Hari libur, agak santai. Pagi setelah bangun tidur dan sholat subuh, Anin (7 tahun), bidadariku nomor dua, tiba-tiba bertanya pada ayahnya, “Yah… sebenernya, dulu itu, yang ngejar-ngejar duluan siapa sih? Ayah atau ibu?”
Ayahnya tersentak, tapi masih sempat menghindar, “Ngejar-ngejar? Emangnya ada maling?”
Anin mencoba menjelaskan,”Iiih, bukan gitu. Maksud Anin, yang paling seneng duluan siapa? Ayah atau Ibu?”
Ayah speechless, segera ngeloyor berlalu dari hadapan Anin tanpa sepatah kata pun. Mungkin merasa jadi tertuduh.
Sorenya, aku iseng menelisik pada Anin, “Kak, tadi pagi tanya apa sama Ayah, tentang kejar-kejaran itu?”
Wajah Anin tampak bersemangat lagi, “Oh iya! siapa Bu yang ngejar duluan?”
“Ngejar apa? Ngejar ayam?” jawabku asal.
Anin merengut, “Ah ibu.. yang seneng duluan, siapa sih? Ibu, atau Ayah?”
Hurin (10 tahun), bidadari sulungku yang berada di dekat kami ikut menimpali, “Iya nih.. Siapa sih sebenernya yang seneng duluan?”
Aku tertawa-tawa, dan menyahut agak keras (ditujukan untuk si Ayah yang sedang asyik di kamar dengan komputernya), “Yaaah, ini lho pada nanya lagi. Hahaha”
Tak ada jawaban dari kamar. Kutebak, paling si Ayah mesam-mesem saja di kamar sambil membatin, “Rasakan, giliran kamu sekarang!”
Sambil membuat teh manis di dapur, aku menjawab, “Nggak ada yang seneng duluan, ya langsung nikah aja”
Hurin tampak sangat tidak puas dengan jawabanku, dan segera mengejar, “Ah… masak nggak pakai seneng duluan? Masak tiba-tiba langsung janjian: Yuk kita nikah Aneh..”
Aku langsung berpikir, ini golden time untuk menjelaskan tentang adab pergaulan Islami pada anak-anak, meski hanya sedikit. Kujelaskan lagi, “Ayah sama Ibu nikahnya itu dijodohin, nggak pakai yang kayak gitu-gitu. Enak Kak, kalau nikahnya dijodohin, yang ngejodohin kan bertanggung jawab, nggak ditutup-tutupi dan gak salah pilih, insya Allah.”
Hurin mulai nge-link, “Ooo, gitu. Yang ngejodohin siapa? Orang tua ya? Embah?”
Kujelaskan lagi, “Iya, orang tua memang yang paling berhak. Tapi, orang lain yang dipercaya, juga bisa. Guru ngaji, misalnya”.
Hurin tampak makin excited, “Kalo gitu, nanti aku kalau udah saatnya mau nikah, dijodohin aja ya, sama Ayah Ibu”
“Aha! Kena kau sekarang!” sorakku, tapi cuma dalam hati tentu.
Segera aku menyahut, “Iya lah insya Allah. Itu salah satu tugas orang tua, Kak,” jawabku sambil tersenyum.
Aku menjawab sambil bangkit menemui ayahnya di kamar. Tampak si ayah senyam-senyum. Pasti dari tadi tuh, senyam-senyum begitu, mendengar dialog kami.
Anin yang sedari tadi menjadi pengamat, tiba-tiba menuju kamar dan nimbrung, “Aku juga ya. Entar aku dijodohin Ayah Ibu juga yaa? Tapi jangan sama anak yang nakal dan suka berantem. Maunya sama anak yang cakep dan baik”.
Kontan aku dan ayahnya tertawa. Ini minta dijodohin apa minta dicarikan teman main sih?
Namanya logika anak, kadang suka kelihatan dewasa sebelum waktunya, kadang kelihatan polosnya.
Memang, agak sulit pada awalnya membayangkan harus menjelaskan suatu konsep yang agak berbeda dari orang kebanyakan. Bahwa kami punya ‘cara’ sendiri dalam memaknai rasa dan menyambut urusan menggenapkan separuh dien. Tapi, seiring berjalannya waktu, momen-momen seperti itu akan datang tanpa diduga. Biasanya saat kita berdialog santai dengan anak-anak, justru nila-nilai semacam ini bisa kita tanamkan dengan mudah. Berbeda halnya kalau kita berniat menjelaskan, mungkin malah ada resistensi, meskipun sedikit.
Jadi, memang sebagai orang tua, kita harus pandai-pandai memanfaatkan pertanyaan dan dialog anak sebagai sarana penanaman nilai-nilai moral yang baik. Senyampang mereka masih mudah dibentuk, mudah untuk diarahkan. Istilahnya, menempa besi selagi panas. Jika dia sudah terlanjur tumbuh besar dengan nilai-nilai yang dia yakini (dan belum tentu benar), akan lebih sulit kita mengubahnya, meski tetap bisa juga berubah. Ya buktinya, saya sendiri dan suami. Menemukan nilai Islam (sebagai hal-hal yang harus dipelajari dan diyakini, tak sekedar Islam turunan) kan setelah besar. Islam nemu gede istilah saya. Alhamdulillah, untungnya masih mampu mengejar. ,
Tetapi, belajar dari lingkungan jaman saya atau sesudahnya, kan tidak semua orang (anak kampus atau anak sekolah) yang lalu mendapat hidayah untuk mau mempelajari Islam dengan lebih intensif. Persentase yang begini sangat kecil dibanding jumlah anak kampus/sekolah secara keseluruhan. Jadi, kalau menurut teori kemungkinan permutasi, bisa jadi anak-anak kita tetap tidak mendapatkan hidayah pada masa itu. Tentu hal seperti ini sangat tidak kita inginkan.
Apalagi, bagi kita, orang tua yang merasa awal hijrahnya ‘terlanjur gede’, masak iya hal yang sama mau diterapkan juga ke anak-anaknya? Tentu kita ingin anak-anak itu sudah tercetak, suci, memiliki nilai beda (furqan) dengan anak-anak sejamannya sejak dini. Dan itu, tugas kita sebagai orang tua. Bismillah…