Polemik Pernikahan Siri dan Perlindungan Hukum Bagi Perempuan

Akhir-akhir ini pemberitaan mengenai Bupati Garut menjadi headline dalam beberapa media massa, bukan karena prestasinya dalam membangun Kabupaten Garut tetapi karena skandalnya menikahi seorang gadis Fani Oktora 18 tahun secara siri dan akhirnya diceraikan melalui sms setelah 4 hari dinikahi. Bertapa terlukannya sang gadis setelah diberikan janji manis tentang indahnya pernikahan akhirnya di ceraikan begitu saja. Tanpa ia bisa mendapatkan hak-haknya sebagai seorang istri.

Fenomena nikah siri di Indonesia bagaikan fenomena gunung es. Mungkin korban ketidakadilan pernikahan siri ini bukan hanya dialami oleh Fani seorang, tetapi banyak perempuan di Indonesia yang merasakan ketidakadilan akibat penelantaran, pembiaran, perceraian dan diskriminasi dalam rumah tangga akibat dari pernikahan siri.

Dalam Islam pernikahan disebut rahasia (siri) pada zaman Nabi Saw dan Sahabat dilakukan dengan tidak memenuhi syarat dan rukun nikah menurut hukum Islam. Tetapi dalam perkembangan dalam masyarakat Indonesia pernikahan siri mempunyai 3 pengertian.

Pertama, pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap sah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat.

Kedua, pernikahan yang sah secara agama (memenuhi ketentuan syarat dan rukun nikah/kawin) namun tidak dicatatkan pada kantor pegawai pencatat nikah (KUA bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi yang Non-Islam).

Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu;

Di Indonesia mengenai perkawinan diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Pasal 2 ayat (1) UUP menyebutkan bahwa:

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

Dalam Pasal 2 ayat (2) UUP menyebutkan adanya kewajiban untuk tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Artinya pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan harus pula dicatat ke kantor urusan pencatatan pernikahan, KUA (bagi Umat Islam) dan Catatan Sipil (bagi Non-Islam) agar pernikahnnya mendapatkan bukti otentik dan keabsahannya diakui oleh Negara. Sehingga mendapatkan payung hukum dari negara.

Sebagian masyarakat masih belum memandang pentingnya pencatatan pernikahan secara kelembagaan. Akibatnya hak dan kewajiban suami-istri tidak terlindung secara hukum. Misalnya masalah kewajiban memberikan nafkah suami kepada istri, pengakuan anak secara legal ketika mengurusi kependudukan dan lain-lain. Perempuan dalam hal ini istri siri menjadi subjek hukum yang tidak memiliki kepastian hukum, akibat dari pernikahan siri tersebut. Banyak kasus perceraian secara semena-mena yang dilakukan suami, tanpa istri siri mendapatkan hak atas harta bersama, penelantaran dan pembiaran terhadap istri siri dan anaknya karena suami pergi tanpa kabar yang jelas, bahkan kekerasan bisa dialami oleh istri siri tersebut. Ataupun di dalam urusan administrasi kependudukan, tidak diakuinya status pernikahan oleh negara, status anak dalam pernikahan siri tidak akan mendapatkan akte kelahiran yang jelas. Akibatnya pihak perempuan yang akan sulit untuk mendapatkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum.

Banyak faktor yang melandasi maraknya pernikahan siri di Indonesia mulai dari ketidaktahuan masyarakat tentang pentingya pencatatan pernikahan, kondisi ekonomi yang tidak mampu mencatatkan pernikahan ke KUA, adanya pasangan yang tidak ingin mencatatkan pernikahannya karena takut ketahuan menikah lagi, pejabat PNS yang berpoligami tidak ingin ketahuan berpoligami karena larangan bagi PNS untuk berpoligami.

Intinya adalah kesadaran hukum bagi setiap warga negara untuk mentaati dan mematuhi peraturan perundang-undangan. Khususnya bagi perempuan agar lebih cerdas tidak lemah menghadapi bujuk rayuan manisnya pernikahan tanpa legalitas agama dan Negara. Juga penyadaran kepaada perempuan akan hak-hak yang harus dimilikinya terkait peristiwa hukum dalam pernikahan. Juga regulasi dari pemerintah yang membuat aturan yang mengikat dan tegas terkait maraknya pernikahan yang tidak memiliki bukti otentik dan payung hukum yang sesuai dengan undang-undang pernikahan nomor 1 tahun 1987 tentang pernikahan. Agar kasus-kasus perceraian, penelantaran, pembiaran, dalam pernikahan siri yang dialami Fani Oktora dan Perempuan-perepuan lainnya tidak marak terjadi lagi.

Oleh: Andi Yudistira, Tangerang
Aktivis Perempuan KAMMI Daerah Tangerng Selatan
Staff Konsultan Hukum LBH Madani
Blog