Poligami, Bukan Tentang Cinta dan Pengorbanan

Penolakan-penolakan itu tak hanya datang dari kalangan ibu-ibu/perempuan, banyak juga dari kaum laki-laki yang membuat pandangan/citra negatif terhadap amalan yang jelas Allah membolehkan untuk dilakukan.

Jujur, sebagai penulis artikel ini saya juga merasa belum sanggup dan belum siap melakukan amalan itu. Selain materi juga beban tanggung jawab keluarga nantinya. Belum terfikirkan bagi saya untuk kelak mengamalkan hal ini.

Kalau boleh dikata, saya lebih bersikap netral saja, atau lebih tepatnya bersikap positif terhadap ketetapan Allah juga kepada mereka yang telah mengamalkannya.

Jika beberapa orang di antara yang tak sependapat itu ada yang membandingkan langsung dengan nabi, itu ‘kan ‘ngga mungkin. Tak akan pernah ada manusia yang kesempurnaannya mendekati kesempurnaan seorang nabi.

Saya beberapa kali menjumpai langsung para pelaku yang telah melaksanakan amalan ini. Dan alhamdulillah yang saya temui semuanya adalah orang-orang yang (Insya Allah) baik. Kehidupan rumah tangganya juga baik, anak-anaknya (Insya Allah) shalih-shalihah.

Kesuksesan dan kegagalan. Ini pula yang selalu menyertai setiap langkah kehidupan manusia. Bila ia telah sukses dalam melakukan persiapan, tentulah kesuksesan juga akan ia raih. Namun bila persiapannya asal-asalan maka hasilnya juga akan tidak pasti.

Fenomena paling berbahaya bagi setiap muslim adalah humanisme. Islam adalah humanis, akan tetapi tidak seperti humanisme yang kini dikenal di dalam dunia modern. Humanisme modern berfokus pada dua hal:

  • Jika berbicara tentang manusia, maka yang dimaksud adalah periode hidup manusia sejak lahir sampai mati.
  • Jika berbicara tentang wilayah, maka yang dimaksud adalah teritori antara bumi dan langit saja (universe).

Menurut pandangan seorang muslim, apa yang benar adalah:

  • Jika berbicara tentang manusia, maka yang dimaksud adalah periode hidup manusia sejak sebelum lahir, lahir, mati, dan hidup sesudah mati.
  • Jika berbicara tentang wilayah, maka yang dimaksud adalah teritori antara bumi, langit, dan di atas langit, alias dunia dan akhirat sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Banyak dari kita yang mempermasalahkan hal ini, dan melakukan penolakan karena hanya berfokus pada “cinta-cintaan” humanisme modern. Tak banyak yang mempunyai rencana-rencana lain untuk masa depan yang bersifat lil ‘alamin. Menyeluruh.

Untuk hukum-hukum permasalahan semacam ini adalah relatif, ‘ngga mutlak.

Asalnya adalah mubah (boleh). Seperti yang telah dijelaskan oleh banyak dalil. Di dalam Islam ada ilmu Fiqh yang bercabang pada Ushul-Fiqh, menjelaskan tentang hukum tertentu juga pada pelaku tertentu.

Poligami bisa menjadi sunnah, bisa menjadi wajib, bahkan juga bisa menjadi haram.

Menjadi sunnah, karena berlandaskan niat untuk mengembangkan sayap da’wah. Seperti contohnya ketika nabi menikahi Shafiyah binti Huyay seorang wanita keturunan dari petinggi Bani Nadhir yang merupakan Bani Yahudi di kota Madinah, kala dinikahi nabi ia masih berkeyakinan Yahudi, setelah pernikahan dilangsungkan terjadi perubahan besar-besaran sikap kaum tersebut pada nabi juga pada Islam. Ini termasuk strategi bagi nabi untuk menyebarkan agama Allah yang mulia. Banyak contoh-contoh lainnya yang membuat amalan ini menjadi berpahala sunnah.

Menjadi wajib, karena kondisi suatu daerah yang memang mengharuskan terlaksananya hal ini. Zaman nabi dahulu sering terjadi perang antara kaum muslimin dengan musuh-musuh Islam, terhitung kurang lebih nabi mengikuti 80-an peperangan semasa hidupnya. Laki-laki adalah gender yang 90% ikut dalam peperangan. Dampaknya banyak anak menjadi yatim, istri menjadi janda. Akan dikemanakan kehidupan mereka? Tentu untuk daerah atau wilayah seperti di Indonesia ini, belum bisa dikatakan bahwa hukumnya wajib.

Menjadi haram, karena memang tak ada kemampuan untuk melakukannya. Materi yang tak mencukupi, kelakuan yang bejat terhadap keluarganya sendiri. Ini ‘kan jelas-jelas menunjukkan perilaku yang menyebabkan hukum itu menjadi berubah.

Aqidah itu mutlak dan Fiqh itu relatif. Sholat dan puasa (Ramadhan) itu mutlak namun menikah itu relatif, bahkan menikah dengan satu orang saja hukumnya juga bisa berlaku seperti di atas tadi (sunnah, wajib, haram).

Menikah bisa diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian halnya dengan poligami.

Meskipun hukum-hukum itu relatif, namun kita jangan menyalahkan apa yang telah Allah tetapkan, juga (sebisa mungkin) tidak menjelek-jelekkan mereka yang mengamalkannya walau (seandainya) telah diketahui si dia adalah orang yang sebenarnya ‘ngga layak untuk mengamalkan hal itu.

Dalam hal ini saya mencoba mencontohkan JILBAB yang ada di masyarakat kita sekarang. Jilbab adalah hal yang sudah lumrah di masa sekarang. Masih ingatkah ketika era 70-80-an, masih sangat sedikit sekali warga negara ini yang mau mengenakan jilbab. Alasannya-pun beragam, mulai dari yang ‘ngga jaman, terlalu alim, dan memang kita semua tahu bahwa kala itu juga masih kental pemikiran-pemikiran budaya yang saling bercampur aduk. 350 tahun lamanya di jajah bukan hanya tanahnya, tapi juga pola berpikirnya.

Coba kita bandingkan sekarang, dulu jibab ditentang, sekarang hampir di setiap tempat dapat kita jumpai perempuan berjilbab. Dulu humanisme yang beralasan bahwa berjilbab adalah hak bagi setiap orang, tak perlu dipaksakan. Namun sekarang adalah kesadaran bahwa hal itu memang kewajiban.

Kesadaran berjilbab sendiri tak mungkin terbentuk seketika. Bim salabim. Semua itu ada prosesnya, bertahap. Bahkan kalau kita tahu, para pendahulu kita dulu. Mereka yang bersikeras mengenakan jilbab saat sekolah harus berjemur di depan tiang bendera. Mereka berjuang mempertahankan keyakinan, keimanan. Bahkan mereka mensosialisasikan pada teman-teman lain mengenai jilbab.

Perlahan tapi pasti, hingga akhirnya lahirlah perundang-undangan baru yang membolehkan penggunaan jilbab.

Hingga sekarang bisa kita rasakan betapa indah dan nikmatnya mengenakan pakaian yang indah, sopan, dan menutup aurat.

Misalkan ada seseorang yang mengenakan jilbab, menutupi aurat, tapi perilaku masih jahiliyah. Terus tiba-tiba salah seorang nyeletuk

“Percuma dong pake jilbab kalo masih kaya gitu.”

atau

“Yaah, kaya gitu kok pake jilbab.”

Ujung-ujungnya akan terbentuk pola pikir yang lebih gila

“Ya mending ga pake jilbab aja deh.”

Negatif.
Pemikiran negatif semacam ini sangat berbahaya, berawal dari menyalahkan pemakai jilbab yang masih jahiliyah, kemudian menyalahkan jilbab, dan terakhir meninggalkan jilbab itu sendiri.

Menyikapi hal-hal ini saja kita masih belum sepenuhnya dewasa. Jilbab seolah jadi kambing hitam, padahal jelas-jelas hal ini adalah ketetapan Allah. Jangan menyalahkan jilbabnya, tapi juga jangan merendahkan yang mengenakannya, walaupun kita tahu perilakunya masih awam.

Tentang masalah hati dan perasaan, banyak yang bilang “Okelah, untuk soal materi mungkin bisa adil tapi untuk masalah perasaan bagaimana bisa? ‘kan mustahil.”

Nabi sendiri mengakui hal ini. Berkata bahwa kecenderungan pada salah satu di antara istri-istrinya itu tetap ada. Dan ini memang mustahil untuk dilakukan.

“Jangan kalian menyalahkanku dalam hal ini. Allah sudah menetapkan demikian.”

Allah adalah pemilik dari segala apa yang kita miliki, karena Dia adalah yang Maha Kaya, memiliki segalanya yang ada di alam semesta, tak terkecuali hati. Hati dan perasaan adalah milik Allah, Dia yang menurunkan fitrah pada setiap makhlukNya, Dia yang memberikan rasa cinta, Dia yang mengatur kadar dan isi hati seseorang, Dia yang menentukan segalanya.

Dari istri-istri nabi, Bunda Khadijah adalah yang paling dominan mengisi ruang hati beliau. Wajar, selama kurang lebih 28 tahun menemani perjalanan dakwah yang dilakukan nabi, berbagai kesulitan di masa awal dakwah islam beliau lalui bersama Khadijah.

Bahkan nabi (seperti yang dijelaskan dalam siroh) juga berkali-kali menyanjung nama Khadijah di hadapan istri-istrinya dan Aisyah adalah salah satu istri yang cemburu dibuatnya.

“Wahai rasul Allah, mengapa engkau selalu menyebut-nyebutnya sedangkan ia telah tiada.”

Bagi orang-orang yang berfikir secara luas dalam menyikapi masalah yang seperti ini, tentu ia tak hanya berfokus pada masalah “cinta-cinta-an”.

Nabi monogami selama Khadijah menemani hidup dan dakwahnya, yaitu kurang lebih 28 tahun. Setelah wafatnya Khadijah butuh waktu 2 tahun bagi nabi untuk akhirnya (memutuskan) menikah dengan Sawdah binti Zam’ah, itupun beliau lakukan bukan semata “cinta-cinta-an”. Ada misi yang jauh lebih besar, menguatkan kekuatan dakwah, itulah strategi nabi dalam menyebarkan agama Allah.

Seperti halnya menunaikan rukun Islam yang kelima.

“Berhaji Bila Mampu.”

Bila belum mampu juga tidak ada paksaan untuk mengamalkannya. Mampu dalam hal ini juga relatif, banyak orang-orang yang (sebenanrnya) dalam hal materi telah mencukupi namun kemampuan niat untuk mengamalkannya belum mencukupi, mungkin juga memang masih banyak urusan-urusan lain yang mengharuskan ia untuk menyelesaikan urusan tersebut. Begitu pula hukum menunaikan ibadah haji. Relatif, sama halnya seperti menikah tadi.

Lain lagi dengan hukum Sholat dan puasa Ramadhan. Hukumnya adalah jelas-jelas fardhu ‘ain. Atau istilah gampangnya yaitu Wajib-Sangat.

Tidak ada alasan untuk tidak mengamalkannya. Jelas berdosa jika meninggalkannya. Yang menyertai hukum fardhu ‘ain ini hanyalah rukhsah atau keringanan, tidak ada alasan untuk meninggalkannya bahkan untuk orang yang sakit sekalipun.

Sholat boleh dengan berdiri, duduk, berbaring, bahkan boleh hanya dengan hati, yang dimaksud dengan hati adalah ketika seseorang memang sudah tak mampu melakukan apa-apa (seperti lumpuh misalnya), cukuplah ia berniat dalam hati, yang kemudian mengamalkan rukun (gerakan) sholat melalui hati dan pikirannya saja.

Begitu juga puasa Ramadhan, boleh ditinggalkan bagi musafir (dalam perjalanan jauh), ibu yang hamil dan menyusui, sakit. Namun tetap diikuti qadha’ (mengganti), yang mana pelakunya tetap dikenai tuntutan untuk mengganti di hari kemudian. Untuk yang telah lanjut usia bahkan bisa dengan membayar fidyah saja.

Berfikirlah positif ketika melihat orang yang sholatnya biasa ke masjid, namun sudah beberapa hari alpha. Mungkin ia sedang sakit yang mengharuskannya sholat di rumah.

Berfikirlah positif saat melihat orang makan atau minum di siang bolong di bulan Ramadhan, mungkin ia sedang ada halangan, mungkin ia sedang istirahat dalam perjalanan, mungkin ia sedang memiliki anak yang masih menyusui yang saat itu tidak ia ajak serta.

Positif Thinking.
Sudah menjadi rahasia umum sekarang bahwa berprasangka baik adalah kunci dari segalanya. Ya, berfikiran positif. Melihat sesuatu dengan segala kebaikan di dalamnya.

Termasuk dalam hal ini poligami.

Mungkin kebanyakan dari kita lebih cenderung memandang dari realita yang tersebar sekarang, bahwa mengamalkan ini hanya akan merusak rumah tangga, mengganggu kejiwaan (psikis) anak-anaknya, membuat sakit yang teramat sangat di pihak perempuan.

Semua itu benar adanya. Itulah realita serta kasus-kasus yang kita jumpai selama ini di Indonesia. Berita-berita serta info seperti ini yang menyebar cepat melalui media yang pada akhirnya menghadirkan citra negatif.

“Udah deh, mending ga usah macem-macem. Satu aja cukup.”

Teko itu mengeluarkan apa yang ada di dalamnya.
Bila yang ada adalah kopi, maka keluarlah kopi. Keruh.
Bila di dalamnya berisi air putih maka keluarlah air putih. Jernih.
Tidak mungkin berisi kopi yang keluar jernih.

Perkataan negatif seperti yang kita jumpai ini menunjukkan bahwa memang demikianlah pandangan masyarakat kita dalam menyikapi ini. Jika pandangannya negatif, keluarlah kata-kata negatif.

Sudah terlanjur men-judge negatif.
Itu menunjukkan hanya sebatas itulah ilmu serta pengetahuan mereka. Jika teko itu hanya cukup mengisi 2 gelas, maka cukuplah dengan 2 gelas, tidak mungkin mengisi hingga 5 gelas penuh.

Kalau memang merasa belum siap dan belum memiliki ilmu serta pengetahuan yang cukup silahkan saja untuk tidak mengamalkannya, seperti halnya berhaji.

Namun tetaplah berpandangan positif pada mereka yang mengamalkannya. Jika-pun terjadi apa-apa pada kehidupan mereka nantinya, jangan pula menyalahkan poligami-nya.

“Tuh, akibatnya kalo poligami.”

Poligami memang bukan hal yang sembarangan. Butuh kesiapan segalanya dari semua pihak yang terlibat. Tidak hanya dari istri, tapi juga suami, bahkan pihak keluarga masing-masing, juga nantinya anggota keluarga baru yang akan mengisi kehidupan keluarga. Semuanya perlu dipersiapkan, perlu dibicarakan, perlu kesepakatan, perlu penjelasan. Bukan hanya asal-asalan main belakang.

Pendekatan serta penjelasan pada anak-anak juga suatu hal yang tak mungkin diabaikan.

Mungkin saja mereka yang gagal dalam mengamalkan poligami tidak melalui tahap-tahap atau proses yang semestinya. Bisa jadi karena keputusan sepihak, bisa jadi karena tetap dipaksakan menuruti nafsu (bukan hanya birahi) tanpa disertai ilmu yang memadai.

Tapi sekali lagi, jangan salahkan poligaminya, juga (sebisa mungkin) tidak mencela yang mengamalkannya.

Karena poligami bukan sekedar “cinta-cintaan”.

Semoga tulisan ini memberikan sedikit pencerahan bahwa tidak baik bagi kita memandang negatif apa-apa yang telah menjadi ketetapan Allah.

Wallahua’lam.

Oleh: Mina Juliani, Semarang.
Yang selalu berusaha untuk menjalankan Islam secara Kafah.