Teriknya mentari tak menghalangi langkah kakiku untuk mencari suatu ilmu yang baru. Meskipun sebenarnya badan ini letih, namun semangat yang ada di dada begitu membara. Tujuannya cuma satu, yakni mencari tempat menimba ilmu di lokasi perlombaan tafsir Al Qur’an yang sedang berlangsung di kota Padang. Akhirnya setelah jauh berjalan kaki kutemukan juga tempat itu, sebuah mesjid berlantai dua. Kunaiki tangga mesjid penuh semangat karena lomba berlangsung di lantai atas, lalu duduk dan menyimak dengan seksama.
Aku bersyukur bisa menyaksikan jalannya perlombaan walaupun hanya sebentar karena aku datang saat acara hampir usai. Itu sudah cukup bagiku sebagai awal pengenalan terhadap gaya dan cara lomba tafsir Al Qur’an. Memang akhir-akhir ini aku merasa sangat terbeban selepas Pak KUA menelponku semenjak beberapa waktu yang lalu. Pak KUA memintaku sesuatu hal, tapi yang jelas bukanlah urusan pernikahan (he..he..) tetapi agar Aku ikut Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat kabupaten di daerahku dengan cabang tafsir Al Qur’an.
Aku menerima tawaran tersebut meskipun belum ada persiapan ilmu apa-apa. Sebagai orang yang tidak pernah bersekolah atau kuliah di perguan tinggi Islam, ilmu tentang tafsir Al Qur’an menjadi suatu hal yang asing. Menerima tawaran Pak KUA tersebut tanpa ada landasan bekal yang akan dibawa saat lomba adalah suatu hal yang konyol. Akan tetapi Aku berani mencoba karena ini adalah suatu tantangan. Atas dasar itulah Aku berusaha untuk mencari ilmu itu di mana saja, termasuk di kota Padang tempat Aku kuliah yang sedang mengadakan lomba tafsir qur’an.
Waktu pelaksanaan MTQ di daerahku yaitu kabupaten Sijunjung tinggal sekitar dua bulan lagi. Aku belum memiliki bekal apa-apa, kitab tafsir pun belum punya. Aku juga bingung mau belajar tafsir Al Qur’an dengan siapa. Akhirnya aku memutar otak, ada ide untuk belajar ke pondok pesantren Ar Risalah yang letaknya lumayan terpencil jauh dari keramaian kota. Dengan mengajak salah seorang teman, Aku memulai petualangan di rimba keilmuan. Kondisi medan yang mendaki dan jarak yang jauh tak mengurangi harapan di dada. Akhirnya kami sampai di pesantren yang terkenal bagus dan bermutu itu.
Awalnya kami disambut oleh para ustadz dan ustadzah yang ada di sana. Berbagai kendala karena kesibukan masing-masing, para ustadz tidak ada yang bisa mengajarkanku ilmu tafsir Al Qur’an. Salah seorang ustadz menawarkanku untuk belajar kepada salah seorang ustadzah yang baru tamat dari LIPIA Jakarta setelah menyelesaikan kuliahnya di bidang tafsir Al Qur’an. Ustadz menyuruhku agar menemui ustadzah itu ke asrama putri, Aku langsung menemuinya. Setelah tanya sana-sini, akhirnya Aku bisa juga bertemu dengan ustadzah yang masih muda itu.
Setelah menyampaikan maksud kedatangan, ustadzah sangat terkesan dengan kedatangan kami, khususnya Aku yang berniat total untuk belajar. Dengan senyum yang simpul ustadzah mengatakan bahwa dirinya memang tidak sibuk seperti ustadz dan ustadzah yang lain, tetapi dengan sangat menyesal ia tidak bisa membantu. Mungkin ia belum PeDe dengan keilmuannya, begitu Aku berusaha menafsirkan. Aku agak sedikit kecewa, tetapi mungkin inilah yang namanya perjuangan. Ketika ikhtiar telah dilakukan, maka hasilnya tawakal pada Allah Yang Kuasa.
Aku pasrah untuk belajar secara otodidak. Dengan memakai uang tabungan, Aku berusaha membeli kitab ringkasan tafsir Ibnu Katsir lengkap 30 juz sebanyak empat jilid tebal. Berusaha memahami sendiri tanpa bimbingan guru tidaklah mudah, apalagi menafsirkan ayat itu butuh referensi kitab yang cukup banyak. Sekarang Aku mencoba belajar ke kampus IAIN Imam Bonjol Padang dengan salah seorang uni[1] yang kuliah di jurusan tafsir hadits dan pernah juara lomba tafsir qur’an.
Ternyata bidang yang akan Aku ikuti adalah sama dengan yang pernah uni ikuti, yaitu tafsir Al Qur’an dalam bahasa Inggris. Fokus pembahasan adalah juz dua. Sebenarnya uni tidak banyak memberikan tentang ilmu tafsirnya, tetapi lebih banyak menyampaikan tata cara dan adab lomba. Bagaimana tips dan triks menjawab pertanyaan dewan juri dan bagaimana cara cerdas menjawabnya. Kitab tafsir yang kubawa berat-berat hanya sekedar formalitas, tak begitu diuraikan maknanya. Kesempatan belajar pun terbatas, hanya dua kali pertemuan. Akan tetapi itu sudah cukup dan Aku sangat memaklumi karena uni harus berangkat untuk melanjutkan studinya ke pulau Jawa.
Keputusan untuk melanjutkan belajar atau tidak, sekarang tergantung pada diriku sendiri. Info dari Pak KUA tentang lomba sudah terbayang di depan mata, waktunya makin dekat. Dalam kesempatan book fair penghujung tahun 2006, Aku membeli buku dengan judul yang sangat menarik, yaitu ZERO TO HERO karya Solikhin Abu Izzuddin.
Harapan membeli buku tersebut agar Aku bersemangat menghadapi suatu hal yang sangat berat tanpa adanya bekal dan bisa menjadi yang terbaik. Bab demi bab, bagian demi bagian kubaca dengan hati yang haus pencerahan bagaikan tanah tandus yang butuh siraman air sebagai penyejuk.
Semua motivasi kutemukan dalam jabaran isi buku tersebut yang dibingkai dengan bahasa yang membakar semangat dan menggugah jiwa. Bahkan Aku merenungi pesan yang hendak disampaikan penulis bahwa setiap kita tidak ada yang langsung menjadi orang hebat, semuanya berawal dari nol atau zero. Kondisi zero akan berubah jadi hero atau pahlawan jika diiringi dengan usaha yang kuat. Kita harus berani bermimpi bahwa kita akan bisa menjadi hero meskipun awalnya tanpa bekal apa-apa, dengan berani berjuang sampai titik darah penghabisan, di situlah kondisi zero berubah menjadi hero.
Pesan itu menggugah jiwa, membakar sukma. Sangat memberikan inspirasi saat Aku mengalami keadaan yang membutuhkan pencerahan saat itu. Tidak ada ketakutan dalam diri ini untuk bersaing menjadi yang terbaik karena semua kita adalah berawal dari zero. Aku berharap dengan usaha yang maksimal maka akan bisa menjadi hero sebagaimana yang disampakan oleh buku tersebut. Akhirnya Aku berusaha memaksimalkan potensi diri dengan belajar secara otodidak. Berusaha maksimal sesuai kemampuan, lalu menyerahkannya pada Allah Yang Maha Pengatur segalanya.
Masa pelaksanaan MTQ tingkat kabupaten Sijunjung propinsi Sumatera Barat sudah tiba. Dengan bekal seadanya, hasil dari belajar sendiri dan kuatnya semangat motivasi diri, Aku mulai memasuki arena lomba cabang tafsir Al Qur’an berbahasa Inggris. Sebelum tampil, Aku sempat grogi dan rasa takut menyelimuti jiwa. Mengapa tidak? Ternyata diantara peserta, hanya Aku yang berasal dari sekolah atau kampus umum. Sedangkan peserta yang lain memiliki basic pendidikan agama Islam yang memadai, bahkan ada yang kuliah di jurusan tafsir hadits IAIN. Lebih parahnya, ada salah seorang peserta yang telah pernah juara dan sering ikut lomba tafsir qur’an sampai tingkat yang lebih tinggi.
Perlombaan pun berlangung, satu per satu peserta tampil ke hadapan dewan juri. Diawali cabang lomba tafsir Al Qur’an berbahasa Arab, bahasa Indonesia, lalu terakhir bahasa Inggris. Setiap peserta akan mendapatkan tiga buah soal hafalan Al Qur’an dan satu buah soal tafsiran Al Qur’an sesuai dengan bahasa yang dipakai. Jadi setiap peserta juga akan diuji hafalan Al Qur’an yang dimilikinya, minimal adalah lima juz. Setelah itu baru diuji dengan beberapa ayat tafsiran lengkap dengan tanya jawab oleh dewan juri. Dengan hati yang berdebar-debar, Aku menyaksikan penampilan peserta lain yang tampil seraya membolak-balik halaman kitab tafsir dan sesekali muroja’ah [2] hafalan Al Qur’an.
Akhirnya sampailah pada saatnya Aku tampil. Tak henti-hentinya kuberdo’a pada Allah agar diberikan kemudahan dalam proses lomba. Aku berusaha untuk tenang dan menghilangkan rasa takut yang menghantui, karena Aku yakin dengan apa yang telah dibaca dalam buku bahwa dari zero akan bisa menjadi hero asalkan dengan usaha yang sungguh-sungguh.
Tiga buah soal hafalan Al Qur’an mampu kujawab dengan ringan dan lancar. Selanjutnya soal tafsiran pun bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan bisa menjawab tanya jawab seputar makna ayat, asbabun nuzul [3], dan mengkorelasikan konteks ayat dengan zaman kekinian (kotemporer). Tanpa disadari, para penonton terpukau dengan penampilanku yang lumayan sukses. Bahkan ada seorang ibu panitia menyalami seusai tampil di hadapan peserta lain, sehingga penampilan peserta berikutnya kacau-balau karena mentalnya telah kalah. Termasuk salah seorang peserta yang paling hebat dan paling kutakuti itu, dia menjadi grogi, banyak salah, dan tampil seadanya karena tidak kuat mental.
Akhirnya sampai pada saat pengumuman pemenang, Subhanallah Aku mendapat juara satu. Alhamdulillah ya Allah, suatu prestasi dari zero to hero yang sangat menggugah serta tidak pernah terbayang sebelumnya. Mulai dari perjuangan mencari ilmu, niatan yang ikhlas untuk berguru, sampai akhirnya membaca buku. Semoga kisah ini bisa memotivasi dan menginspirasi orang lain untuk selalu berusaha optimal. Yakinlah bahwa dengan tekad yang kuat dan kepasrahan yang penuh kepada Allah, semua kita bisa berubah dari zero menjadi hero. Biizdznillah…
Keterangan:
uni[1] : panggilan untuk kakak perempuan di Minang
muroja’ah [2] : mengulang-ulang hafalan agar kokoh dalam ingatan
asbabun nuzul [3] : sebab-sebab turunnya ayat Alqur’an
Oleh: Sisri Dona