Berbicara tentang poligami, dalam nalar yang wajar kaum perempuan tidak akan setuju, untuk berbagi cinta dengan perempuan lain. Sejauh pemahaman keislamannya, pada kenyataannya jarang ditemukan wanita shalihah yang mampu menerima kenyataan (ridha) bila suaminya memadunya. Penolakan yang dilakukan oleh kaum perempuan tersebut bahkan dilandasi dengan untaian ayat-ayat dan sedikit “keraguan” atas rasa keadilan yang akan tercipta setelah poligami terjadi.
Memang benar, persyaratan adil (al Adl) adalah persyaratan utama yang harus diberikan kepada setiap lelaki yang hendak melaksanakan poligami, sehingga diharapkan nanti tercipta ketenangan dan kedamaian dalam keluarga. Meskipun untuk menegakkan keadilan itu sendiri banyak variable yang harus dipenuhi bagi seorang lelaki selaku “pemberi” keadilan maupun posisi wanita/istri selaku “penerima” keadilan. Sekalipun seorang lelaki mampu bertindak adil dalam perspektif umum, tanpa penerimaan yang ridha atas dasar kebencian dan kecemburuan maka bagi perempuan/wanita/istri akan merasakan ketidak adilan.
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Maidah : 8)
Jadi menurut hemat kami seseorang yang akan berbuat adil tanpa diikuti dengan sikap ridha dari “makmum”nya, maka bagaikan menegakkan benang basah. Intinya dibutuhkan keridhaan semua pihak bagi suami untuk melakukan poligami. Namun kembali ke masalah awal, wanita mana yang mau dimadu? Inilah yang menurut hemat kami menjadi alasan kuat mengapa banyak suami yang menikah bawah tangan (sirri) atau bagi yang tak menghayati agama dengan baik justru akan terjerumus pada perzinahan.
Tidak dipungkiri dalam realitas yang ada, dari sisi perundangan sekalipun pada kenyataannya mempersempit ruang gerak bagi seorang suami untuk mendapatkan pernikahan secara legal menurut peraturan perundang-undangan meskipun menurut dasar keyakinan yang dimilikinya sudah dapat dikategorikan sah. (UU No. 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat 1). Sedangkan seseorang telah masuk pada realitas yang harus dijalani dan tidak mungkin ditinggalkan, dia harus melaksanakan perkawinan tanpa merusak rumah tangga sebelumnya, maka perkawinan sirri adalah sebuah pilihan.
Kembali Kepada Uswah Nabi
Poligami, meskipun dibenci sebagian manusia di bumi (wanita) tetapi merupakan keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri, bahkan Rasulullah melakukannya. Namun harus berhati-hati dalam mencermati masalah ini agar mampu menempatkan masalah poligami sebagai solusi sosial (lil masholihil ummah) dan bukan sebagai racun sosial.
Berikut ini adalah fakta dalam sejarah Rasulullah dalam hal perkawinan :
- Dalam perkawinan yang pertama, dengan Khadijah ra, beliau tidak melakukan poligami, karena belum terjadi permasalah sosial yang dirasa perlu.
- Perkawinan beliau dengan Aisyah ra, dilakukan jauh setelah Khadijah wafat.
- Beliau menikahi janda-janda para syuhada pada saat masih menikah dengan Aisyah ra. Pada masa ini beliau melakukan poligami, bahkan karena alasan sosial, beliau menikahi lebih dari 4 wanita dalam satu masa perkawinan.
Jadi dari fakta sejarah beliau Rasulullah dapat ditarik suatu kesimpulan :
- Rasulullah tidak menikah poligami, pada saat realitas sosial belum membutuhkan.
- Rasulullah tidak menikah poligami atas dasar “darurat seksual” tetapi justru karena “darurat sosial” dimana setelah perang antara muslim dan kaum penentang Rasulullah banyak ditemukan janda-janda Syuhada dimana beliau telah menawarkan kepada para sahabat lebih dahulu dan para sahabat menolaknya karena janda-janda yang sangat tua renta. Bahkan dari berbagai riwayat disebutkan bahwa “istri-istri nabi merelakan (ridha) agar nabi tetap bersama Aisyah, meskipun Nabi selalu ingat meskipun dalam keadaan sakit yang payah”
Sebagai pengikut Rasululah, mungkin tidak selayaknya menggunakan model poligami untuk memuja nafsu seksual. Justru menurut hemat penulis sangat dibutuhkan dalam kerangka sosial, demi menyelamatkan keberlangsungan keluarga muslim lainnya yang telah ditinggalkan oleh Suami sebagai pelaku pencari penghidupan.
Poligami atas dasar “darurat sosial” justru lebih menjadi solusi sosial agar mampu menjaga martabat wanita. Meskipun tantangan terberat adalah keberanian seorang suami untuk menikahi wanita yang jauh lebih tua dari istrinya sebelumnya.
Bila poligami hanya di dasarkan “darurat seksual” mencari daun muda, justru akan mengakibatkan masalah-masalah sosial bagi suami maupun istri. Suami tidak dipandang sebagai pengayom, tetapi sebagai pemburu nikmat, Istri merasa diperbandingkan sehingga memicu kecemburuan yang hanya akan menyulitkan diri sendiri dalam menegakkan keadilan.
Namun kembali lagi pada judul tulisan di atas, apapun alasan poligami, “darurat Sosial” sekalipun tanpa keridhaan dan penerimaan atas tujuan-tujuan maslahat yang akan dilakukan sang suami, justru menimbulkan banyak hal yang memicu keretakan dalam rumah tangga, atau mungkin akan memicu tindakan sang suami untuk melakukan nikah sirri. Sementara suami yang tidak memahami agamanya, justru akan terjerembab ke perzinahan. Sebuah pilihan pahit bagi kita semua.
Oleh: Handoko