Membahas poligami (istilahnya ta’addud az-zaujat) merupakan tema yang menarik perhatian baik bagi pihak yang menganggapnya sebagai sunnah Rasul yang dianjurkan untuk melaksanakannya, mapun pihak yang membolehkan namun dengan persyaratan ketat, ataupun bagi yang menolaknya mentah-mentah. Masing-masing memiliki dalil pendukung hujjahnya.
Syariat poligami ini sudah berlaku sejak jauh sebelum datangnya Islam. Dalam Kitab Perjanjian Lama menyebutkan bahwa Nabi Daud memiliki 300 orang istri, dan Nabi Sulaiman memiliki sekitar 700 orang istri. Dulunya bangsa Eropa yang sekarang adalah Rusia, Yugoslavia, Jerman, Belgia, Denmark, Swedia, dan lainnya, maupun bangsa Timur seperti bangsa Ibrani dan Arab juga berpoligami. Tidak benar ada tuduhan bahwa Islamlah yang melahirkan aturan tentang poligami.
Ketika Islam datang, banyak laki-laki yang memiliki sepuluh orang istri , lebih banyak atau lebih sedikit dari itu bahkan tanpa batasan. Poligami inipun diatur dengan beberapa syarat dan batasan-batasan yang telah ditentukan. Yaitu paling banyak dengan empat orang istri, itupun terikat dengan satu syarat yang sangat berat “Adil”, sehingga jika tidak dapat berbuat adil, cukup menikahi satu orang istri saja.
Islam datang bukan untuk memberikan kebebasan sebebas bebasnya bagi kaum laki-laki untuk berpoligami, tapi datang untuk membatasinya. Oleh karena itu Islam tidak membiarkan laki-laki berbuat sekehendak nafsunya, tapi Islam mensyaratkan Keadilan dalam berpoligami, jika tidak mampu, maka dispensasi ini dilarang untuk dilakukan.
Dalam hadis riwayat Tirmizi dan Ibnu Majah menerangkan bahwa Ghailan bin Salamah ketika masuk Islam dalam keadaan memiliki istri 10 orang, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya: “Pilihlah 4 diantaranya dan ceraikan yang lain.”
Surat An-Nisa ayat 3 berfungsi memberikan batasan serta syarat yang ketat, yaitu batasan maksimal 4 istri dan ketentuan syarat mesti berlaku adil. “…….tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”
Jadi poligami dalam syariat Islam memiliki hukum dasar dibolehkan (mubah) dengan syarat asas keadilan dan tentu saja kecukupan harta dan kemampuan-kemampuan lainnya. Sebagaimana halnya dengan hukum nikah yang hukum asalnya adalah mubah, namun dapat berubah menurut kondisi seseorang yang tentu saja setiap orang berbeda kondisinya dengan yang lainnya, bisa menjadi wajib, sunnah ataupun haram. Misalnya hadis yang sangat terkenal :
“Wahai pemuda,siapa saja diantara kalian yang telah mampu maka menikahlah, karena menikah itu bisa menahan pandangan dan memelihara kemaluan. Tapi bila tidak mampu, maka hendaklah puasa, karena puasa itu dapat membentengi.”
Begitu juga dengan poligami, apabila tidak bisa berlaku adil maka seorang saja, karena yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim (zalika adna alla ta’ulu). Sebab jika syarat tidak terpenuhi akan memunculkan beberapa problem seperti bertambahnya tanggung jawab suami memelihara dua rumah tangga dan anak dalam jumlah yang lebih besar, kesulitan dalam mengatasi masalah internal yang dipicu rasa cemburu antara istri dan lainnya.
Karena itu kita dapati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang Ali bin abi Thalib untuk memadu Fatimah yang merupakan putri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sehingga Ali bin Abi Thalib tidak melakukan poligami.
Tujuan dari suatu pernikahan adalah untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, ketika Allah membolehkan poligami tentu bertujuan untuk kemashlahatan manusia itu sendiri. Poligami ini sebenarnya adalah penyelesaian masalah bukan pencipta masalah. Misalnya seperti ketika istri tidak mampu melayani suami karena sakit yang berkepanjangan baik sakit psikis ataupun psikis dan lain-lain.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bermonogami (beristri dengan seorang wanita) selama hampir dua puluh lima tahun, hal ini disebabkan Khadijah radhiyallahu ‘anha sudah mencukupi beliau dari lainnya dengan sikap, akhlak,kebaikan dan kecerdasannya, bahkan beliau saw sering menyebut-nyebut kebaikannya dan memujinya setelah dia meninggal dunia. Setelah itu RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpoligami selama hampir sepuluh tahun.
Adapun firman Allah: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung..” (An-Nisa’: 129), ini bukanlah dalil pengharaman poligami, namun lebih pada kecendrungan hati yang tidak dapat ditunaikan manusia secara sempurna yang dimaafkan oleh Allah dan ditolerir kekurangannya. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah berusaha membagi cintanya dan berusaha untuk berbuat adil, namun juga bersabda : “Ya Allah, inilah pembagianku dengan apa yang aku miliki, janganlah Engkau cela diriku tentang sesuatu yang Engkau miliki dan tidak aku miliki.” (HR. Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah).
Jadi menurut saya permasalahan poligami ini bukan permasalahan para ahli fiqh/tafsir yang kebanyakan laki-laki, dan berasal dari bangsa Arab yang budayanya cenderung patriarkis. Namun lebih kepada implementasi di lapangan. Sebab syariat poligami ini adalah ketentuan syar’i yang hukumnya hanyalah mubah (boleh), bukan sebagai perintah atau anjuran yang harus dilaksanakan, yang bertujan untuk kemaslahatan manusia.
Selama ini yang membuat syariat ‘poligami’ buruk, bukanlah ajarannya, namun lebih kepada praktek pelaku poligami yang tidak bertanggung jawab, tidak memenuhi syarat keadilan dan kemampuan, lebih cenderung pada keinginan pemuasan hawa nafsu yang dibungkus dengan alasan ‘sunnah’ yang harus dilaksanakan dengan mengenyampingkan factor ketakutan dan ketakwaan pada Allah .
Wallahu a’lam.
Hj. Dra. Herlini Amran, MA