“Maunya anak jangan diturutin terus ntar malih sak karepe dewe kudu manut ambe aturane wong tuwo (berubah jadi semaunya sendiri, padahal harus nurut sama aturan orangtua)” nasihat seperti itu pasti sudah pernah kita dengar entah dari kakek nenek atau orang-orang tua.
Memang budaya patriarki sudah mengakar sejak lama dan sudah menjadi ciri bangsa kita yang selalu mengagungkan orang tua sedangkan anak posisinya harus tunduk dan patuh dengan segala aturan dan keputusan. Pola asuh yang otoriter dengan model aturan top down seperti ini biasanya lebih menuntut konsekuensi negatif (punishment) daripada mengeluarkan konsekuensi positif (reward).
Era globalisasi membuat arus informasi menjadi mudah diakses, membuat anak menjadi lebih kritis, anak-anak apalagi remaja dapat menemukan berbagai macam hal baru diluar sana tanpa sepengetahuan kita sebagai orang tuanya. Tentu kita merasa frustasi saat anak lebih banyak membangkang daripada mengikuti perintah kita. Aturan lama yang bersifat kaku tentu tidak sesuai lagi jika diterapkan pada masa yang bergerak cepat seperti saat ini.
Bagaimanapun dalam hidup aturan memang diperlukan, tak terkecuali bagi anak, namun peraturan itu bersifat ada dan mengikat dan bukannya mengekang apalagi membatasi ruang gerak dan berpikir anak.
Menurut ahli psikologi ada cara yang ampuh adalah menerapkan pola asuh demokratis, seperti prinsip negara demokratis dimana suara rakyat harus didengar begitu pula dengan suara anak dalam keluarga juga patut diperhitungkan, demikian pula halnya dengan penerapan aturan dalam keluarga, anak juga perlu dilibatkan saat membuat aturan dan penerapan aturan tersebut.
Anak-anak di usia sekolah sangat anti didikte sehingga saat membuat aturan bersama ia tidak merasa digurui selain itu ia tidak hanya mengetahui manfaat dari aturan yang dibuat tetapi juga konsekuensi saat aturan tersebut dilanggar. Saat ia melanggar kesepakatan, kita cukup mengingatkan konsekuensinya atau mengingatkan saat ia ingin membuat aturan baru ia harus membaca lagi aturan yang telah dibuat. Nah, jika seperti ini kita sebagai orang tua tidak perlu lagi adu urat leher hanya agar anak menjadi disiplin dan teratur.
Langkah-langkah membuat aturan bersama yang pertama adalah dengan menghargai cara pandang anak terlebih dahulu, kuncinya kita sebagai orang tua harus mau “turun”, sehingga kita tahu apa apa yang anak lihat, rasakan dan ia inginkan. Kemudian berikan kesempatan pada anak untuk mengungkapkan pendapatnya.
Tetapkan konsekuensi positif dan negatif, bila melanggar mendapat hukuman (punishment) dan jika menaati akan mendapatkan reward. Di sini anak juga perlu dilibatkan memberikan masukan jenis hukuman dan reward yang akan diberikan. Laksanakan dengan tepat dan tegas. Maksudnya, jangan ditunda jika hari itu anak mendapat hukuman maka laksanakan hari itu. Dan yang terakhir adalah laksanakan peraturan tersebut dengan tepat dan tegas, jika aturan tersebut juga berlaku bagi orang tua maka orang tua juga akan mendapat sanksi yang serupa.
Manfaat pembuatan aturan bersama diantaranya;
- Anak akan mengetahui alasan dibuatnya peraturan.
- Anak juga belajar tatakrama bersama-sama dengan menjalankan aturan tersebut.
- Anak mengetahui konsekuensi positif maupun negative dari aturan yang dibuat.
- Orang tua dan anak konsisten menjalankan secara bersama-sama aturan yang dibuat.
- Menciptakan keharmonisan antara orang tua dan anak.
Namun orang tua harus konsisten dengan pelaksanaan aturan tersebut juga konsisten terhadap aturan baik positif maupun negative, tanpa hal tersebut mustahil aturan yang dicanangkan akan berjalan efisien dan efektif.