Poligami, Kebaikan Hati Nurani atau Hawa Nafsu?

Menyedihkan sekali, poligami dalam umat Islam dipahami secara dangkal. Al Quran surat An Nisa’ (surat keempat) ayat tiga tidak menjelaskan tentang kebolehan suami mengumbar nafsu kepada banyak istri dan kedzaliman kepada seorang istri, tapi tentang perlindungan terhadap gadis-gadis yatim piatu.

Ayat ketiga Surat An Nisa diterjemahkan sebagai berikut, “Dan, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan lain yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kau miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” Di dalam ayat tersebut sudah ada penekanan di awal pada ‘perempuan yatim’ yang perlu kita bahas mendalam.

Ayat ini turun di saat Madinah kehilangan banyak laki-laki. Banyak sekali ayah yang meninggal setelah perang Uhud. Pada saat itu keluarga yang tidak punya ayah dan relasi dengan garis patrilinear lain, seperti paman atau kakek tidak akan bertahan dan kemungkinan besar akan berada dalam garis kemiskinan. Nabi sendiri termasuk pihak yang merasakan kondisi ini. Selama masih kecil beliau tidak punya ayah yang membuatnya sulit mendapatkan ibu susu, karena semua orang Arab Badui tahu, seorang yatim tidak akan menguntungkan untuk disusui, karena sang ibu tidak dapat memberikan harta yang banyak. Saat itu tidak lazim perempuan bekerja, dan harta dari perempuan (atau sang ibu) tidak berkembang banyak seperti harta suami.

Di sisi lain banyak gadis yatim yang punya warisan harta dari ayahnya yang meninggal pada perang Uhud di Madinah. Saat itu juga populasi laki-laki secara drastis menurun. Sebuah kota-pedesaan di padang pasir tidak bisa disamakan dengan kota modern di zaman sekarang. Apabila Madinah kalah perang, dan korban perang tersebut banyak, otomatis jumlah pemelihara perempuan, baik itu ayah atau suami menjadi sedikit. Inilah salah satu alasan pembolehan poligami, untuk menyediakan pelindung dan pemelihara kepada gadis yatim yang saat itu tidak punya ayah dan sulit mendapatkan suami, mengingat jumlah laki-laki menurun.

Ada juga kecenderungan laki-laki Arab saat itu untuk tidak menghargai perempuan. Beberapa praktik yang umum saat itu adalah seorang laki-laki dapat punya banyak istri selama dia mampu merawat mereka. Praktik ini dilakukan oleh Sailan bin Umayyah, dan Rasulullah bersabda kepadanya yang saat itu memiliki sepuluh istri, “Pilihlah dari mereka empat orang (istri) dan ceraikan selebihnya” (HR Imam Malik, An-Nasa’i, dan Ad-Daraquthni).

Kecenderungan lainnya adalah tidak adanya pemberian suami kepada istri yang benar-benar menjadi milik pribadi istri. Saat itu praktik pernikahan seperti praktik perdagangan perempuan di era modern. Seorang laki-laki yang ingin menikahi seorang perempuan membayar ‘mahar’ bukan kepada sang istri, tetapi kepada wali (ayah, saudara laki-laki, paman, kakek, atau keluarga dari garis patriarkal dari sang calon istri).

Bayangkan, Anda seorang laki-laki yang ingin menikahi seorang gadis, Anda tidak perlu mendekati gadis tersebut. Anda tinggal mendekati orangtuanya dan ‘menawarkan’ mahar yang cukup. Apa bedanya dengan perdagangan perempuan? Perempuan seperti dijual, dan pernikahan tidak berdasarkan keinginan merawat dan mencintai gadis tersebut, tetapi berdasarkan pada keinginan untuk memiliki gadis tersebut selayaknya properti.

Kemudian turun ayat keempat dari surat An Nisa’ sebagai lanjutan dari ayat tiga yang artinya, “Dan, berikanlah mahar kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.”

Ayat ketiga dan keempat ini saling mendukung. Ayat keempat menjelaskan secara tegas makna dari mahar, yaitu ‘pemberian yang penuh kerelaan’ yang artinya seorang laki-laki harus memberikan sebagian hartanya sebagai simbol dari kemampuan dan komitmennya memelihara dan mencintai perempuan tersebut secara materi. Sang calon suami harus benar-benar rela memberikan mahar tersebut. Ayat ini juga menghapus praktik ‘perdagangan perempuan’ terselubung dalam praktik bangsa Arab saat itu. Semenjak ayat ini turun, muslim laki-laki tidak pernah lagi memberikan mahar kepada wali dari calon istri, tetapi langsung kepada sang calon istri.

Bangsa Arab saat itu begitu barbar, jahiliah, dan biadab, dan untuk itulah risalah turun di sana. Jangan bayangkan di zaman Nabi orang Arab begitu terhormat seperti orang Jawa, Sunda, Aceh, Minang, dan suku lain di Indonesia yang sudah mengembangkan etika dalam menikah. Hal ini diperparah pada para gadis yang sudah tidak punya wali akibat perang Uhud. Harta ayah mereka tidak dapat diwariskan secara penuh kepada mereka, dan mereka sendiri tidak dapat mengolahnya secara maksimal. Wanita yang mampu mengelola harta seperti Khadijah sangat jarang di Madinah saat itu.

Ada tren yang muncul setelah perang Uhud, banyak relasi dari sang ayah yang kemudian dipercayakan mengelola harta dari gadis-gadis yatim tersebut. Mereka tidak punya hubungan darah dengan sang gadis, dan apa yang terjadi kemudian, mereka berniat menikahi gadis tersebut tidak hanya untuk menambah istri, tetapi juga mendapatkan warisan dari harta ayahnya. Pemikiran materialistik seperti inilah yang menjadi tren saat itu, dan jelas pemikiran ini tidak akan mampu mensejahterakan gadis-gadis yatim tersebut.

Salah satu inti dari ayat ketiga ini justru terletak pada perlindungan dan sindiran akan praktik jahiliyah yang buruk di Arab, termasuk Madinah. “Dan, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan lain yang kamu sukai: dua, tiga, atau empat.” adalah bentuk perlindungan dan pengalihan perhatian dari laki-laki hidung belang dan materialistik untuk tidak menikahi perempuan yatim lagi. Mereka disindir dan dijauhkan dari praktik menikahi perawan kaya yang tidak punya wali tanpa harus memberikan mahar sepeserpun kepadanya.

Inti lainnya adalah juga tentang sindiran, “Tetapi jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kau miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” Setelah Allah dalam firman-Nya menjauhkan laki-laki dari berpikir materialistik, Allah kemudian mengajak mereka mencintai satu orang istri saja. Allah tidak menganjurkan, “Tetapi jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil, maka nikahilah tiga istri, karena tiga istri lebih mudah diurus ketimbang empat istri, atau jika terlalu banyak, nikahilah dua istri, karena lebih mudah diurus ketimbang tiga istri”. Tidak ada tawar menawar dalam hal ini, Allah langsung menunjuk “nikahilah seorang saja”.

Sindiran ini dipahami seolah sebagai sebuah anjuran, bahkan perintah untuk berpoligami. Bagi seseorang yang sudah mempelajari fiqih, ayat ini tidak berada dalam level mengharamkan sekaligus mewajibkan atau mensunnahkan. Ayat ini adalah ayat persyaratan. Ada banyak praktik ibadah dalam Islam yang membutuhkan persyaratan, yang dikenal sebagai ‘syarat sah’. Contoh dari ketentuan syarat sah dalam al-Quran ada pada Surat Al-Maidah (5) ayat 6:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”

Ada juga dalam ketentuan fiqih tentang adanya syarat sah seperti pada ayat thaharah atau membersihkan diri pada surat kelima, Al Maidah ayat 6 tersebut. Syarat sah ini menjadi wajib, apabila seorang muslim ingin melakukan sesuatu dan apabila tidak dilakukan, yang terjadi adalah praktik tersebut batal atau tidak diizinkan atau tidak diridhai oleh Allah. Apabila syarat thaharah ini tidak terlaksana, otomatis sholat seorang muslim akan batal dan tidak diterima Allah.

Begitu juga dalam poligami, surat An Nisa’ ayat ketiga dan keempat menunjukkan tentang syarat sah pernikahan, yang apabila kita urutkan dan daftarkan akan menjadi beberapa poin berikut:

  1. Pernikahan terhadap gadis yatim untuk mendapatkannya sebagai istri sekaligus mendapatkan hartanya harus berdasarkan pada keadilan. Jika seorang laki-laki terbesit rasa khawatir, baru terbesit rasa khawatir saja, belum melakukan ketidakadilan dalam mengelola hartanya dan cenderung memeras sang gadis yatim, praktik poligami sudah tidak sah.
  2. Pernikahan poligami harus berdasarkan pada keadilan. Jika seseorang terbesit rasa khawatir, baru terbesit rasa khawatir saja, bukan sudah melakukan ketidakadilan, maka praktik poligami sudah tidak sah.
  3. Tujuan dari segala pernikahan (juga kepada praktik Islam yang berhubungan dengan orang lain, seperti berdagang atau berpolitik) adalah untuk mencegah akan kezaliman. Jika sampai ada kezaliman dalam pernikahan poligami, maka akan datang dosa darinya.
  4. Mahar atau maskawin dalam pernikahan harus ada, atau pernikahan tersebut tidak sah, termasuk dalam pernikahan kepada gadis yang kaya dan dalam praktik poligami.
  5. Mahar menjadi milik istri, tidak boleh diminta kembali (pemberian yang penuh kerelaan). Halalnya mahar adalah saat istri memberikannya secara senang hati kepada suami (tidak hanya dengan terpaksa atau sekadar rela, tetapi juga dengan senang hati).

Poligami adalah salah satu praktik muamalah, atau praktik yang berhubungan tidak dengan Allah secara langsung, melainkan kepada manusia secara terlebih dahulu. Praktik muamalah harus menghindari kezaliman dari salah satu pihak kepada pihak lain. Zalim sendiri adalah pelanggaran hak atas diri sendiri maupun orang lain. Kezaliman hanya berdasarkan pada satu hal, yaitu mengikuti hawa nafsu yang tidak dibenarkan Allah dan Rasul-Nya.

Tentu saja, tulisan ini hanya salah satu pendapat dalam poligami. Ada juga alasan lain yang dikemukakan beberapa laki-laki untuk membenarkan praktik poligami yang dilaksanakannya. Satu hal yang perlu diingat, kebanyakan istri Nabi yang beliau madu adalah janda (kecuali Aisyah binti Abu Bakar), seperti Saudah binti Zam’a, Hafsah binti Umar bin Khattab, Zainab binti Khuzaimah, Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah, Zainab binti Jahsyi bin Royab, Juwairiyah binti Al-Harits, Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan, Shofiyyah binti Huyay bin Akhtob, Maimunah binti Al- Harits, dan Mariah Al-Qibthiyah.

Dengan mengetahui berbagai syarat sah dari Al Quran tentang poligami, selayaknya kita tidak mengecam atau menganggap buruk orang yang menolak poligami. Seolah muslim atau muslimah yang menolak poligami adalah menolak ketentuan Allah. Hal ini malah sesuai dengan semangat Al Quran selama mereka mengemukakan argumen yang tepat bahwa poligami itu zalim dan tidak adil. Umat Islam tidak selayaknya berpikiran sempit dan memusuhi satu sama lain hanya karena perbedaan pendapat mengenai praktik yang memang penuh syarat ini.

Begitu juga sebaliknya, apabila seorang memang berniat baik dan punya argumentasi dan fakta yang kuat akan praktik poligaminya untuk menolong perempuan lain, sebaiknya kita tidak merusak hubungan rumah tangga mereka. Tentu saja praktik ini tidak dilakukan oleh pejabat yang menikahi gadis untuk kemudian diceraikan kembali secara tidak bertanggungjawab.

Saya ingin menutup perdebatan ini dengan ajakan untuk mengikuti hati nurani, bukan hawa nafsu. Orang bisa saja mengungkapkan alasan berpoligami yang valid, tetapi tidak ada yang tahu apakah orang tersebut berniat mengikuti hawa nafsu yang zalim atau hati nuraninya dalam menolong perempuan yang dijadikan istri kedua, ketiga, atau keempat. “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS Al Mu’minuun, 23: 71).

Referensi:

  1. Syaamil Al Quran terbitan PT Syaamil Cipta Media yang berdasarkan pada Al-Quran dan Terjemahannya edisi Departemen Agama tahun 2002, terbit pada 2004. Bandung: PT Syaamil Cipta Media
  2. Wawasan Al Quran: Pernikahan, Poligami dan Monogami, Dr. M. Quraish Shihab, M.A., Isnet. http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/Nikah2.html, diakses pada Jumat, 14 Desember 2012 pukul 07.00
  3. Ayat Al Quran dan Hadist tentang Thaharah (Bersuci), anonim, Jurnal Darussalam Perumnas Unib. http://darussalambengkulu.wordpress.com/2012/03/29/ayat-al-quran-dan-hadist-tentang-thaharah-bersuci/, diakses pada Jumat, 14 Desember 2012 pukul 07.00
  4. Ayat Al Quran tentang Larangan Mengikuti Hawa Nafsu, Abu Umar, abuumar.multiply.com, http://abuumar.multiply.com/journal/item/86?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem, diakses pada Jumat, 14 Desember 2012 pukul 07.17.

Oleh: Ahmad Tombak Al Ayyubi, Depok
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, FISIP UI
Anggota Al-Hikmah Reseach Center, Forum Studi Islam, FISIP UI
Facebook – Twitter