Banyak orang yang mensifati persinggahan ini dan menyebutkan bilangannya. Di antara mereka ada yang menyebutnya seribu, ada pula yang menyebutnya seratus, ada yang kurang dan ada yang lebih. Masing-masing orang mensifatinya menurut perjalanan yang dilakukannya.
Berikut ini akan saya sebutkan secara ringkas namun tuntas masing-masing di antara persinggahan ini.
Yang pertama adalah al yaqzhah, artinya kegalauan hati setelah terjaga dari tidur yang lelap. Hal ini sangat penting dan membantu pembenahan perilaku. Siapa yang merasakannya, berarti dia telah merasakan satu keberuntungan. Jika tidak, berarti dia tetap dicengkeram kelalaian.
Jika sudah tersadar, dia diberi bekal hasrat untuk memulai perjalanannya dan menuju persinggahannya yang pertama dan ke tempat dimana dia ditawan.
Jika perjalanan sudah dimulai, maka hati beralih ke persinggahan al azm, yaitu tekad yang bulat untuk melakukan perjalanan, siap menghadapi segala rintangan dan mencari penuntun yang dapat menghantarkan ke tujuan. Seberapa jauh seseorang memiliki kesadaran, maka sejauh itu pula tekadnya, dan seberapa jauh tekad yang dimilikinya, maka sejauh itu pula persiapan yang dilakukannya.
Jika sudah terjaga, maka dia memiliki al fikrah, yaitu pandangan hati yang hanya tertuju ke sesuatu yang hendak dicari, sekalipun dia belum memiliki gambaran jalan yang menghantarkannya ke sana. Jika fikrah-nya sudah benar, tentu dia memiliki al bashirah, yaitu cahaya di dalam hati untuk melihat janji dan ancaman, surga dan neraka, apa yang telah dijanjikan Allah terhadap para wali dan musuh-Nya. Dengan semua ini seakan-akan dia bisa melihat apa yang terjadi pada hari akhirat, semua orang dibangkitkan dari kuburnya, para malaikat didatangkan, para nabi, syuhada dan shalihin dihadirkan, jembatan dibentangkan, musuh-musuh dikumpulkan, api neraka dikobarkan. Di dalam hatinya seakan ada mata yang dapat melihat berbagai kejadian akhirat, dan dia juga melihat bagaimana keduniaan ini yang begitu cepat berlalu.
Al Bashirah merupakan cahaya yang disusupkan Allah ke dalam hati, sehingga seseorang bisa melihat hakikat pengabaran para rasul, seakanakan dia bisa melihatnya dengan mata kepala sendiri. Dengan begitu dia bisa mengambil manfaat dari seruan para rasul dan melihat adanya bahaya yang mengancamnya jika dia bertentangan dengan mereka.
Al Bashirah itu didasarkan pada tiga derajat, siapa yang dapat menyempurnakan tiga derajat ini, berarti dia dapat menyempurnakan bashirah– nya, yaitu: Pertama, bashirah tentang asma’ dan sifat. Kedua, bashirah tentang perintah dan larangan. Ketiga, bashirah tentang janji dan ancaman.
Bashirah tentang asma’ dan sifat-sifat Allah, artinya imanmu tidak dipengaruhi syubhat yang bertentangan dengan sifat-sifat yang diberikan Allah kepada Diri-Nya sendiri dan juga yang disifati Rasul-Nya. Sebab syubhat dalam hal ini sama dengan keragu-raguan tentang wujud Allah.
Tingkatan bashirah yang dimiliki masing-masing manusia berbeda-beda, tergantung dari tingkat pengetahuan mereka tentang pengabaran Nabawi dan pemahamannya serta ilmu tentang syubhat yang bertentangan dengan hakikat-hakikatnya. Orang yang paling lemah bashirah-nya adalah para teolog batil yang biasanya suka mencela orang-orang salaf, karena mereka tidak mengetahui nash dan tidak memahaminya. Syubhat mengendap di dalam hati mereka. Orang-orang awam yang bukan termasuk orang-orang Mukmin yang sesungguhnya, justru lebih sempurna daripada para teolog itu, lebih kuat imannya, lebih mempercayai wahyu dan lebih tunduk kepada kebenaran.
Bashirah tentang perintah dan larangan artinya membebaskan hati dari penentangan karena melakukan ta’wil, taqlid atau mengikuti hawa nafsu, sehingga di dalam hatinya tidak ada syubhat yang bertentangan dengan ilmu tentang perintah dan larangan Allah, tidak pula dikuasai nafsu yang menghalanginya untuk melaksanakan perintah dan larangan itu, tidak pula mengikuti taqlid yang membuatnya merasa tidak perlu berusaha menggali hukum dari nash.
Bashirah tentang janji dan ancaman artinya engkau mempersaksi-kan penanganan Allah terhadap apa pun yang dilakukan setiap manusia, yang baik maupun yang buruk, di dunia maupun di akhirat. Ini merupakan konsekuensi Ilahiyah dan Rububiyah-Nya, keadilan dan hikmah-Nya.
Keraguan tentang hal ini sama dengan keraguan tentang Uluhiyah dan rububiyah-Nya, bahkan keraguan tentang wujud-Nya.
Orang yang berada di persinggahan bashirah mempunyai alternatif jalan lain, yaitu bashirah yang membebaskannya dari kebingungan. Jika seseorang sudah sadar dan memiliki bashirah, maka dia akan mengambil maksud dan kehendak yang tulus, menghimpun maksud dan niat untuk melakukan perjalanan kepada Allah. Setelah tahu dan yakin tentang hal ini, maka dia mulai melakukan perjalanan, membawa bekal menuju hari datangnya pembalasan, membebaskan diri dari rintangan yang menghambat perjalanannya. Maksud bisa dibagi menjadi tiga tingkatan:
Pertama, maksud yang membangkitkan keteguhan dan membebaskan diri dari keragu-raguan.
Kedua, maksud yang karenanya semua rintangan akan disingkirkan dan semua penghalang akan dihadapi.
Ketiga, maksud yang mendorongnya mencari pengetahuan dan mau mendengarkan nasihat dari orang yang lebih bijaksana.
Jika maksud sudah kuat, maka ia berubah menjadi tekad yang bulat, lalu mengharuskannya memulai perjalanan sambil disertai tawakal kepada Allah. Firman-Nya, “Kemudian apabila kamu sudah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.” (Ali Imran: 159).
Al Azm artinya maksud yang bulat dan yang mendorong munculnya aksi. Karena itu ada yang menganggap tekad yang bulat ini merupakan permulaan aksi untuk mencari maksud dan tujuan. Pada hakikatnya tekad ini merupakan kekuatan kehendak yang sudah berhimpun untuk mengadakan aksi.
Tekad ini ada dua macam:
Pertama, tekad orang yang hendak mengayunkan langkah melakukan perjalanan atau bisa juga disebut permulaan perjalanan.
Kedua, tekad saat berada di dalam perjalanan. Hal ini sifatnya lebih khusus lagi.
Pada etape ini seseorang perlu membedakan antara apa yang menjadi haknya dan kewajibannya, agar dia tahu apa yang memang menjadi bagiannya dan apa yang menjadi kewajibannya, yaitu muhasabah sebelum taubat. Tetapi pengarang Manazilus-Sa’irin menempatkan taubat sebelum muhasabah.
Yang perlu diketahui bahwa persinggahan ini jangan disamakan dengan persinggahan menurut kenyataan, dimana seseorang berada di satu tempat itu lalu meninggalkannya begitu saja untuk berpindah ke tempat berikutnya. Tentunya engkau juga tahu bahwa al yaqzhah (kesadaran) harus selalu menyertai dan tidak bisa ditinggalkan, di mana pun tempatnya, begitu pula al bashirah, al iradah, al azm, maupun at taubah.
Seperti wajarnya taubat yang ada di akhir, maka ia juga harus ada di permulaannya dan bahkan ia harus ada di mana-mana. Memang Allah menjadikan taubat ini sebagai bagian akhir dari keadaan hamba-hamba-Nya yang khusus, seperti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabat beliau dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Allah befirman berkaitan dengan perang Tabuk, peperangan terakhir yang mereka lakukan, dan sekaligus merupakan perjalanan yang paling berat bagi mereka, “SesungguhnyaAllah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu.” (At-Taubah: 117).