Perjuangan Ibu dari Putra Penderita Thalasemia

Maudi Yunistia namaku. Seorang perempuan muda seperti kebanyakan perempuan Indonesia lainnya, menghabiskan masa mudaku dengan mengejar berbagai impian dan cita-cita indah di dalam anganku. Keputusan besar pun kubuat saat aku memilih untuk dinikahi oleh seorang lelaki yang kini menjadi suamiku. Aku memilih untuk mengambl risiko atas sekian banyak konsekuensi atas pernikahan pasangan muda. Namun, kebulatan tekad dan bekal tawakal kepada Allah menjadikanku kuat menjalani masa-masa pernikahan mudaku.

Setelah sekian waktu berjalan, aku melahirkan seorang anak laki-laki pada tanggal 20 Agustus 2008 di Kota Kembang Bandung.  Meski bersimbah darah dan rasa sakit, tapi aku  bahagia, bahkan teramat bahagia. Suamiku menamainya Varrelleo Dyvlo Pratama. Varel adalah nama panggilan untuk anak semata wayangku ini. Putra yang menjadi pelipur mata bagi ku dan suamiku.

Hari demi hari yang kami lalui benar-benar membuat kami bahagia. Memperoleh amanah dari Allah berupa seorang putra. Meski kondisi ekonomi mereka pas-pasan, tapi rasa syukur atas kehadiran seorang putra merupakan penawar bagi himpitan hidup yang lain. Suamiku tidak berpenghasilan tetap, pekerjaannya serabutan. Penghasilan itu dicukup-cukupkan untuk kebutuhan keluarga kami. Dan karena tidak mencukupi, seringkali ada keluarga dan dermawan yang menyumbang untuk keluarga kami.

Atas takdir Allah, pada bulan Februari 2009, saat Varel berusia 6 bulan, tiba-tiba kulit tubuhnya berubah warna menjadi kuning. Varel yang masih bayi pun juga mengalami batuk-batuk yang tidak sembuh-sembuh. Kami pun khawatir dengan kondisi putra semata wayang kami ini.

Varel dibawa ke dokter. Setelah didiagnosis awal, dokter merekomendasikan agar Varel di-rontgen dan dilakukan cek darah. Maka, kami pun menuruti saran dokter. Betapa terkejutnya kami saat mengetahui bahwa kadar Hemoglobin Varel hanya 4,5. Saat itu juga, Varel yang masih bayi harus opname di rumah sakit.

Dokter mengatakan bahwa kemungkinan Varel menderita Leukimia atau mungkin juga Thalasemia.

Setelah dilakukan pemeriksaan darah yang kedua, dokter memastikan bahwa Varel menderita Thalasemia. Untuk Varel, kasus yang dideritanya adalah Thalasemia Mayor.

Thalasemia Mayor

Orang sering menyebut thalasemia mayor sebagai thalasemia saja. Ini adalah suatu kelainan darah akibat tidak cukupnya hemoglobin sehingga penderitanya harus mendapat transfusi darah dan perawatan medis secara teratur. Hemoglobin amat dibutuhkan karena berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh.

Dunia kedokteran membedakan thalasemia menjadi thalasemia mayor dengan trait. Mayor berarti menunjukkan gejala penyakit, yang biasanya sudah muncul sejak usia awal anak-anak. Sedang thalasemia trait-sering juga disebut minor-digunakan untuk orang-orang sehat, namun dapat meneruskan thalasemia mayor pada anak-anaknya.

Dalam buku “Thalassaemia, Apakah Itu? Mengapa Terjadi? Bagaimana Mencegahnya?” yang diterbitkan oleh Yayasan Thalassaemia Indonesia, disebutkan bahwa setiap tahun setidaknya 100.000 anak lahir di dunia dengan thalasemia mayor.

Di Indonesia sendiri, tidak kurang dari 1.000 anak kecil menderita penyakit ini. Sedang mereka yang tergolong thalasemia trait jumlahnya mencapai sekitar 200.000 orang. Thalasemia, meski terdapat di banyak negara, memang secara khusus terdapat pada orang-orang yang berasal dari kawasan Laut Tengah, Timur Tengah, atau Asia. Jarang sekali ditemukan pada orang-orang dari Eropa Utara.

Saat ini pengobatan thalasemia mayor di Indonesia masih berupa transfusi darah, biasanya sekali dalam empat minggu. Anak-anak yang menjalani transfusi biasanya tumbuh normal dan hidup bahagia hingga usia dua puluhan tahun.

Namun, untuk hidup lama mereka perlu suntikan desferal hampir setiap hari. Soalnya, transfusi darah membuat zat besi menumpuk di dalam tubuh, dan desferal berfungsi membantu mengeluarkan zat besi dari tubuh melalui air seni. Dengan cara ini penderita thalasemia mayor bisa hidup normal dan sehat, bisa bekerja, menikah, dan mempunyai anak-anak.

Di negara maju, pengobatan terbaru adalah dengan cangkok sumsum tulang. Jaringan sumsum penderita diganti dengan sumsum tulang donor yang cocok-biasanya dari orangtua atau saudara-sehingga mampu memproduksi sendiri sel-sel darah merah yang cukup mengandung hemoglobin. Cuma, biayanya memang masih amat mahal.

Mereka yang tergolong thalasemia trait bisa melakukan berbagai pencegahan agar anak-anaknya tidak menjadi sakit. Salah satunya adalah menikah dengan pasangan yang berdarah normal. Anak-anak yang dilahirkan pasangan ini tidak akan terkena thalasemia mayor, meski dapat terkena thalasemia trait.

Pada suami-istri yang tergolong thalasemia trait, untuk mencegah kemungkinan melahirkan anak penderita thalasemia mayor bisa dilakukan dengan perencanaan kelahiran yang teliti. Hal ini bisa dilakukan dengan bantuan dokter serta seorang ahli genetika.

Harus Transfusi Darah

Hampir semua penyakit genetik/keturunan sampai sekarang belum ada obatnya. Obatnya adalah transfusi darah. Ironinya, pasien thalasemia justru meninggal karena transfusi, seperti kelebihan zat besi dan penyakit yang didapat dari donor (hepatitis B, hepatitis C, dan HIV).

Dampak lain transfusi adalah penimbunan zat besi. Akumulasi zat besi merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari transfusi darah dan dapat mengancam nyawa, dapat menyebabkan kerusakan hati, jantung, dan kelenjar hormon.

Tubuh tidak memiliki mekanisme alami untuk membuang kelebihan zat besi sehingga proses pengikatan zat besi digunakan sebagai pengobatan yang efektif untuk kelebihan zat besi. Pada proses pengikatan zat besi, obat mengikat zat besi yang terdapat pada tubuh dan jaringan serta dapat membantu membuangnya melalui urine atau kotoran. Sejak tahun 1985 telah digunakan desferal (deferoxamine), yang diberikan melalui infus dengan pompa yang harganya 350 dollar AS per pompa.

Pemakaian pompa suntik ini menyakitkan bagi anak-anak. Bagian tubuh yang diinfus menjadi nyeri dan bengkak sehingga mengurangi tingkat kepatuhan berobat. Ini jelas membahayakan mereka jika tidak rutin melakukan kelasi/mengeluarkan timbunan zat besi.

Novartis, produsen desferal pun mengembangkan riset dan menemukan pengobatan oral untuk mengikat zat besi dalam tubuh dengan diminum sekali sehari, yakni deferasirox (nama generik), yang 20 Mei lalu diluncurkan di Bangkok, Thailand, untuk kawasan Asia Pasifik. Di Indonesia, produk ini akan diluncurkan awal Juni 2006.

Dengan obat baru ini, biaya perawatan pasien thalasemia bisa lebih ditekan karena tidak perlu lagi menggunakan pompa infus yang mahal harganya. Namun, tetap harus diwaspadai efek sampingnya, seperti mual. Demikian dikutip darit blog Ebookfkunsyiah, mengenai Thalasemia.

Varel sendiri, sejak divonis menderita Thalasemia Mayor, harus menjalani transfusi darah. Pada awalnya dilakukan sebulan sekali. Namun, karena kami kesulitan dalam memperoleh dana, akhirnya Varel pun sering telat melakukan transfusi darah. Akibatnya Varel sering drop, perutnya membengkak karena pembengkakan limpa, nafasnya sesak karena tulang hidungnya mengecil, dan kulitnya pun semakin lama menghitam karena terjadi penumpukan zat besi akibat transfusi jangka panjang.

Dokter menyarankan agar kami membeli alat desferal agar bisa memompa keluar zat besi yang menumpuk di dalam tubuh Varel. Harganya hampir 4 juta Rupiah. Suatu jumlah yang terasa sangat berat bagi kami.

Sampai kini, hampir 3 tahun Varel kecil kami menjalani kehidupannya bersama transfusi darah. “Sudah tak terhitung lagi banyaknya jarum yg menusuk tubuh mungilnya..” Dokter pun sempat menyarankan agar limpa Varel dibuang dari tubuhnya.

Kini, Varel harus lebih sering ke rumah sakit untuk transfusi darah sepekan sekali. Dan meskipun berat, aku tetap melakukannya demi kehidupan putra tercinta kami. Sementara itu, untuk menutupi berbagai biaya atas pengeluaran Varel,  kadangkala kami ditolong oleh para dermawan yang terketuk hati atas derita Varel.

Saat kasus Prita Mulyasari mencuat dan masyarakat berbondong-bondong mengumpulkan koin untuk Prita, Aku pun terinspirasi dan membuat sebuah fanspage di Facebook: Koin untuk Varel.

Segala gundah yang kualami  seringkali terobati saat mendapati Varel begitu tegar menjalani hari-harinya. Sepertinya Varel kecil tidak menyadari betapa sedih dan khawatirnya ibundanya ini atas penyakit tak tersembuhkan yang dialami dirinya itu. Bahkan ia malah sudah berkeinginan membahagiakanku.

Suatu hari, Varel berkata padaku, “Ibu…., Ibu diam aja di rumah. Tunggu Varel ya. Varel mau jalan-jalan sendirian. Varel mau beli makanan untuk Ibu…Tunggu ya…”

 

Maudi Yunistia

Komplek Bumi Panyileukan, Blok Q6, No. 21

Bandung 40614

(022 9217 1569)