Merupakan salah satu al-Birr (amalan baik), seorang suami mengantarkan istrinya ke sana ke sini untuk keperluan dirinya, atau rumah tangga. Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Sebaik-baik kalian adalah sebaik-baik kalian terhadap keluarganya. Dan aku adalah sebaik-baiknya kalian terhadap keluargaku.” [H.R. at-Tirmidzy, Ibnu Majah dan lainnya]
Di antara kebaikan yang saya ingin mampu selalu melakukannya adalah setiap pekan sekali mentraktir istri makan di luar. Mungkin belum bisa dikatakan wisata kuliner, karena mall-nya ya paling itu itu saja. Juga mengajak belanja keperluan di Hypermarket dan semacamnya. Perempuan seringkeleus berubah wujud kalau sudah sampai pasar, baik tradisional maupun modern. Saya membaca itu sejak kecil; berfikir kenapa pasar penuh emak-emak. Pas dagang makanan di pasar pun, saya suka memperhatikan emak-emak. Tatapan mereka terhadap produk-produk itu tak jauh beda dengan tatapan saya terhadap kitab-kitab di toko kitab.
Dan biasanya, istri setelah belanja, rasa sayangnya lebih tinggi. Senangnya kian kian. Jadinya lebih harmonis kehidupan jiwa dan raga. Nilai psiko dan sosial lebih sharpened. Istri saya -alhamdulillah- sangat mengerti bahwa weekend saya justru disibukkan dengan kajian-kajian -dengan izin Allah-, sehingga sulit sekeleus bagi kita bertamasya di weekend. Maka, kita pun kadang berencana keluar malam Jum’at instead. Anti mainstream, kata teman. Tapi, urusan sayang itu mau mainstream atau nggak, yang penting happening. Percuma ikutan mainstream tapi sayangnya tidak memuncak. Iya, toh?
Di antara kebaikan yang saya ingin mampu selalu melakukannya adalah di perjalanan manapun kemanapun, tangan saya harus sering menggenggam tangan istri. Selain demi proteksi, perasaan itu sering hadir karena sentuhan. Bahkan, perasaan itu memang ada karena sentuhan. Tradisi kita adalah greetings dan jabat tangan. Why? Karena bersentuhan itu berefek untuk approaching. Saat shalat berjamaah, kita disyariatkan bersentuhan. Why? Karena jika tidak bersentuhan dan setara, berarti jantung-jantung kita saling berbeda.
Di antara kebaikan yang saya ingin mampu selalu melakukannya adalah ketika berjalan kaki bersama istri di jalanan manapun, saya harus berada di sisi yang terdekat dengan lalu lalangnya mobil dan motor, sementara istri saya harus berada di sisi terpinggir atau trotoar atau terdekatnya jika tidak bisa. Saya belajar sejak dahulu sekeleus: saya memperhatikan banyak emak-emak bahkan mayoritas yang menuntut anak kecil belanja di pasar atau di manapun, mereka terbiasa memosisikan diri mereka terdekat dengan pinggir jalan, sementara anak mereka justru terdekat dengan lalu lalang motor. Dari sana saya belajar: ternyata perasaan ‘melindungi’ mereka (emak-emak itu) kian terkikis karena syahwat mau beli ini itu. Mereka lebih cinta barang daripada anak. Syukur tidak pernah kejadian anak ditabrak.
Anda wahai ibu-ibu atau ummahat, mungkin tidak ‘ngeh’ dengan gambaran terakhir di atas; bahkan ‘can happen’ (bisa jadi) Anda pelakunya. Maka ayolah isuk-isuk jangan berlaku seperti itu lagi. Jaga anak-anak Anda, kecuali kalau mereka sudah besar, maka bolehlah dibalik, anak Anda yang menjaga Anda.
Menuju kasus lain:
Kita dapatkan beberapa kasus seputar suami berpoligami, namun tanpa izin istri. Maka para akhawat pun protes dan benci dengan suami seperti itu. Tapi sebentar, coba tahan gejolak esmosi kalian, wahai akhawat. Kenapa? Karena:
Pertama, bukan suami kalian kok yang melakukan itu.
Kedua, dan rupanya kalian sendiri belum punya suami.
Ketiga, suami yang melakukan itu mungkin sudah menimbangnya karena:
Keempat, normalnya istri takkan mengizinkan suaminya menambah teman tidur.
Dan kelima, society sekarang masih ada aroma jahiliyyahnya. Poligami bagi mereka adalah kelicikan, tapi bapak-bapak yang membiarkan bahkan menyuruh anaknya mendekati zina malah diwajarkan. Jahiliyyah tingkat kecamatan, eh…bukan, tingkat nasional. Nah, barangkeleus suami ini menghindari kecaman dan serangan society kalau pada tahu dia berpoligami. Makanya, tidak mengabarkan.
Namun, meskipun begitu, pada asalnya, memberitahukan what will happen sebelum keterhappeningan adalah kebaikan. Sakit di awal lebih baik daripada sakit di akhir. Tapi sakit di awal sampai akhir tidak lebih baik dari apapun jua.
Jadi kudu bagaimana?
Jika suami baru kebongkar berpoligami setelah terjadi, maka yang terjadi terjadilah. Benar, memang sakit. Namun selama suami tidak menzhalimi hak wajib Anda sebagai istri, maka serahkan segalanya pada Allah.
Jika suami sudah jujur sedari awal mau memadu, maka silakan: bersakit-sakit dahulu bermadu kemudian. Ingat. Anda akan jauh lebih sakit tak bisa memaafkan bahkan jika suami Anda karena dicegah nambah, malah berselingkuh dan berzinah. Hisabnya kelak di hari Kiamat bisa berbalik juga pada istri. Ini penting diperhatikan.
Dan pula, bukan merupakan syarat dalam poligami: ridha istri sebelumnya. Bahkan jika istri sebelumnya tidak ridha sampai mati, poligami tetap sah dalam syariat Islam.
Kembali ke ‘kebaikan’….
Bahwa “ash-shulh” atau “al-ishlah” itu kebaikan (khayr). Ingat bahwa kamu adalah selimutnya dia, dan dia pun selimutnya kamu. Ingat bahwa sebenarnya kalian hanya kangen tertawa dan berpelukan bersama; cuma memang tensi dan konteksnya berbeda.
Ketika matahari masih bersinar di hari-hari, kenapa menyimpan bunganya di dalam rumah?
Ingatlah bahwa:
“There’s always right now” (Sekarang selalu ada)
True…kalau sekarang tidak ada, maka lalu kamu namakan apa ‘sekarang’ ini?
Do it right now!