Poligami, Antara Anjuran dan Kewajaran

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat dzalim.” (QS. An-Nisa : 3)

Kalau kita berbicara masalah poligami, banyak dari kalangan perempuan yang secara membabi buta akan menolaknya. Dengan alasan tidak mudah untuk berbagi cinta dengan perempuan lain, bakal menginjak-nginjak hak asasi dari seorang perempuan dan lain sebagainya.

Dan memang, perempuan, siapapun dia, setegar dan sekuat apapun dia, biasanya akan memiliki rasa tidak rela jika kemudian berbagi cinta dengan perempuan lainnya. Sudah fitrah memang jika seorang perempuan memiliki rasa tidak ikhlas itu, yang pada gilirannya bisa saja menimbulkan rasa cemburu yang membakar dadanya. Rasa cemburu itulah, yang ditakutkan akan meruntuhkan kokohnya pondasi bangunan keluarga bilamana ada berbagi cinta didalamnya (baca: poligami).

Terlepas dari gejolak hati yang bergemuruh di dada seorang perempuan, seandainya pasangannya memutuskan untuk berpoligami, idealnya sebagai seorang muslimah haruslah melihat dari sisi yang berbeda dengan hati yang lebih jernih dan mendalam lagi. Bahwa poligami bukanlah sesuatu hal yang dilarang oleh agama, dan Rasulullah SAW yang mulia pun telah melakukannya. Itu artinya poligami termasuk bagian dari syariat Islam yang harus diterima selayaknya syariat-syariat Islam yang lain. Baik hal itu kita sukai maupun tidak kita sukai.

Tentu kita berlindung diri dari ‘sindiran’ Allah SWT dari sifat sifat orang munafik. Yang telah digambarkan di dalam Al Qur’anul Karim bagaimana mereka dengan mudahnya memilih dan memilah syariat sesuai dengan kemauan hati dan keinginan nafsunya belaka. Ketika ada hukum Allah SWT yang sekiranya sesuai dengan hatinya, maka mereka akan bergegas dan bersegera untuk melakukannya. Tanpa ditunda tunda dan tanpa dipikir pikir.

Namun,

Apabila diturunkan suatu surah (yang  dan memerintahkan kepada orang – orang munafik),”berimanlah kepada Allah dan berjihadlah bersama Rasul-Nya,” niscaya orang – orang yang kaya dan berpengaruh diantara mereka meminta izin kepadamu (untuk tidak berjihad) dan mereka berkata,”biarkanlah kami berada bersama orang – orang yang duduk (tinggal di rumah)”. (QS At Taubah : 86)

Padahal balasan antara orang yang pergi berjihad dengan orang yang duduk duduk saja itu berbeda.

“Kepada masing–masing, Allah menjanjikan (pahala) yang baik (syurga) dan Allah melebihkan orang–orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar. Yaitu beberapa derajat dariNya, serta ampunan dan rahmat. Allah Maha Pengampun, Maha Penyanyang.”  (QS An Nisa : 95-96)

Kembali ke masalah poligami, bahwa sekali lagi poligami adalah bagian dari syariat Islam. Yang harus kita terima, baik hal itu kita sukai maupun sangat kita benci. Dikarenakan urusan poligami itu melibatkan dua insan (sang suami dan isterinya), maka harus ada timbal balik dari seorang suami yang berniat berpoligami.

Ketika poligami adalah bagian dari syariat Islam, dan seorang perempuan sebagai seorang muslimah harus menerimanya sebagai bagian syariat Islam. Dengan tidak menentangnya yang diliputi amarah dan nafsu angkara murka, di satu sisi hal itu bukanlah menjadi ‘kemenangan’ tunggal seorang suami.

Ada prasyarat tambahan, yang mutlak harus dipenuhi oleh sang suami untuk melakukan poligami. Yakni bisa dan mampu berlaku adil. Sikap adil dari seorang suami itulah yang menjadi salah satu tolak ukur penting bisa atau tidak bisa, boleh atau tidak boleh untuk berpoligami.

Jangan sampai, sang suami memaksakan kehendak memutuskan untuk berpoligami dengan bermodalkan secara membabi buta bahwa poligami itu syariat Islam. Dan sebagai seorang istri harus tunduk dan patuh, apalagi ini perintah Allah SWT. Tidak, sekali lagi tidak.

Memang benar, bahwa poligami itu bagian dari syariat Islam. Yang harus diterima oleh seorang muslim/muslimah. Suka atau tidak suka. Hanya saja dalam urusan poligami, Allah SWT mensyaratkan secara gamblang perihal sikap adil itu tadi. Bahkan ketika para suami merasa khawatir saja bahwa nanti bakalan tidak bisa bersikap adil, hal itu bisa saja meruntuhkan (kalau tidak mau dibilang membatalkan) sang suami untuk berpoligami.

Alangkah baiknya, bagi Anda para suami yang berniat untuk berpoligami merenungi baik-baik dan mempertimbangkan dengan penuh kedalaman berpikir. Bertanyalah pada hati kecil Anda yang terdalam, sudahkah Anda para suami telah berlaku adil terhadap istri atau belum untuk kemudian memutuskan berpoligami.

Ketika Anda menuntut istri berbusana rapi, berpenampilan menarik di depan suaminya, sudahkah Anda pun melakukan hal yang sama di depan isteri Anda?

Ketika Anda menginginkan disambut isteri dengan senyuman mengembang di bibirnya tatkala Anda capek pulang kerja, sudahkah Anda pun tersenyum manis tatkala membuka pintu?

Ketika Anda berbusana sangat mewah, sangat indah, sudahkah isteri Anda pun dibelikan  pakaian yang  mewah dan indah seperti yang Anda kenakan?

Ketika Anda menginginkan istri untuk menjaga diri dan kehormatannya tatkala engkau pergi, sudahkah Anda pun menjaga diri dan kehormatannya tatkala merantau jauh ke luar kota?

Dan berbagai pertanyaan sejenis lainnya yang bisa Anda, para suami renungkan sendiri dan tentunya bisa lebih banyak lagi. Jika ternyata ada ketidakseimbangan disana, berarti Anda telah mendapatkan nilai sempurna bahwa Anda belum bersikap adil secara paripurna. Dan kalau ternyata untuk hal hal kecil seperti diatas saja Anda belum bersikap adil, layakkah Anda para suami untuk berpoligami?