ilmu hisab.”
- Jika cuaca mendung atau berawan sehingga tidak memungkinkan melihat bulan (bulan tidak terlihat), maka hendaknya bulan Syawal digenapkan menjadi tiga puluh.
- Begitu pula jika pada penghujung bulan Ramadhan bulan tidak terlihat dikarena cuaca buruk, hendaknya Ramadhan digenapkan menjadi tiga puluh hari.
Seputar Hukum Rukyah dan Hisab
Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Yang dijadikan pegangan dalam masalah penetapan bulan Ramadhan, bulan Syawal, dan bulan Dzulhijjah; adalah rukyah (melihat bulan), bukan hisab. Hal ini dikarenakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ .
“Berpuasalah kalian karena melihatnya (bulan), dan berbukalah kalian karena melihatnya. Sekiranya awan menutupi kalian, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh.”
Jadi, masalah ini (penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah) tidak boleh disandarkan pada hisab, karena ia menyalahi Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim serta kitab-kitab hadits yang lain.
Disebutkan dalam fatwa Lajnah Da`imah lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta` Saudi Arabia, yang beranggotakan Syaikh Bin Baz (Ketua), Syaikh Abdurrazaq Afifi (Wakil Ketua), dan Syaikh Abdullah bin Qa’ud (Anggota) rahimahumullah:
“Penanggalan kalender adalah masalah ijtihadiyah. Mereka yang membuatnya adalah manusia yang bisa salah dan bisa benar. Tidak selayaknya waktu-waktu shalat dan puasa tergantung pada hitungan kalender dari segi waktu mulai dan berakhirnya. Sebab, waktu-waktu ini berikut kapan berakhirnya terdapat dalam Al Qur`an dan Sunnah, sehingga sepatutnya yang dijadikan pegangan dalam hal ini adalah dalil-dalil syar’i.
Akan tetapi, jadwal pada kalender ini bermanfaat bagi para muadzin dan imam dalam menentukan waktu-waktu shalat, secara perkiraan. Adapun untuk masalah puasa dan berbuka, maka hitungan kalender ini tidak boleh dijadikan pegangan dari segi apa pun. Sebab, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaitkan hukum puasa ini dengan terbitnya fajar sampai waktu malam. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda, “Berpuasalah kalian karena melihatnya (bulan), dan berbukalah kalian karena melihatnya. Sekiranya awan menutupi kalian, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh.”
Syaikhul Islam Ahmad bin Abdil Halim Ibnu Taimiyah rahimahullah (w. 728 H) berkata, “Para ahli hisab yang cerdas sepakat, bahwa tampaknya bulan (hilal) itu tidak bisa ditentukan dengan ilmu hisab secara pasti dan akurat. Itulah makanya, mereka tidak mau berbicara dalam masalah ini, bahkan mereka mengingkarinya. Dan sesungguhnya ahli hisab yang berbicara masalah ini adalah generasi mutaakhirin saja. Yang demikian ini adalah kesesatan dari agama Allah dan pengubahan terhadap agama-Nya.”
Ibnu Taimiyah juga mengatakan, “Barangsiapa yang menentukan hilal yang dijadikan Allah sebagai petunjuk bagi manusia dan orang yang naik haji, dengan cara penulisan dan hisab; maka dia adalah orang yang rusak akal dan agamanya.”
Imam Al Allamah Muhammad bin Abdirrauf Al Munawi rahimahullah (w. 1031 H) berkata, “Dasar penentuan hari Ramadhan dengan menggenapkan adalah sandaran yang dipakai manakala bulan tidak bisa dilihat. Dengan demikian, bagi umat Islam, penggenapan jumlah dalam masalah puasa ini posisinya sama seperti tayamum dalam masalah bersuci. Umat Islam menggunakan penggenapan bulan (menjadi tiga puluh) pada saat bulan tidak bisa dilihat, sebagaimana mereka menggunakan debu ketika tidak mendapatkan air.”
Syaikh Athiyah Muhammad Shaqr rahimahullah berkata,
“Tema menyatukan permulaan puasa dan juga menyamakan hari raya di negeri-negeri muslim, adalah tema yang sering diperdebatkan oleh para ahli fiqih sejak dulu, sebagaimana dibicarakan oleh para ulama di Majma’ Al Buhuts Al-Islamiyah pada beberapa tahun terakhir. Pada dasarnya mereka sepakat, bahwa selamanya tidak ada pertentangan antara agama dan ilmu. Agama sendiri bahkan menyuruh umatnya menuntut ilmu.
Sekarang, kita sedang membahas hubungan antara puasa dan berbuka dengan melihat (rukyah) bulan. Sekiranya bulan tidak bisa dilihat dengan mata kepala, kita akan berpaling kepada ilmu. Petunjuk yang ada agar kita menyempurnakan Sya’ban menjadi tiga puluh hari, adalah sebuah arahan yang menghormati hisab dimana ia adalah salah satu fenomena ilmu. Orang-orang yang berusaha melihat bulan pun, mereka menggunakan teleskop dan beberapa peralatan lain, dimana ini semua juga merupakan bagian dari sarana keilmuan.
Tema yang sangat panjang pembahasannya baik dari segi agama maupun keilmuan ini, terdapat dalam kitab Bayan Linnas Min Al Azhar Asy Syarif. Saya cukupkan di sini bahwa Muktamar Majma’ Al Buhuts ketiga yang diadakan pada tahun 1966 M, menetapkan sebagai berikut:
- Pada dasarnya yang dipakai untuk mengetahui masuknya bulan qamariyah apa pun, adalah rukyah, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang mulia. Jadi, rukyah adalah yang pokok. Tetapi, ia tidak bisa dijadikan sandaran apabila terdapat faktor lain yang mempengaruhi akurasi rukyah ini.
- Penetapan rukyah harus bersifat mutawatir dan menyeluruh, meski bisa juga dengan berita dari satu orang (khabarul wahid) baik laki-laki maupun perempuan selama informasinya akurat dan tidak diragukan dikarenakan sebab tertentu. Di antara sebab yang meragukan, yaitu jika informasi rukyah dari perorangan ini menyalahi hisab falak yang sudah diakui kredibilitasnya yang dikeluarkan oleh lembaga yang kredibel.
- Informasi dari perorangan berlaku bagi orang tersebut dan orang yang percaya kepadanya. Adapun menyuruh semua orang untuk mengikuti, maka hal ini tidak bisa dilakukan kecuali setelah ada penetapan rukyah dari pihak yang ditunjuk oleh negara untuk menangani masalah ini.
- Hisab bisa dijadikan pegangan dalam penetapan masuknya bulan Ramadhan apabila tidak bisa dilakukan rukyah dan tidak memungkinkan untuk menggenapkan bulan (Sya’ban) sebelumnya menjadi tiga puluh hari.
- Muktamar memandang, bahwa perbedaan tempat munculnya bulan (ikhtilaful mathali’) tidak bisa dijadikan alasan, sekalipun wilayah-wilayah itu berjauhan letaknya, selama masih ada sebagian malam yang sama pada saat rukyah, meskipun sedikit. Perbedaan tempat munculnya bulan ini baru berlaku jika letak antar-negeri itu sangat jauh dan tidak ada bagian malam yang dilalui bersama.
- Muktamar menghimbau kepada masyarakat dan pemerintahan negara-negara Islam, agar hendaknya masing-masing memiliki lembaga keislaman yang diakui yang berwenang menetapkan bulan-bulan qamariyah dengan tetap menjalin hubungan antara satu dengan lainnya. Selain itu, lembaga ini juga mesti bekerja sama dengan para astronom dan ahli falak yang bisa dipercaya.
Berdasarkan sejumlah ketetapan inilah praktik yang berlaku di Mesir dalam masalah pengumuman permulaan dan akhir puasa, setelah berkoordinasi dengan negara-negara lain.”
Syaikh Ahmad Muhammad Abdul Al Haridi rahimahullah mengemukakan beberapa prinsip berkaitan dengan penetapan awal Ramadhan:
- Puasa Ramadhan wajib atas semua kaum muslimin di seluruh penjuru bumi ketika terpenuhi salah satu dari tiga hal: (a) Hilal Ramadhan telah terlihat. (b) Bulan Sya’ban telah genap tiga puluh hari. Dan (c), adanya penghalang yang membuat rukyah hilal menjadi mustahil.
- Madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Maliki, serta salah satu riwayat dari Ahmad, juga mayoritas ulama berpendapat bahwasanya wajib menggenapkan Sya’ban menjadi tiga puluh hari dalam dua kondisi: (a) Tidak mungkin melihat bulan dikarenakan ada suatu penghalang. (b) Jika hilal tidak terlihat padahal tidak ada kendala apa pun yang menghalangi rukyah, sementara ahli hisab telah memutuskan bahwa hilal bulan Ramadhan telah tampak tapi terbenam lagi sebelum terbenamnya matahari tanggal 29 Sya’ban.
- Sebagian ulama fiqih berpendapat bolehnya mengamalkan perkataan ahli hisab dalam masalah penetapan masuknya bulan Ramadhan jika mereka memutuskan bahwa hilal sudah tampak pada tanggal 29 Sya’ban dan tetap ada di atas ufuk sementara waktu setelah terbitnya matahari di hari itu, dimana hilal ini bisa dilihat jika tidak ada penghalang. Inilah yang selama ini dipraktikkan.
Pembahasan mengenai Alasan Pemilihan Metode Hisab dalam Penentuan Awal Bulan Hijriah.